PWMU.CO – Kebetulan rumah saya dekat dengan pasar rakyat. Di pasar kumuh itu terdapat ribuan pedagang melarat. Mereka berjualan aneka sembako sejak malam hingga pagi dengan jumlah pengunjung yang sangat padat.
Tapi di tengah ribuan orang yang melakukan transaksi ekonomi itu terdapat beberapa ibu yang keliling menghampiri para pedagang untuk menagih cicilan utang berikut bunga berlipat.
Para pedagang kecil itu mengaku terpaksa pinjam uang pada “Bank Titil” karena merasa tidak ada lembaga keuangan yang bisa diutangi tanpa agunan apalagi dengan proses cepat. Dalam kondisi darurat, mereka masuk perangkap dan akhirnya tidak sedikit yang terjerat.
Umumnya mereka pinjam Rp 1 juta. Tapi sebelum diterima, dipotong dulu 10 persen sebagai uang administrasi. Harus lunas plus bunganya selama dua bulan sebesar 20 persen atau setara 120 persen setahun, sehingga mereka kian melarat.
Kisah tersebut ternyata nyambung dengan apa yang dialami jamaah Masjid Ummul Mu’minin Surabaya tempat saya berhidmat. Ringkas cerita di masjid ini sejak 1985 memiliki pengajian bulanan pada hari Jumat. Tapi hingga memasuki usia seperempat abad, jumlah jamaahnya tidak meningkat. Lalu mulai awal 2012 pengajiannya diubah hari Ahad.
Sejak saat itu jumlah jamaahnya terus meningkat. Tapi kemudian ada beberapa yang meminta pengajian dikembalikan ke Jumat, dengan alasan supaya tetap bisa jualan di pasar pada hari Ahad. Usulnya kami balik dengan tawaran agar jualannya saja yang dibawa ke pengajian Ahad.
Setelah berjalan beberapa saat, kembali ada yang curhat, bahwa tidak sedikit dari mereka yang terperangkap jebakan si lintah darat. Sehingga hasil jualannya habis untuk membayar cicilan utang plus anakan yang berlipat-lipat.
Mereka minta masjid memberikan pinjaman modal tanpa bunga dari uang kas atau zakat. Tapi setelah dibahas dalam rapat, sebagian besar pengurus menyatakan tidak sepen-dapat, khawatir dananya nanti diembat.
Mengingat hal ini merupakan problem serius ekonomi umat, beberapa orang sepakat urunan hingga terkumpul dana Rp 15 juta sebagai zakat. Selanjutnya kami sampaikan pada mereka bahwa ada uang zakat, yang bisa dipinjam tanpa bunga tapi harus amanat.
Cara pengembaliannya cukup diangsur setiap pekan selama dua puluh kali dengan beberapa syarat. Antara lain dana yang dipinjam benar-benar digunakan untuk usaha bukan untuk beli pakaian atau barang-barang kurang manfaat.
Untuk memudahkan pembinaan maka para peminjam dibagi dalam beberapa kelompok dengan syarat: jika ada satu anggota saja yang tidak bayar cicilan maka seluruh anggota kelompok disanksi tidak boleh pinjam lagi supaya taat. Selain itu mereka juga diharuskan hadir dalam setiap pengajian Ahad.
Alhamdulillah hingga sekarang program berjalan lancar tanpa ada satu pun yang ngadat. Jumlah peminjam dan nilai pinjamannya pun terus meningkat. Pada gilirannya jumlah jamaah pengajian naik pesat.
Mengetahui bahwa programnya sangat manfaat, banyak yang tertarik menyerahkan infak dan zakat. Sehingga pertambahan modalnya berlipat-lipat, dan omsetnya lebih dari Rp 1,5 miliar. Semua itu tidak lepas dari peran ibu-ibu hebat, yang mau bergerak dan berkeringat, menangani program ini dengan ikhlas dan amanat.
Walhasil dari program skala mikro yang dikerjakan secara sukarela ini setidaknya telah menyelamatkan lebih 500 keluarga dari jebakan lintah darat.
Jika setiap keluarga beranggotakan empat orang, berarti telah ada dua ribu orang yang selamat. Andai pola ini bisa dikembangkan di semua masjid dan bersinergi dengan Lembaga Amil Zakat, tentu hasilnya akan jauh lebih hebat.
Rakyat tidak cukup hanya dikhutbahi bahwa uang rente itu dilaknat, tapi harus pula difasilitasi dan dipagari agar tidak sampai terbelit utang yang menjerat.
Untuk mengetahui realitas ekonomi umat, para pemimpin memang perlu blusukan ke pasar rakyat. Bukan untuk pencitraan tapi supaya tahu problem riil ekonomi rakyat. Sehingga rumusan kebijakannya lebih tepat. (*)
Kolom oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.