PWMU.CO – Dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam khutbah Jumat, takwa seringkali dimaknai sebagai rasa takut pada Allah. Ada juga yang mengartikannya sebagai menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Tetapi jika dikaitkan dengan tujuan puasa Ramadhan, takwa lebih bermakna kesadaran berketuhanan. Demikian yang disampaikan oleh M Choiruz Zimam saat memberi “Pengajian Iftitah” pada Rapat Harian Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik, Selasa (13/7) malam.
(Baca: Tiga Perilaku Mistisisme untuk Raih Derajat Taqwa dalam Puasa Ramadhan)
“Takwa itu adalah kembali ke nature kita sebagai manusia tauhid,” kata Zimam. Menurut Ketua Bidang ISMUBA Majelis Dikdasmen PDM Gresik ini, manusia lahir tidak seperti kertas putih seperti konsep tabularasa. Juga tidak membawa dosa asal sebagaimana konsep Kristiani. “Dalam Islam, manusia itu lahir membawa naluri ketuhanan, sebagaimana informasi Alquran dalam surat Al-Araf ayat 172: ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar. Kami menjadi saksi’,” urainya.
Zimam menjelaskan, kesadaran berketuhanan itulah yang senantiasa harus ditumbuhkan umat Islam, termasuk dalam puasa Ramadhan. “Kebaikan-kebaikan dijalankan di bulan Ramadhan. Dan keburukan-keburukan dijauhi. Itu bagian dari menumbuhkan kesadaran berketuhanan. Maka selesai Ramadhan, manusia kembali kepada fitrahnya, sebagai manusia tauhid. Ini anugerah luar biasa yang harus disyukuri.”
(Baca: Otak Sehat Bermula dari Perut: Menggali Hikmah Puasa ala Taufiq Pasiak dan Zikir adalah Kegiatan Berpikir Tingkat Tinggi)
Menurut Zimam, kesadaran berketuhanan itu bisa ditumbuhkan dari dua komponen: pikiran (otak) dan hati (qalbun). Dengan mengutip Dr Taufiq Pasiak, penulis buku Tuhan dalam Otak Manusia, Zimam mengatakan bahwa otak itu sebenarnya berkarakter tauhidy. “Berbohong satu kali itu bisa memutus satu syaraf otak. Maka sebenarnya puasa itu menguatkan otak. Karena dalam puasa kita menjaga agar tidak berkata bohong,” jelas mantan guru SMAM 1 Gresik ini.
Mengenai hati, dengan mengutip Al Ghazali, Zimam mengatakan bahwa hati yang bersih itu seperti cermin. Ia bisa menerima dan memantulkan cahaya. “Namun, jika hati itu sedikit demi sedikit terkena titik-titik noda kemaksiatan, maka ia akan menjadi gelap (zulmn) dan tidak bisa menerima cahaya kebenaran,” ungkapnya.
(Baca juga: Kenapa Indonesia Banyak Koruptor? Ini Penjelasan Taufiq Pasiak dan Kenapa Orang yang Kelupaan Sesuatu Mudah Ingat saat Shalat? Berikut Penjelasannya dari Aspek Ilmu Otak)
Komponen otak dan hati itu, kata Zimam, diasah dalam bulan Ramadhan sehingga puasa mengembalikan nature manusia sebagai makhluk bertauhid. “Sayangnya, dalam dunia pendidikan, cara kerja otak tidak dikaji. Bahkan dunia pendidikan kita sering mengalami ketimpangan. Ada yang hanya mengandalkan otak. Ada yang hanya mengutamakan hati. Padahal, semestinya dua komponen itu secara bersama diasah untuk menumbuhkan jiwa tauhid,” kata Zimam (MN)