PWMU.CO – Perkembangan media massa siber (cyber, online) yang memiliki karakter berbeda dengan media konvensional menimbulkan sejumlah kekosongan hukum.
UU Pers yang awalnya digunakan untuk mengatur media massa konvensional tidak sesuai untuk media siber. Sementara UU ITE juga tidak mampu mewadahi kebebasan ekspresi karena UU ini tidak berdasarkan pada pasal-pasal konstitusi menyangkut kebebasan berekspresi tapi dia lebih banyak mengatur transaksi elektronik.
Rohman Budijanto SH MH menyampaikan hal itu dalam Ujian Terbuka Doktor Program Doktor Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) di Aula Pancasila Gedung A FH Unair, Rabu (18/12/19). Disertasinya berjudul Pertanggungjawaban Pidana Media Massa Siber di Era Kebebasan Informasi.
Roy mempertahankan disertasi di hadapan Dr Nurul Barizah SH LLM PHd (Ketua Sidang, Dekan FH Unar); Dr Lina Hastuti SH MH; (Sekretaris Sidang); Prof Dr Muchammad Zaidun SH MSi (Promotor); Prof Dr Didik Endro Purwoleksono SH MH (Kopromotor I); Dr Aktvera Tri Tjitrawai SH MH (Kopromotor II); dan para Penyanggah yang terdiri dari Prof Nur Basuki Miarno SH MHum; Dr Priya Djatmika SH MS; Dr Soparto Wijoyo SH MHum; Prof Dr Sri Hajati SH MS; dan Dr R Herlambang P. Wiratman SH MA.
“Dalam penelitian saya ternyata konstitusi kita membatasi kebebasan informasi. Jadi kebebasan informasi ini, kebebasan ekspresi dalam pers, dalam media siber, itu punya ciri yang bisa dibatasi,” ungkapnya.
Menurut Editor Senior Jawa Pos ini, banyak keluhan dari masyarakat bahwa UU ITE itu terlalu cepat memidanakan orang. “Karena itulah kami dalam permasalahan ini, mengangkat apa sebenarnya jaminan atas kebebasan informasi dan komunikasi. Tapi sekaligus batasan-batasannya, terutama menurut konstitusi, termasuk ketika di era media siber,” ujarnya.
Yang juga sering bermasalah, sambungnya, apabila terjadi konflik dengan masyarakat kecenderungannya langsung melakukan pelaporan pidana tanpa mengindahkan bahwa pers punya kekhususan termasuk media siber ini.
“Bahwa ini adalah sarana kebebasan informasi. Apabila pemidanaan ini digunakan sebagai cara utama untuk mengatasi masalah, termasuk media siber, maka kebebasan informasi bisa terhambat,” ujarnya.
Roy juga mengkritik pembatasan-pembatasan kebebasan informasi yang bukan lewat UU, melainkan hanya melalui peraturan pemerintah. “Contoh Peraturan Menteri Kominfo tentang situs-situs berkonten negatif. Padahal konstitusi kita, mengariskan bahwa pembatasan-pembatasan atas HAM itu harus melalui UU. Artinya meminta persetujuan rakyat (melalui DPR),” tegasnya.
Pemblokiran internet ini, kata Roy, ada risiko melawan UU Pers karena sebagian situs-situs itu adalah pers, dimasukkan dalam pers oleh Dewan Pers. Dan UU Pers menggariskan bahwa pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan.
Pria Kelahiran Magetan 21 September 1968 itu menegaskan mestinya hal itu disesuaikan. Dipilah-pilah mana yang bisa diblokir oleh pemerintah dan mana yang tidak. “Dewan Pers sendiri membedakan media siber antara pers dan non-pers. Cirinya adalah, ketika dia berbadan hukum, terutama PT. Mengapa berbada Hukum? Selain perintah UU juga untuk menjaga kontinuitas,” jelasnya.
Dia menerangkan, ketika diteliti oleh Dewan Pres, sebagian besar media siber itu tidak berbadan hukum. “Artinya siapapun bisa membikin dan siapapun bisa mengganti setiap setiap saat. Karena itulah Dewan Pers mengadakan verifikasi yang bersifat proaktif maupun pasif,” terang dia.
“Pro aktif itu mendatangi media-media siber atau mengundang media siber untuk mendaftar. Atau ketika terjadi persoalan dan pengaduannya ke Dewan Pers, Dewan Pers akan melihat, media siber ini termasuk pers atau bukan. Ketika dia termasuk pers maka akan dilakukan mediasi sesuai dengan kewenangannya, terutama penyelesaian model etik yaitu dengan menggunakan hak jawab menggunakan permintaan maaf, atau menggunakan hak koreksi,” ungkapnya.
News Aggregator
Direktur Eksekutif The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) itu juga menjelaskan karakter media massa siber yang menimbulkan celah hukum.
“Dalam media siber ini juga muncul kebebasan untuk menyebarkan. Dan ini terjadi kekosongan hukum ketika ada produk-produk perusahaan yang namanya news aggregator yaitu media-media yang menerbitkan bendera perusahaan sendiri tapi dia hanya mengumpulkan berita-berita dari media-media lain,” urainya.
