PWMU.CO – Selama ini kumandang takbir saat Idul Fitri maupun Idul Adha, ada yang menggunakan kata Allahu Akbar sebanyak dua kali, dan ada pula yang tiga kali. Lantas bagaimana sebenarnya redaksi takbiran yang sesuai dengan sunnah Nabi?
Begitulah salah satu pembicaraan yang seringkali muncul menjelang kedatangan Idul Fitri maupun Idul Adha. Tidak sedikit masyarakat yang heran mengapa pula ada umat Islam bisa berbeda dalam masalah ini.
(Baca: Apa yang Perlu Disiapkan dan Dilakukan Jelang-Saat Lebaran? Ini Himbauan Muhammadiyah dan 6 Penyakit yang Perlu Diwaspadai Terkait Lebaran)
Masalah redaksi takbiran ini oleh ulama fiqih, disebut masalah furu’iyah yang ikhtilafiyah. Dan tidak jarang berakibat konflik berkepanjangan, dan terkadang menjadi perbincangan yang “seru”.
Untuk meredamnya, diperlukan penjelasan dengan cara muqaaranah (perbandingan madzhab) sehingga semua pihak menjadi tercerahkan.
Tentang takbiran Id, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, sebenarnya tidak satu nash pun yang secara sharih (jelas), baik yang memerintahkannya maupun redaksinya.
(Baca: Mengangkat Tangan atau Tidak dalam Takbir Tambahan Shalat Idul Fitri-Adha?)
Tentang keberadaannya, rata-rata ulama hanya ber-istimbath dari “perintah membesarkan Allah swt” di akhir Ramadhan dalam surat al-Baqarah: 185. Sementara Idul Adha diqiyaskan dengan Idul Fitri.
Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
… وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ …
… Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangan (bulan) dan kamu besarkan Allah sesuai apa yang Dia tunjukkan kepadamu… (QS al-Baqarah: 185)
(Baca: Masih Bingung Ibadah Nishfu Sya’ban? Inilah Penjelasan Lengkapnya dan Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab?)
Kalau ada yang membawakan hadits yang memerintahkan takbiran, maka hadits itu perlu diselidiki lebih lanjut tentang keshahihannya. Salah satunya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam riwayat berikut:
زَيِّنُوا أَعْيَادِكُمْ بِالتَّكْبِيْرِ (أخرجه الطبراني في الأوسط)
Hiasilah hari-hari rayamu dengan takbir (dikeluarkan oleh Thabrani dalam Kitab al-Ausath).
Hadits tersebut, dan juga yang semakna dengannya, dapat dipastikan riwayatnya gharib lagi dla’if.
(Baca juga: Hukum Tidak Puasa 2 Edisi Ramadhan Karena Hamil-Menyusui dan Ternyata Banyak Orang ‘Gila’ di Bulan Ramadhan)
Satu-satunya dalil yang “agak tegas” tentang takbiran adalah riwayat Ummu Athiyah yang disuruh Rasulullah saw mengeluarkan perempuan-perempuan pergi ke tanah lapang, termasuk gadis-gadis dan perempuan yang sedang menstruasi. Di situ, antara lain dikatakan:
فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ (أخرجه الجماعة)
Dan hendaklah perempuan-perempuan itu bertakbiran mengikuti takbiran laki-laki. (HR Jama’ah)
Sementara redaksi takbiran tidak ada yang jelas dan marfu’ dari Rasulullah saw. Karena itu hampir semua ulama mengatakan walafzhuhu wasii’un (bunyinya sangat luas). Artinya, redaksi takbiran itu bisa dibuat sendiri karena yang terpenting di situ ada kalimat membesarkan Allah.
(Baca: Allah Esa, Tapi Mengapa Menyebut-Nya “Kami”? dan Bagaimana Cara KB yang Islami?)
Karena itu, kemudian ada yang membuat redaksi: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillaahil hamdu. Yang membuat takbiran dengan kata Allahu Akbar dua kali seperti itu adalah Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Mubarak.
Yang lain dengan tiga kali Allahu Akbar, seperti yang dibuat oleh Syaikhul Islam Abu Yahya Zakariya al-Anshari dalam Manhajuth Thullah. Bahkan Syarah al-Manhaj Fat-hul Wahhab membolehkan untuk ditambah. Imam Malik hanya Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, tidak lebih dan tidak kurang.
(Baca: Islam Tertawa yang Bedakan Islam Indonesia dengan Timur Tengah dan Kenapa Orang yang Lupa Mudah Ingat saat Shalat?)
Kesimpulannya, bahwa takbir dua kali atau tiga kali, sama-sama ijtihadiyah, yang insyaallah sama-sama tidak salah. Namun, nampaknya kebanyakan warga Muhammadiyah memilih takbiran Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, dua orang sahabat yang terkenal sangat cermat dalam masalah ibadah Nabi saw.
Lebih lanjut bisa dibaca Tafsir Ibnu Katsir I: 270, Tafsir al-Qurthubi II: 307, Tafsir al-Munir II: 144, As-Sunanul Kurba lil Baihaqi III: 44, Nailul Authar II: 580, Fat-hul Wahhab I: 84, Kifayatul Akhyar I: 157, dan Fiqhus Sunnah I: 275.
(Diringkas dari KH Mu’ammal Hamidy, Islam dalam Kehidupan Keseharian)