PWMU.CO – Berdakwah atau bertabligh, secara sederhana dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Mengubah dari kegelapan menuju pencerahan. Demikian mulia fungsi dakwah, sehingga diperlukan da’i dan da’iyah atau mubaligh dan mubalighat yang bukan hanya menguasai materi dakwahnya tapi juga aspek managerialnya.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Nadjib Hamid MSi menyampaikan hal itu dalam pertemuan rutin Corp Mubalighat Aisyiyah (CMA) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aisyiyah (PWA) Jatim, di Universitas Muhammadiyah Lamongan (Umla), Ahad (24/11/19).
“Peran mubalighat Aisyiyah sebagai kepanjangan tangan atau penyambung lidah dakwah Muhammadiyah sangatlah strategis, mengingat mayoritas umat dakwah adalah kaum wanita,” tutur Nadjib.
Namun ia mengingatkan, “Sayangnya jumlah mubalighat Aisyiyah belum memadai.” Parahnya lagi, lanjut dia, kualitas pemahaman keagamaannya belum semua sevisi dengan faham keagamaan ala Muhammadiyah.
Untuk membuktikan statemennya, Nadjib meminta para peserta dari berbagai daerah se-Jatim itu, satu per satu memberikan testimoni tentang hukum Islam terkait masalah-masalah keseharian dan elementer. Seperti tentang hukum memeringati hari ulang tahun kelahiran, milad Muhammadiyah dan Maulid Nabi.
“Kalau memeringati hari ulang tahun, karena Nabi tidak pernah mengajarkan hal itu, maka hukumnya haram,” jawab Rahayu, perempuan paruh baya dari Kabupaten Kediri, yang diamini peserta dari daerah lain.
“Kalau Milad Muhammadiyah, karena sudah diprogramkan, maka hukumnya mubah,” jawab Nurul Hidayati peserta dari Kabupaten Blitar, yang disambut tepuk tangan gemuruh.
“Sedangkan memeringati maulid Nabi Muhammad, itu bid’ah. Haram hukumnya. Karena Nabi tidak pernah memberi contoh,” kata Ruhul utusan dari Sampang, yang dibenarkan pula oleh peserta lain.
“Dari semua penjelasan ibu-ibu tadi menunjukan, pemahaman keagamaan mubalighat CMA ini, umumnya belum sejalan dengan paham agama menurut Muhammadiyah,” kata Nadjib menyimpulkan.
“Tentang ulang tahun, milad, atau maulid misalnya, masih banyak pimpinan yang berpandangan dan bersikap ambigu. Ambiguitas itu nampak jelas dari jawaban ibu-ibu tadi,” terangnya seraya mengajak para peserta berfikir runut dan logis. Tidak asal memvonis.
Tadi, sambung Nadjib, ibu-ibu mengatakan peringatan hari ulang tahun kelahiran hukumnya haram. Demikian pula maulid Nabi. Tapi, milad hukumnya boleh. Padahal hari ulang tahun kelahiran itu bahasa Arabnya, milad atau maulid. Demikian sebaliknya, milad atau maulid bahasa Indonesianya, hari ulang tahun kelahiran.
Pertanyaannya, lanjut Nadjib, benarkah hukum Islam tentang suatu hal, itu bisa berubah karena perbedaan bahasa? Para peserta pun langsung tertawa malu, menyadari akan kesalahannya.
Ia menjelaskan, untuk mengetahui dengan mudah status hukum mengenai masalah-masalah dalam kehidupan ini, ikutilah panduan Nabi: Idza kana syaiun min amri dunyakum faantum a’lamu bih. Faidza kana min amri dinikum fa ilayya. Kalau berkenaan dengan urusan duniamu (ibadah ghairu mahdlah), kalian lebih tahu. Tapi kalau berkenaan dengan urusan agamamu (ibadah mahdlah), maka merujuklah padaku.
