PWMU.CO – Tema Milad Muhammadiyah tahun ini sangat menarik: Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa. Sejatinya, tugas memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945, adalah tugas pemerintah.
Tapi mengapa Muhammadiyah harus ikut repot melaksanakan tugas tersebut? Bagi Muhammadiyah, selain dimaksudkan untuk membantu pemerintah, juga panggilan agama (spirit Almaun).
Dari tema milad, tersirat makna seolah selama ini kehidupan kita dalam berbangsa belum cerdas. Sehingga masih perlu terus dicerdaskan.
Cerdas menjadi kata kunci. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerdas berarti tajam pikiran. Mencerdaskan, berarti menjadikan cerdas. Di antara ciri-ciri orang cerdas, mampu menyelesaikan masalah rumit jadi sederhana; berfikiran terbuka dan penuh tenggang rasa, tidak gampang menyalahkan yang berbeda.
Keterpanggilan Muhammadiyah dalam ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa sudah dimulai dari awal berdiri. Sejak bangsa ini masih terjajah. Hal itu bisa dilacak dari gagasan dan aneka kegiatan yang dilakukan dari masa ke masa.
Misalnya, ketika mayoritas warga bangsa ini masih berada dalam rawa-rawa kebodohan dan kemiskinan, tanpa berkoar-koar tentang pentingnya pendidikan bagi semua, tanpa seminar dan studi banding, langkah Muhammadiyah kongkret. Mendirikan sekolah, yang mengombinasikan model pendidikan tradisional dan modern, untuk melayani semua warga dan lintas agama.
Ketika marak gelandangan dan aneka problem sosial lainnya di tengah masyarakat, didirikanlah pusat pelayanan sosial dan kesehatan bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Juga Panti Asuhan anak yatim sebagai perwujudan dari spirit al-Ma’un.
“Bawa pulang mereka, mandikan dengan sabun dan beri pakaian,” perintah kiai kepada santrinya saat ada gelandangan di Malioboro.
Disadari tidak mudah melandingkan pemikiran berkemajuan ketika itu. Gara-gara memodernisasi sistem pendidikan, Kiai Ahmad Dahlan sempat dituduh sebagai kiai murtad dan kiai kafir. Dianggap tasyabuh, menyerupai non-Muslim lantaran menggunakan bangku, memakai celana, dan dasi. “Man tasyabbaha biqaumin, fahuwa minhum,” si penuduh berargumen.
Tersebab oleh gagasan meluruskan arah kiblat, mushala Sang Pencerah itu dibakar. Usai memberi pengajian di Banyuwangi, ia diancam bunuh. Namun berkat kedalaman ilmunya, dan kepiawaiannya dalam menyikapi masalah, pihak-pihak yang awalnya memusuhi akhirnya menjadi kawan.
Spirit pencerahan dan pencerdasan yang diwariskan sang pendiri, terus digelorakan oleh generasi pelanjutnya sesuai tantangan zamannya. Sekadar untuk menyebut beberapa nama misalnya, Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953). Ia dijuluki sang Patriot, karena di tengah perdebatan sengit mengenai rumusan Mukaddimah UUD 1945 dan Pancasila, anggota PPKI itu mampu menyelesaikan problem bangsa yang sedang di ambang perpecahan, tetap solid.
Juga KH Ahmad Badawi (1962-1968). Sang Benteng itu bukan saja berhasil menyelamatkan Muhammadiyah dari fitnah politik, tapi juga menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan akibat pengaruh politik PKI (Partai Komunis Indonesia).
Untuk mengimbangi kedekatan PKI dengan presiden, KH Badawi menempuh strategi memangku, dengan memberi gelar Bung Karno Dr HC dan Pengayom Agung.
Demikian halnya pada masa kepemimpinan KH AR Fachruddin (1968-1990). Ketika pemerintah Orde Baru (Orba) mengeluarkan kebijakan asas tunggal, yang mewajibkan semua orsospol menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, konflik melanda kehidupan berbangsa.
Muhammadiyah dibawa kepemimpinan sang Penyejuk, berhasil menyelesaikan persoalan rumit itu menjadi sederhana, dengan filosofi helm. Saat itu memang sedang marak kampanye penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor. “Anggap saja kita sedang memasuki kawasan wajib helm,” ungkap Pak AR memberikan analog kewajiban asas tunggal.
Ringkas cerita, Muhammadiyah tidak pernah absen berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dalam berbagai aspeknya. Bahkan sebagian telah mewujud dalam beragam bentuk amal usaha.
Di bidang pendidikan misalnya, terdapat ribuan sekolah dan madrasah serta perguruan tinggi, yang tersebar di seantero Nusantara. Juga lembaga kesehatan dan pelayanan sosial serta sarana ibadah yang tersebar di mana-mana. Semua dimaksudkan untuk membantu tugas pemerintah dalam memenuhi amanah konstitusi negara.
Tidak penting jika kini masih ada yang menyangsikan kontribusi dan loyalitas Ormas Islam yang berdiri pada 18 November 1912 ini pada NKRI. Dalam ungkapan Alquran, “Wa idza khatabahumul jahiluna qalu salama.” Sing waras ngalah. Itulah simbol kecerdasan.
Terpenting ke depan, selain menjaga karya kontributif hasil ijtihad para generasi kolonial agar kian berkualitas, perlu ijtihad baru supaya Muhammadiyah diminati generasi milenial. Selama ini kegiatan Muhammadiyah kurang diminati anak muda.
Di antara aktivitas paling diminati oleh mereka, sepakbola. Maka dalam momentum milad ke-107, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim merelaunching Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW) dan Sekolah Sepak Bola (SSB). Dengan harapan, kelak lahir para gibol (gila bola) cerdas, yang mengharumkan nama bangsa. Bukan sebaliknya, memalukan nama bangsa. (*)
Kolom oleh Nadib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.