PWMU.CO – Persatuan Sepakbola Hizbul Wathan (PSHW) pernah berkiprah di kompetisi internal Persebaya. Saya kebetulan pernah menjadi pemainnya. Saya bergabung mulai tahun 1978. Waktu itu PSHW yang dipimpin Asmara Hadi masuk anggota divisi satu bersama PS Bintang Timur, PS Setia, PS Mars, PS Poris dan lain-lain.
Karena masih berusia 16 tahun, saya masuk tim junior. Alhamdulillah, meskipun baru sekitar dua bulan gabung, saya langsung dipercaya pelatih PSHW, Nadir, masuk skuad inti di Piala Sidi, dengan posisi striker.
Di Piala Sidi 1978-1979 ini pulalah, PSHW bisa mengukir sejarah. PSHW yang semula tidak diunggulkan, berhasil mengalahkan tim-tim tangguh dari klub divisi utama seperti Mitra dan Assyabaab.
Di babak penyisihan, Mitra yang diperkuat Alhadad dibekuk 1-0. Demikian pula Assyabaab yang diperkuat penjaga gawang Sasono Handito, gelandang Idrus Hasan dan striker Salim Barmen, dipemalukan 1-0. Kebetulan, dua gol itu lahir dari kaki saya.
Namun sayang, di babak empat besar, PSHW kurang beruntung dan hanya mampu merebut juara III. Kalau tidak salah, juara I ditempati Indonesia Muda (IM) dan runner up Suryanaga.
Kendati hanya juara III, namun kenangan indah itu masih teringat sampai sekarang. Saya pun masih ingat beberapa rekan saya dalam satu tim kala itu, seperti penjaga gawang Imam Ghazali Nasution, pemain belakang Yoga Utomo, Jhony, dan Darmadji. Di tengah ada Rusdi “Ambon”, Didik, Pariaman, dan Indra Sulistiyo. Sedang di barisan penyerang, sebagai striker saya didukung dua sayap lincah, yakni Sapuan di kanan dan Mujiono di kiri.
Dari Piala Sidi ini, saya kemudian dipanggil masuk TC Persebaya junior untuk menghadapi Piala Suratin 1979 di Jakarta. Tim ini ditangani pelatih JA Hattu dan Askan. Keduanya sekarang sudah almarhum.
Saya pun sempat beberapa kali ikut latihan bersama Ricky Lelono (mantan pemain Perkesa Galatama yang juga sudah almarhum) dan kawan kawan. Namun, karena lebih mementingkan tur dengan teman-teman sekolah, akhirnya saya absen latihan beberapa kali, sehingga tidak dibawa ke Jakarta.
Saya pun sempat dipanggil lagi masuk tim Persebaya B U-21 yang dipersiapkan berlaga di turnamen Yusuf Cup 1982 Ujungpandang (kini Makasar), bersama Nanang Harmuji dan kawan-kawan. Tim ini ditangani duet pelatih Tabrian DS dan Ahmad.
Namun lagi-lagi saya kurang beruntung. Setelah beberapa kali latihan, ternyata ada pemberitahuan dari pengurus Persebaya kalau turnamen Yusuf Cup dibatalkan.
Pemain PS W banyak gabung klub Galatama
Setelah Asmara Hadi tidak lagi mengurus PSHW, beberapa pemainnya banyak yang hijrah ke klub Galatama. Di antaranya adalah Djarot Hariadi yang gabung klub Buana Putra di Jakarta dan Indra Sulistiyo ke Pusri Palembang. Bahkan, Indra Sulistiyo yang menempati posisi libero, dipercaya sebagai kapten tim di klub yang kala itu dilatih Mudayat (sudah almarhum).
Sementara pemain lainnya banyak yang direkrut sebagai pegawai di Pelindo III, Bea Cukai, dan Pertamina seperti Edi Wiyono, Rudianto, Muad, dan M. Busar. Sedang Arpanji pulang kampung ke Kalimantan dan kemudian menjadi camat.
Olahraga dan dakwah
Pengalaman lain yang tidak bisa saya lupakan ketika PSHW masih ditangani Asmara Hadi adalah soal ibadah. Meskipun gila bola, tetapi pria asli Palembang ini selalu mengajarkan agar pemain tidak lupa menjalankan ibadah. Terutama shalat lima waktu bagi yang Muslim.
Setiap bulan Ramadhan, semua pemain PSHW, khususnya yang junior, selalu dikumpulkan di rumahnya, di Jalan Teluk Kumai Timur, kawasan Tanjung Perak, Surabaya.
Setelah shalat tarawih berjamaah, Asmara Hadi memberi tausiah kepada para pemain yang kemudian dilanjutkan makan dan minum bersama. Setelah itu, para pemain diputarkan video pertandingan sepakbola Piala Dunia, seperti final Jerman Barat vs Belanda 1974. Juga cara pemain dunia berlatih, seperi bintang Belanda Johan Cruyff dan Johan Neeskens, kemudian bintang Jerman Barat Sepp Maier (penjaga gawang), “Kaisar” Franz Beckenbauer, bomber haus gol Gerd Muller, dan bintang Brazil Pele.
Besoknya ketika latihan, para pemain diminta memratikkan di lapangan. Seperti cara melakukan tendangan bebas, tendangan penalti, dan lain-lain. Kalau salah, Asmara Hadi tidak segan memarahi dan meminta agar diulang.
Saya pun masih ingat, bagaimana guyubnya pemain, pelatih, dan pengurus PSHW kala itu. Juga kesabaran dan loyalitas yang ditunjukkan orang tua bernama Solimin, yang kala itu dipercaya sebagai perlengkapan dan mengurus segala keperluan pemain. Termasuk menyampaikan undangan ke pemain jika PSHW akan bertanding, surat menyurat, dan lain-lain.
Setelah sekian lama vakum, sekarang PSHW bangkit lagi. Saya pun ikut bersyukur. Sebagai mantan pemain, saya berharap PSHW ke depan bisa mengukir prestasi yang membangkan. Tidak hanya di level lokal atau nasional, tapi juga level internasional dengan melahirkan pemain-pemain yang berkualitas.
Saya yakin, melihat jajaran pengurus dan semangat yang ada, PSHW bisa mewarnai persepakbolaan Indonesia. (*)
Kolom oleh Dwi Arifin, mantan pemain PSHW.