PWMU.CO – Di berbagai belahan dunia terjadi prilaku aneh nan lucu manusia. Seringkali kita lihat prilaku paradoks atau inkonsistensi dalam banyak hal. Bahkan boleh jadi jika saya memakai ekspresi negatif, terjadi prilaku kemunafikan nyata itu.
Ambillah contoh di dunia hubungan internasional. Kita kenal bahwa Amerika Serikat dalam banyak kesempatan mengkampanyekan perlunya menghormati kebebasan dan hak asasi manusia. Tapi tanpa malu-malu justru bergandengan tangan dengan rezim-rezim di Timur Tengah yang otoritarian dan menginjak-nginjak hak asasi warganya.
Di berbagai negara perilaku paradoks alias kemunafikan ini juga tanpa malu-malu dipertunjukkan. Termasuk di negara tercinta, Republika Indonesia.
Kita masih ingat bagaimana sebagian orang begitu alergi, benci, bahkan melihat kata “syariah” itu sebagai ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan segala daya yang dimilki mereka mempropagandakan jika syariah itu adalah suatu ancaman bagi kemajuan dan modernitas.
Artinya jika syariah diperlakukan atau dipraktikkan maka negara dan bangsa, bahkan dunia akan mengalami “musibah” besar. Akan terjadi kekerasan-kekerasan, kedzaliman dan opressi kepada minoritas dan non-Muslim.
HAM dan kebebasan tidak lagi dihormati. Bahkan syariah dipropagandakan sebagai jalan bagi kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan karenanya perjuangan beberapa daerah untuk memperlakukan perda-perda syariah harus dilawan.
Lebih jauh Islam yang memang menjadikan syariah sebagai bagian integral dari ajarannya dituduh sebagai agama radikal. Terjadilah kampanye “Islam oke. Syariah no”. Sebuah pernyataan obsurditas (irrasionalitas) yang nyata.
Syariah adalah jalan dalam beragama. Tanpa syariah seolah ingin mencapai sebuah tujuan tanpa jalan. Maka beragama tanpa syariah adalah kemustahilan. Dan karenanya melarang syariah itu sama dengan melarang “menjalankan” agama itu sendiri.
Untuk memahami makna syariah secara sedernaha, dapat dilihat pada beberapa poin ini: Satu, dilakukan dengan niat “lillahi”. Dua, dasarnya adalah Alquran dan Assunah. Tiga, ada nilai atau ruh relijositas. Jadi bukan sekedar amalan sosial.
Empat, bertujuan mulia. Tidak merugikan dengan sengaja siapa saja. Lima, tidak melibatkan hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Misalnya melakukan transaksi haram, dan lain-lain.
Semua poin itu relevansinya atau tersimpulkan dalam kata “Islam”. Artinya syariah itu adalah Islam itu sendiri. Menjalankan syariah itu artinya menjalankan ajaran atau hukum Islam.
Pada kesimpulan inilah sesungguhnya dengan sendirinya terjawab kenapa ada pihak-pihak yang tidak senang, bahkan berusaha menekan dan menghalangi praktik syariah. Jawaban itu adalah karena anti-syariah itu adalah bagian dari perilaku phobia kepada agama ini. Maka anti-syariah itu adalah anti-Islam alias Islamophobia.
Tapi saya kemudian menjadi geli dan merasakan kelucuan nyata pada karakter sebagian orang akhir-akhir ini. Mereka yang kemarin-kemarin mengkhawatirkan, benci, dan anti-syariah, bahkan mendanai ragam propaganda anti-syariah itu berbalik. Saat ini tiba-tiba, tanpa sungkan dan malu berbalik, justru menjadi pelaku (bisnis) syariah.
Inilah yang saya sebut perilaku lucu yang menggelikan, perilaku paradoks, perilaku miring, bahkan prilaku kemunafikan. Termasuk yang saat ini lagi viral. Kasus Hartadinata Harianto yang mengaku pengusaha besar di Kota New York. Tiba-tiba keluar masuk yayasan-yayasan Islam, termasuk pesantren, bergaya kiai dan menawarakan bisnis syariah hingga ke usaha umrah dan haji.
Sambil menggeleng kepala saya mencoba mencari jawaban atas perilaku aneh, lucu, dan paradoks ini. Jawaban sementara adalah karena Umat memang lumbung uang dan kekayaan Yang luar biasa. Sayangnya umat sendiri gagal mengelolah potensi itu.
Tapi kemudian kecurigaan saya, semoga saya salah, malah lebih jauh. Jangan-jangan ini cara pintar untuk meredam kebangkitan umat melalui kebangkitan ekonomi syariahnya.
Dengan kata lain, fenomena keterlibatan non Muslim dalam usaha syariah adalah upaya penjegalan sesungguhnya. Maklum tampak umat semakin tersadarkan dengan realita hitam (darkness) yang terjadi. Kesadaran ini boleh jadi justru menjadi pemacu bagi kebangkitan umat, termasuk kebangkitan perekonomiannya.
Maka untuk amannya: jegal sebelum melangkah. Semoga tidak! (*)
New York, 15 Desember 2019
Kolom oleh Shamsi Ali, Imam di kota New York dan Presiden Nusantara Foundation