PWMU.CO – Wacana untuk melakukan perubahan UUD 1945 melalui amandemen kelima kalinya belakangan ini terus menguat. Bahkan ada yang menggagas kembali ke UUD 1945 yang asli, karena hasil amandemen yang ada dinilai tidak kunjung mampu mendekatkan bangsa ini kepada cita-cita nasional.
Pro kontra pun terus berlangsung di masyarakat, kalangan akademisi, pemerintah maupun di parlemen itu sendiri.
Menurut Anggota Badan Pengkajian MPR RI, dari Fraksi Partai Amanat Nasional Prof Zainuddin Maliki di era disrupsi yang ditandai dengan banyaknya perubahan di banyak aspek kehidupan, tidak perlu alergi untuk melakukan perubahan pasal-pasal UUD 1945.
“Apalagi cukup banyak faktor yang bisa dijadikan alasan kuat untuk melakukan amandemen UUD 1945,” ungkapnya dalam seminar internal dan rapat pleno Badan Pengkajian MPR RI di Yogyakarta, Senin (8/12/19).
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu menyebut di antaranya adalah fakta bahwa sekarang tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Semua sama, apakah itu MPR, DPR, MA maupun Presiden sama sebagai lembaga tinggi negara. Dengan demikian tidak ada “supreme body” atau lembaga yang lebih tinggi kedudukannya dibanding lembaga tinggi negara lainnya.
Dengan kesetaraan kedudukan lembaga tinggi negara itu membawa berbagai implikasi. Di antaranya yang paling mendasar adalah kaburnya kedaulatan rakyat. “Jelas berbeda dengan ketika MPR dijadikan lembaga tertinggi negara yang diberi kepercayaan penuh untuk memegang kedaulatan rakyat,” ujar anggota MPR yang juga diberi tugas fraksinya di Badan Legislasi DPR RI itu.
“Saat ini kedaulatan memang tetap dinyatakan ada di tangan rakyat, tetapi tidak jelas alamatnya. Karena dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen, kedaulatan disebutkan ada di tangan rakyat tetapi pelaksana kedaulatan rakyat bukan MPR melainkan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” tambahnya.
Berdasarkan undang-undang dasar yang sudah diamandemen tidak ada lagi supremasi lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Semua lembaga publik yang legitimasinya diperoleh langsung dari rakyat seperti DPR, DPD, dan Presiden berhak mengklaim pemegang kedaulatan rakyat.
Mudah dimaklumi jika dalam pelaksanaannya sering muncul tarik menarik yang dalam hal tertentu menjadi tidak produktif.
Prof Zainuddin menyebut misalnya fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif bisa menjadi tidak efektif. Lihat saja beberapa anggota komisi IX DPR RI marah besar ketika desakannya agar tidak menaikkan iuran peserta BPJS Golongan III tak digubris Menkes.
Pemerintah dalam hal ini Menkes tidak merasa perlu menuruti permintaan DPR. Menkes akan mempertanggungjawabkannya kepada Presiden. Tapi jelas sekali hasil akhir dari tarik menarik kebijakan BPJS ini.
“Pada akhirnya kebijakan yang diambil tidak berpihak kepada yang lemah. Rakyat yang tidak memiliki penghasilan pun harus dibebani kenaikan iuran BPJS yang tidak kecil,” tandasnya.
Tarik menarik perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan antarsesama lembaga tinggi negara itu dalam praktik cenderung dilakukan secara pragmatis dan transaksional. Dalam suasana yang pragmatis itu kekuasaan kemudian dengan mudah jatuh ke tangan segelintir elit politik yang bersifat oligarkis.
“Jadi setelah kekuasaan MPR diamputasi ternyata yang muncul oligarki,” ujar penulis buku Demokrasi Tersandera itu.
“Jangan heran kalau masa depan negeri ini lalu tergantung pada segelintir oligarki. Payahnya itu tidak ada yang bisa menjamin kelompok oligarkis tersebut memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi kepada konstitusi atau tidak,” tegas dia. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.