PWMU.CO – Bukan Prof Din Syamsuddin jika tidak mampu membuat jamaah pengajian gerrr-gerrrran, ketawa ngakak. Seperti yang berlangsung saat Pak Din, sapaan akrabnnya, mengisi Pengajian Akbar di Yayasan Ponpes Al Fattah, Buduran Sidoarjo, Ahad (20/10/19).
Ada sejumlah candaan yang dia bikin secara spontan. Candaan pertama saat Pak Din menanyakan pengawalan Kokam yang ada di kanan-kirinya. “Kok saat Pak Sulthon (pembicara pertama) tadi tidak ada pengawalan ya?” tanyanya. Para jamaah mulai ketawa.
Pak Din lalu mengatakan, jika dirinya berbicara sekarang dikawal Kokam di kanan dan kiri. “Maka saya minta kesiapan terlebih dahulu. Karena waktu saya berceramah di sebuah daerah di Jawa Tengah pagi hari seperti ini, dikawal oleh Kokam, Kokamnya jatuh pingsan,” ujarnya. Jamaah pun gerr.
Usut punya usut, lanjut Pak Din, ternyata Kokam yang mengawal tersebut belum sarapan. Lagi-lagi jamaah dibuat riuh. “Maka pada Kokam yang ada di belakang saya, apakah saudara siap untuk mengawal saya berceramah?” tanya dia.
“Siap!” jawab dua anggota Kokam yang bernama Roziqin dan Buaji itu.
“Apakah saudara sudah sarapan?” tanya Pak Din lagi diiringi tawa jamaah yang pecah.
Pak Din lalu menganalogikan jawaban Kokam tadi dengan polisi. “Harus mengerti gaya polisi, kalaupun belum tetap bilang siap dulu. Apakah Saudara sudah sarapan? Harus dijawab: siap, belum,” katanya. Seluruh jamaah kembali tergelak.
Tapi, Pak Din menyela, mohon Kokamnya jangan diganti, karena biasanya per 15 menit diganti. Gerr-gerrean lagi.
Lelucon Pak Din pun berlanjut. Saat itu, Din Syamsuddin yang diundang menjadi nara sumber tidak membayangkan jamaah Pengajian Akbar Ponpes Al Fattah membeludak.
“Saya pikir hanyalah peserta seminar dalam aula. Ternyata begitu banyak yang hadir. Insyaallah acara hari ini tidak kurang meriahnya dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang akan berlangsung beberapa saat lagi di Senayan sana,” ujarnya disambut tepukan riuh jamaah.
Pak Din menimpali. “Tapi jangan diterjemahkan foto yang menjadi backdrop panggung sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden,” kata Din sambil menunjuk foto dirinya dan Sulthon Amien.
Pak Din lalu menyinggung Sulthon Amien yang tempat duduknya bersebelahan saat belum naik ke panggung. Dia menyebut jika Sulthon Amien, yang memberi sambutan pertama merupakan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur yang juga seorang pengusaha sukses.
“Pak Sulthon pernah ikut partai politik, dan pernah menjadi ketua partai politik tingkat wilayah Jawa Timur. Partainya apa? Oh, PAN. Saya bertanya pada Pak Mirdasy. Karena beliau aktivis PPP yang sudah berhijrah ke partai lain,” ujar Din sambil melirik ke arah M. Mirdasy yang duduk di jajaran tamu undangan.
“Tapi Pak Sulthon sudah berhenti dari politik kembali ke jalur bisnis dan dakwah. Beliau telah kembali ke jalan yang benar,” ucap Din yang lagi-lagi membuat jamaah tertawa.
Penampilan Din Syamsuddin juga agak berbeda dari biasanya. Jika sebelumnya warga Muhammadiyah mengenal Pak Din dengan ciri khasnya berwajah bersih, namun, di Ponpes Al Fattah, penampilannya agak lain. Jenggot putih tampak di bawah dagu Ketua Umum PP Muhammadiyahtahun 2005-2015 itu. Din lalu menjelaskan ihwal jenggot yang baru berumur sepekan tersebut.
“Waktu saya sekolah dulu kumis, cambang, dan jenggot semuanya panjang. Karena faktor keturunan dari bapak (ayah). Mungkin lebih panjang dari Bapak yang berjenggot itu,” ujar Din sambil melihat pada salah satu pengurus Ponpes Al Fattah.
“Tapi ini baru sepekan, gara-gara istri lihat TV di Jordan, senang lihat yang berjenggot dan bercambang. Sekaligus saya ingin bilang ada nggak nuduh saya radikal. Dengan adanya saya yang berjenggot ini saya ingin menunggu ada nggak yang menuduh saya ini radikal,” ujar Pak Din yang disambut tawa dan tepuk tangan meriah jamaah.
Pak Din juga punya cerita lain terkait proses awal masuk pesantren. “Sejak kecil ingin sekali belajar di pesantren. Tamat SMP di Sumbawa saya ingin belajar di pesantren,” kenang Din.
Pesantren yang menjadi tujuan dia adalah di Tebuireng dan Bahrul Ulum, Jombang. “Karena dulu di rumah ada majalah dari Kementerian Agama, karena bapak saya pegawai Kementerian Agama,” terangnya.
Di majalah yang terbit bulanan itu memuat profil-profil pesantren. “Saya baca. Begitu saya baca profil pesantren. Lalu saya bilang: saya ingin masuk pesantren”. Saya ingin jadi Kiai,” ungkapnya.
“Pikiran saya sederhana, kalau saya tamat dari pesantren saya akan jadi kiai. Kalau saya punya uang berangkat haji dan bergelar Kyai Haji. Begitu dulu impian saya,” kata Din mengenang.
Tapi setelah tamat SMP ternyata orangtuanya tidak menyetujui. “Bapak setengah mau. Karena mempertimbangkan biaya. Karena anaknya sembilan dan gajinya sedikit. Bagaimana membiayai anaknya yang akan sekolah di Jawa?” ujar Din.
Setali tiga uang dengan sang ibu. “Ibu nggak mau karena badan saya kecil meski sudah tamat SMP. Dan waktu itu di Sumbawa tidak ada tamat SMP ke Jawa. Minimal tamat SMA menyeberang ke pulau terdekat yaitu ke Pulau Lombok,” tutur Pak Din. Kedua orangtuanya tidak setuju pada saat itu,
Pak Din pun menggunakan cara-cara yang tidak biasa agar bisa tetap ke pesantren di Jawa. “Lalu saya pada waktu itu berakting berpura-pura gila,” ungkapnya disambut tawa jamaah. “Pagi-pagi kalau saya masih tidur itu mengigau. Mengigaunya seolah-olah sudah berada di pesantren,” ceritanya.
Akhirnya, lanjutnya, kedua orangtuanya trenyuh. Keduanya mencari cara agar dia bisa berangkat ke pesantren.
“Dihubungilah paman, adik dari ibu yang merupakan alumni IAIN Yogyakarta dan aktif di Muhammadiyah. Maka pamanlah yang membawa saya ke Gontor pada saat itu. Alhamdulillah gara-gara berakting gila, akhirnya jadi,” ujarnya yang lagi-lagi membuat jamaah tertawa: geeerrrrrrr!
Kontributor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.