PWMU.CO – Pada bulan November 2019, ada dua momentum penting yang diperingati umat Islam. Pertama, milad Nabi Muhammad pada 12 Rabi’ul Awal, yang tahun ini bertepatan dengan 9 November. Kedua, milad Muhammadiyah pada 18 November. Sayangnya, yang familiar di lingkungan warga Persyarikatan hanyalah milad Muhammadiyah. Karena, milad atau maulid nabi Muhammad dianggap bid’ah.
Hal itu diungkapkan Nadjib Hamid, mengawali ceramah pada pengajian Jumat Pagi (Jumpa), yang digelar Majelis Tabligh Pimpinan Cabang Muhammadiyah Babat, di Masjid Taqwa Babat, Lamongan, (15 /11/19). “Tentang milad atau maulid ini, masih banyak warga bahkan pimpinan yang berpandangan dan bersikap ambigu,” tutur Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim itu.
Untuk membuktikannya, ia lantas melakukan testimoni mengenai hal tersebut kepada para jamaah. “Bapak-Ibu, apa hukum memeringati hari ulang tahun kelahiran?”
“Haram ustadz, karena tidak ada tuntunan dari Nabi. Itu adalah perilaku orang Yahudi,” jawab para jamaah dengan kompak.
“Kalau milad, bagaimana hukumnya?”
Serentak para jamaah laki dan perempuan menjawab: boleh.
“Nah, ini contoh ambiguitas,” terang Nadjib seraya mengajak para jamaah berfikir runut dan logis. Tidak asal memvonis.
Tadi, sambung Nadjib, Bapak-Ibu mengatakan memperingati hari ulang tahun kelahiran hukumnya haram. Tapi, milad hukumnya boleh. Padahal hari ulang tahun kelahiran itu bahasa Arabnya, milad. Demikian sebaliknya, milad bahasa Indonesianya, hari ulang tahun kelahiran.
Pertanyaannya kemudian, lanjut Nadjib, benarkah hukum Islam tentang suatu hal, itu bisa berubah karena perbedaan bahasa? Para jamaah pun langsung tertawa malu, menyadari akan kesalahannya.
Mengenai peringatan maulid Nabi, menurut Nadjib, itu bukan soal ibadah mahdhah yang memerlukan contoh dan perintah dari Rasulullah. Tapi sebatas memanfaatkan momentum untuk menggairahkan dakwah. Sebagai media untuk menghidupkan spirit beragama. Mengingat misi kelahiran Rasulullah Muhammad adalah membawa risalah Islamiyah.
“Jadi, selama yang dilakukan dalam memeringati maulid Nabi, itu untuk menghidupkan dakwah dan meneladani akhlaknya, ya baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Tapi kalau mengarah kepada kekufuran dan kemaksiatan, ya tentu tidak boleh,” tegas Nadjib.
Ia lantas menganalogkan dengan milad atau ulang tahun kelahiran Muhammadiyah. Dianjurkan kalau kegiatannya menyemarakkan dakwah. “Sekalipun namanya milad atau ulang tahun, tapi jika bentuk kegiatannya tabdir dan maksiat, ya tidak boleh.”
Disadari bahwa masih banyak warga yang tidak mampu memilah-milah masalah. Semua urusan dianggap ibadah mahdlah, sehingga kalau tidak ada contoh dan perintah berarti dilarang: haram. “Padahal kaidahnya, untuk urusan ibadah ghairu mahdlah, selama tidak ada larangan, berarti boleh,” tukas Nadjib.
Setelah menjelaskan tentang cara membangun logika hukum fiqih, alumni Ma’had Ali Lil Fiqhi Wad Da’wah Bangil, Pasuruan, itu mengajak jamaah agar dalam momentum peringatan Maulid Nabi ini, umat Islam meneladani akhlak Rasulullah, dalam semua aspeknya. Dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bukan hanya soal poligaminya.
“Biasanya, Bapak-Bapak akan mengatakan meneladani Rasulullah, jika mau menikah lagi atau berpoligami,” ungkapnya dengan nada canda.
Banyak hal yang patut diteladani dari Nabi. Antara lain soal kepeduliannya pada orang-orang lemah. Misalnya, ada hadits imathatul adza anith thariq. Dalam pengamalannya sekarang, bisa diwujudkan dengan menyediakan fasilitas yang memudahkan bagi penyandang disabilitas untuk bisa beribadah di masjid dengan nyaman.
Karena dalam pengamatan dia, masih banyak masjid yang belum ramah terhadap mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
“Kebanyakan masjid kita, didesain untuk orang normal. Kurang ramah terhadap penyandang disabilitas. Padahal kita semua setelah berusia 60 tahun ke atas adalah calon penyandang disabilitas. Oleh karena itu, meredesain masjid yang ramah disabilitas, adalah juga meneladani akhlak Nabi,” urainya. (*)
Kontributor Hilman Sueb. Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post