PWMU.CO – Dalam dua pekan terakhir saya keliling ke berbagai masjid dan Islamic Center di Kota New York AS untuk ceramah atau jadi nara sumber dalam ragam acara peringatan lahirnya baginda Rasulullah Muhammad SAW. Sejak dua pekan lalu juga sebenarnya saya ingin menuangkan catatan-catatan saya itu dalam tulisan sederhana.
Waktu jugalah yang membatasi sehingga tulisan itu belum pernah jadi. Tiba-tiba saja beberapa hari lalu ada potongan video yang cukup menggelitik. Bahkan lebih tepatnya menggerahkan dan memancing emosi kemanusiaan. Video itu menampilkan sosok wanita tua alias nenek yang dengan berapi-api membandingkan “peranan” bahkan kehormatan dan kemuliaan seorang pemimpin sebuah negara dan baginda Rasulullah SAW.
Sejujurnya saya tidak tertarik menanggapi wanita tua itu. Namanya juga wanita tua. Boleh jadi sudah pikun. Atau juga memang pemikirannya yang sudah kadaluwarsa alias ketinggalan zaman.
Bahkan saya sesungguhnya malas menanggapi pernyataannya karena dari cara bicara orang tergambar level pemikirannya. Dan tampaknya memang tingkatan pemikiran sang wanita tua itu sangat rendah. Entah karena latar belakang pendidikannya yang juga sangat rendah. Atau memang akalnya yang pas-pasan.
Sikap awal saya itu juga didasari oleh arahan Alquran: “Dan hamba-hamba Yang Maha Rahman adalah mereka yang berjalan di atas bumi ini dengan rendah hati. Dan jika orang-orang jahil barbicara kepada mereka (dengan kejahilan) mereka respon dengan salama (kedamaian).”
Salah satu cara merespon dengan “kedamaian” (salaama) adalah dengan mendiamkan diri dari hiruk pikuk kebodohan orang lain. Jelas membandingkan Muhammad SAW dengan seorang pemimpin sebuah bangsa adalah kebodohan yang nyata. Maka melayani kebodohan seperti itu seolah menjatuhkan diri ke dalam kebodohan yang sama.
Muhammad itu mutiara
Ada kebiasaan saudara-saudara kita di Asia Selatan, yang biasa dikenal dengan IPB (India, Pakistan, Bangladesh, dan negara-negara sekitarnya tentunya). Mereka senang melakukan nyanyian-nyanyian yang bersifat syair, memuji Rasulullah SAW. Dalam bahasa mereka nyanyian ini biasanya disebut “na’at”.
Salah satu bentuk nyanyian yang biasa mereka senandungkan adalah seperti berikut: “Muhammadun basyar wa laesa kal-basyari. Walakinnahu yaaquutatun wannaasu kal-hajari.” Kira-kita berarti: “Muhammad itu memang manusia. Tapi tidak sama dengan manusia. Dia adalah mutiara. Sementara manusia lain adalah bagaikan batu.”
Dengan kata lain Muhammad (SAW) memang adalah manusia (basyar). Seperti yang dideklarasikan dalam Alquran: “Katakan wahai Muhammad. Sesungguhnya saya hanyalah manusia seprti kalian yang diberikan wahyu (oleh Allah SWT).”
Hanya saja kesamaan secara tabiat (nature) tidak berarti sama dalam kwalitas dan nilai (value). Bagaikan permata dan batu-batu. Sesungguhnya sama sebagai bebatuan. Tapi permata kemudian memiliki posisi terhormat, mulia, dan berharga karena nilainya.
Demikian pula Rasulullah SAW. Sebagai ciptaan (khalq) beliau sama dengan semua manusia. Terjadi karena pertemuan sperma ayah dan telur ibunya. Lahir sebagai bayi yang menangis. Lapar dan dahaga. Berani tapi juga ada rasa khawatir. Bahkan berjalan di pasar, makan minum dan menikahi wanita-wanita, dan seterusnya.
Yang menjadikan beliu kemudian unik dan berbeda dari manusia lainnya adalah karena “nilai” yang ada pada diri dan hidup beliau. Nilai itulah yang menjadikannya bagaikan mutiara di tengah-tengah manusia lainnya yang bagaikan batu-batu.
Nilai Muhammad SAW pulalah yang menjadikan beliau Sayyidal Mursaliin (Penghulu para Nabi dan Rasul). Yang dibuktikan dengan menjadi imamnya beliau dalam peristiwa Isra Mikraj Rasulullah SAW.
Syair lain yang biasa disenandungkan oleh warga Muslim Asia Selatan adalah: “Balagal ulaa bikamaalihi. Kasyafa adujaa bijamaalihi. Hasunat jamii’u khisholihi. Shollu alaihi wa aalihu”.
Artinya, “Muhammad itu mencapai ketinggian dalam kesempurnannya. Menyingkap segala kabut dengan keindahannya. Sempurna dalam segala cirinya. Maka bersholawaatlah kepadanya dan keluarganya.”
Senandung na’at atau dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan nasyiid seperti menggambarkan ketinggian nilai dan kemuliaan baginda Rasulullah SAW. Dan ketinggian nilai dan kemuliaan inilah yang menjadikan beliau tak terbandingkan (incomparable) dengan siapapun dari kalangan manusia.
Kelebihan dan kemuliaan Rasulullah SAW ini pulalah yang menjadikan banyak pihak yang terkagum-kagum (amazed) dengan beliau. Kalau saja orang-orang, termasuk wanita tua itu, mau sedikit berusaha, minimal dengan mencari tahu lewat ‘Prof Google’ tentang apa kata para pembesar dunia tentang Muhammad SAW niscaya mereka akan temukan kesaksian mereka yang luar biasa.
Salah satu dari ahli sejaran (historian) terkenal yang terkagum dan menempatkan Muhammad SAW di posisi tertinggi (pertama) dari orang-orang mulia dan terhormat serta berpengaruh dalam sejarah dunia. Beliau adalah Michael Hart dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History.
Saya tidak lagi menyebutkan banyak kesaksian-kesaksian para ahli sepanjang sejarah dunia. Hanya ingin mengingatkan bahwa bagi umat Islam, Anda tempatkan Muhammad SAW di posisi tertinggi atau sebaliknya Anda menempatkannya di posisi di bawah tidak sama sekali mengurangi nilai dan mulianya di mata kami.
Bagi kami kehormatan dan kemuliaan beliau tidak sekedar di mata kasat kami. Bukan sekedar di kesadaran akal kami. Tapi yang terpenting adalah kemuliaan dan kehormatan, bahkan kecintaan kami di dada (hati) ini.
Karenanya jika seluruh manusia dan bahkan jin sekaligus merendahkan beliau, bagi kami beliau adalah mentari di ketinggian sana yang tak pernah teringkari (undeniable). Setebal apapun awan di atas sana menutupi sinarnya, kami percaya bahwa tanpa mentari itu dunia akan gelap dan hancur dalam kegelapannya.
Muhammad SAW adalah mentari di ketinggian sana menyinari alam semesta selamanya. Hanya kebekuan hati dan kekerdilan akal yang mengingkari kemuliaan dan kehormatannya. (*)
New York, 21 November 2019
Kolom oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, Pendiri Pesantren Nur Inka Nusnatara Madani USA.