“Jadi, sebelum ditentukan hukumnya, klasifikasikan dulu. Masalahnya masuk katagori ibadah mahdlah (ta’abbudi) atau ghairu mahdhah (ta’aqquli),” kata Nadjib sembari menyebut salah satu kaidah ushul.
Mengenai peringatan maulid Nabi, menurut Nadjib, itu bukan soal ibadah mahdhah yang memerlukan contoh dan perintah dari Rasulullah. Tapi sebatas memanfaatkan momentum untuk menggairahkan dakwah. Sebagai media untuk menghidupkan spirit beragama. Mengingat misi kelahiran Rasulullah Muhammad adalah membawa risalah Islamiyah.
“Jadi, selama yang dilakukan dalam memeringati maulid Nabi, itu untuk menghidupkan dakwah dan meneladani akhlaknya, ya baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Tapi kalau mengarah kepada kekufuran dan kemaksiatan, ya tentu tidak boleh,” tegas Nadjib.
Ia menganalogkan dengan milad atau ulang tahun kelahiran Muhammadiyah. Dianjurkan kalau kegiatannya menyemarakkan dakwah. “Sekalipun namanya milad atau ulang tahun, tapi jika bentuk kegiatannya tabdir dan maksiat, ya tidak boleh.”
Disadari, masih banyak yang menganggap semua urusan itu harus ada contoh dan penjelasan dari Nabi. “Padahal Nabi sudah menjelaskan yang harus ada contoh itu terkait ibadah mahdhah.”
Setelah menjelaskan cara membangun logika hukum fiqih, alumni Ma’had Ali Lil Fiqhi Wad Da’wah Bangil, itu mengajak peserta agar tidak pernah lelah meningkatkan wawasan keagamaan dan memperluas pergaulan.
“Karena kalau hanya modal semangat. Nanti jadinya dhallu wa adhallu. Mubalighatnya sesat dan menyesatkan,” ujarnya.
Managemen Dakwah
Tidak kalah penting, menurut Nadjib, agar dakwah kita diminati, dan menembus wilayah grass root (akar rumput) yang merupakan sasaran utama dakwah, para mubalighat tidak boleh mengabaikan aspek manajerial dakwah. “Sekalipun materinya bagus dan benar, tapi jika kemasan kegiatan dan penyampaian dakwahnya asal-asalan, pasti tidak diminati,” pesannya.
Ditambahkan, akhir-akhir ini terjadi pertarungan ideologi ekstrem keagamaan di tengah masyarakat. “Semua saling berebut pengaruh. Jika kita tidak mengantisipasinya dengan melakukan penguatan paham keagamaan, umat kita bisa terlibas oleh pertarungan tersebut,” ingatnya.
Menurutnya, ideologi yang sedang bertarung itu jika disederhanakan terbagi menjadi dua. Yakni Salafi (yang fahamnya berorientasi pada masa lalu, semua hal harus mencontoh pada zaman Nabi. Kemudian Khalafi (yang fahamnya berorientasi pada kekinian).
Lalu di mana posisi Muhammadiyah dalam pertarungan tersebut? Menurut Nadjib, posisi Muhammadiyah berada di tengah seperti tuntunan Rasulullah. “Kadang seirama dengan Salafi, jika terkait ta’abbudi. Kadang sejalan dengan Khalafi, jika terkait ta’aqquli. Kadang tidak sesuai dengan keduanya. Semua tergantung konteksnya.”
Hadir pada acara ini, Wakil Ketua PWA Jatim Dra Hj Rukmini sekaligus sebagai narasumber, Ketua Majelis Tabligh PWA Jatim Dra Faridah Muwafiq, Sekretaris Majelis Tabligh PWA Jatim Dr Asmawati sekaligus moderator, Ketua Pimpnan Daerah Aisyiyah (PDA) Gresik Drs Uswatun Hasanah, Wakil Ketua PDA Lamongan Dra Susilowati, dan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan KH Sabit.
Kontributor Yunia Zahrotin Nisa’. Editor Mohammad Nurfatoni.