PWMU.CO – Mengejutkan. Mungkin itu kata yang tepat menggambarkan pikiran publik terkait penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi. Tidak ada yang menyangka pendiri Gojek tersebut diserahi salah satu bidang paling krusial dalam perbaikan kehidupan sebuah bangsa.
Terlepas dari segala kontroversinya, sesungguhnya Nadiem justru membawa harapan akan transformasi besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bukan pemanfaatan teknologi, tapi lebih mendasar adalah perubahan perspektif baik dari pejabat hingga pendidik.
Setidaknya ada tiga perspektif yang dibutuhkan dunia pendidikan dari Nadiem yang sukses mengembangkan layanan “kebutuhan khas rakyat” berbasis digital tersebut.
Pertama, Innovation (inovasi). Sejak KIai Haji Ahmad Dahlan menginovasi model pendidikan untuk pribumi dengan meniru model pendidikan Barat, dunia pendidikan kita kurang inovasi besar. Sepanjang pengamatan penulis dalam pembuatan inovasi program di beberapa lembaga pendidikan, inovasi justru sulit muncul dari orang yang sehari-hari bergelut dengan dunia pendidikan saja.
Seperti kata Michael Michalko sang Pakar Kreativitas, inovasi membutuhkan dua bidang yang berbeda. Pendekatan-pendekatan baru dari bidang bisnis, teknologi, dan manajemen yang dimiliki Nadiem dari pengalamannya sebagai konsultan dan pendiri Gojek bisa membantu dunia pendidikan Indonesia melahirkan inovasi penting.
Di sekitar kita, mudah kita temukan lembaga pendidikan yang unggul dan inovatif muncul dari pengelolaan yang digawangi oleh profesional dari luar bidang pendidikan. Justru lembaga pendidikan yang menutup diri dari luar cenderung gagal dan kinerjanya buruk.
Kedua, data-driven decision making (pembuatan kebijakan berdasarkan data). Selama ini pengambilan kebijakan pendidikan cenderung berdasarkan intuisi, asumsi, bahkan preferensi politik. Jarang sekali kita lihat data benar-benar digunakan para pengambil kebijakan untuk menentukan strategi. Tidak banyak lembaga pendidikan yang punya data “hidup”, semua data di dinas pendidikan dan sekolah cenderung data “mati” yang tidak diolah dan dipakai lagi.
Coba tanya ke lembaga pendidikan kita, berapa rata-rata pendapatan orangtua siswa? Berapa rata-rata jarak tempuh siswa ke sekolah? Berapa persen peningkatan prestasi belajar siswa? Berapa banyak calon siswa baru tahun depan dari wilayah jangkauan dan berapa pagu sekolah saingan? Hampir semua sekolah tidak punya data semacam itu dan data-data lain sejenis. Bahkan tiap awal tahun pelajaran, orang tua masih diminta menulis lagi nama anaknya dalam formulir pendaftaran ulang!
Jangan dikira Gojek cuma punya aplikasi pemanggil tukang ojek. Dengan 20 layanan mulai dari transportasi, pesan antar makanan, belanja, kirim-kirim barang, pembayaran, pijat, sampai bersih-bersih rumah dan kendaraan Gojek adalah salah satu perusahaan dalam negeri yang memiliki big-data terbesar.
Melalui pusat data-science itulah Gojek tahu banyak hal, mulai dari makanan terlaris hingga daerah dengan mobilitas tinggi. Dengan pendekatan data itu juga Go-Give layanan sedekah milik Gojek mampu mengumpulkan lebih dari Rp 5 milyar sedekah selama Ramadan tahun ini saja.
Pendekatan semacam ini wajib diterapkan jika kita ingin dunia pendidikan kita tumbuh pesat. Pendataan yang dilakukan Kementerian Pendidikan selama ini, misalnya melalui Dapodik harus dikembangkan tidak hanya untuk penentuan kebijakan terkait pendanaan, perizinan, atau kebutuhan administratif saja. Lebih jauh data itu harus “hidup” dan dipakai oleh pemerintah dan sekolah dalam perumusan strateginya.
Ketiga, customer oriented (berorientasi pelanggan). Dalam istilah pendidikan kita mengenal konsep pembelajaran student centered namun diperluas tidak hanya dalam proses pembelajaran, namun juga pada aspek lain. Seperti penyediaan sarana prasarana penunjang, kegiatan pengembangan diri, hingga penyediaan tenaga pendidik yang kompeten.
Sebagaimana dalam Internasional Workshop Agreement (IWA) sebagai tafsir dalam pendidikan untuk sistem manajemen mutu, pelanggan dalam dunia pendidikan adalah siswa/mahasiswa. Jadi kebutuhan dan proses layanan pendidikan perlu lebih diorientasikan sesuai kebutuhan mereka, tentu dengan tidak mengabaikan nilai dan visi luhur pendidikan sebagai sarana transformasi nilai.
Sayangnya, perubahan tiga perspektif itu bukanlah hal mudah. Jelas lebih mudah menerapkan kebijakan di dunia bisnis daripada di birokrasi. Kebijakan Nadiem di Gojek bisa dengan mudah dan cepat diterapkan di semua lini, tapi di kementerian pendidikan? Belum tentu. Kepatuhan, kompetensi, dan kultur akan menjadi hambatan utama. Semoga berhasil, Mas Nadiem. (*)
Kolom oleh Ahmad Faizin Karimi, pegiat literasi.