Mereka, lanjutnya, mengumpulkan kemudian disebarkan atas nama perusahaannya sendiri dan dia mencari iklan dengan itu. “Rupert Murdoch salah satu tokoh pers dunia menyebut ini pencurian. Karena dia tidak berkeringat untuk mencari berita-berita ini,” kata dia.
Di sini, sambungnya, terjadi kekosongan hukum dalam hukum sistem hukum Indonesia. Karena UU Hak Cipta ternyata tidak menjamin hak cipta atas berita hangat atau hot news.
“Jadi berita hangat itu boleh disebarkan kapan pun setelah terbit. Karena itu news aggregator ini timbul mengisi celah ini. Syaratnya hanya disebutkan sumbernya saja. Misalnya dari jawapos.com atau kompas.com. Dia tak terkena UU Hak Cipta,” kata Roy.
Menurutnya, ini bisa menjadi masalah apabila yang disebarkan itu ternyata hoax atau berita yang tidak benar. “Ketika sumber asalnya itu media siber yang termasuk golongan pers dia diproses berdasarkan UU Pers yang lebih lunak karena di situ ada mekansme etik, mekanisma hak jawab, mekanisme hak koreksi, minta maaf. Tapi kalau penyebarnya bisa masuk kena UU ITE,” papar dia.
Di sinilah, menurut suami Arini Jauharoh SH MKn ini, muncul kerancuan. “Karena itulah dalam fenomena media siber ini perlu news aggregator dimasukkan dalam sistem pers. Artinya dia diwajibkan menggunakan badan hukum dan diberi pertanggungjawaban persis seperti pers yang lain. Tapi dengan syarat dia bekerja sama dengan media-media yang diambil beritanya itu secara sindikasi. Artinya dia punya hubungan keperdataan,” ungkapnya.
Jejak digital abadi
Penasihat Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu juga membahas karakteristik media massa siber yang menimbulkan jejak digital abadi. “Karena jejak digital itu tidak bisa dihapus. Mungkin di situs awalnya itu bisa dihapus, tapi ketika ia sudah disebarluaskan, itu sangat sulit dihapus,” jelas dia.
Dia lalu mencontohkan berita yang dimuat detik.com yang memuat wawancara dengan pimpinan Desus Antiteror 88. Dalam wawancara terkait bom Surabaya itu dia menyatakan mengurangi pengawasan kepada keluarga bomber karena sudah dianggap tidak berbahaya. “Kemudian banyak Densus menyesal dengan ini,” ujarnya. Sebab, tambahnya, meski sumber awalnya di sudah dihapus, tapi sudah terlanjur menyebar ke mana-mana.
Karena itu, ayah dari Adia Misqa Imtiyaz Rohman dan Adna Mumtaza Fadlurrohman, mengusulkan dalam disertasinya agar dalam Kode Etik Jurnalistik, subjek berita diberi hak meminta update dari situs yang pertama kali memuat peristiwa menyangkut dirinya.
“Di sini saya belum melihat dalam Kode Etik Jurnaistik yang 11 pasal itu hak untuk pemutakhiran (right of update). Di sini sebagai pelengkap dari right to be remembered fairly (hak untuk diingat dengan adil). Karena di internet itu tidak bisa melupakan. Jadi lebh baik diberi informasi tambahan. Update-nya seperti apa? Misalnya seorang terdakwah yang dibebaskan, itu media awal wajib meng-update, agar jejak digitalnya itu sempurna,” usulnya.
Di akhir presentasinya, Roy dua kesimpulan. Pertama, hak atas kebebasan informasi itu dibatasi tapi harus sesuai dengan konstitusi yaitu dengan UU. “Tidak sembarangan pemerintah bisa melakukan pemblokiran, apalagi situs-situ pers,” ucapnya.
Kedua, dalam proses pidana ini Dewan Pers banyak bekerja sama dengan criminal justice system. Dengan MoU dengan Kejaksaan dan Kepolisian, serta memanfaatkan SEMA tentang keterangan saksi ahli pers. Sehingga di situ ada permeriksaan pendahuluan (dismissal process) yang dilakukan oleh Dewan Pers, untuk menentukan sebuah kasus itu termasuk kasus pidana atau kasus pers, termasuk kasus media siber.
“Kami menyarankan agar ditambahi etik tentang right, hak untuk up date tadi. Kemudian juga mengatur media siber yang lebih up date atau lebih berisi dalam UU Pers,” uajrnya.
Paparan Roy itu mendapat berbagai pertanyaan dan sanggahan dari para penguji selama 60 menit. Dia pun bisa menjawab dengan baik. Meski tegang di awal-awal, termasuk karena laptop yang dia siapkan untuk presentasi tidak bisa jalan—tapi selingan humor bebarapa kali mewarnai jawababnya. Apalagi para penguji juga banyak menyelipkan humor.
Setelah sidang diskors beberapa menit, para penguji kembali ke ruang sidang untuk menyampaikan hasl sidang.
Ketua Sidang Nurul Barizah menyampaikan bahwa Roy berhasil lulus dan mendapat gelar doktor dengan predikat ‘sangat memuaskan’. Doktor ke-417 FH Unair itu berhasil meraih IPK 3,8.
Sidang juga dihadiri Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy, Rektor UMM Fauzan, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Nadjib Hamid, Anggota DPRD Jatim Fraksi PAN Basuki Babussalam, wartawan senior Sirikit Syah, dan undangan lainnya. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.