PWMU.CO – Empat istilah perempuan dalam al-Quran. Ini maknanya menurut Lailatul Fithriyah Azzakiyah dalam Diklat Caloan Daiyah di GDM, Brondong, Lamongan, Jumat (14/2/2020).
Menurutnya, empat istilah perempuan dalam Al-Quran itu adalah mar’ah atau imra’ah, untsa, dan nisa’ yang masing-masing memiliki makna berbeda.
“Kata mar’ah atau imra’ah di dalam al-Quran biasanya merujuk kepada perempuan sebagai istri,” ungkapnya sembari mengutip ayat al-Quran surat adz-Dzariyat 29 tentang Sarah istri Ibrahim yang akan punya anak dan kisah istri Firaun dalam al-Qashash 9.
Laila yang juga anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Malang itu menjelaskan, dalam beberapa buku tafsir, kata untsa dimaknai untuk membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis-fisiologis.
“Dalam hal ini maksudnya terkait dengan kodrat dan pembawaan. Misalnya perempuan identik dengan lemah lembut sedangkan laki-laki kuat dan perkasa. Juga secara fisik tidak sama antara perempuan dan laki-laki, utamanya dalam hal reproduksi,” tuturnya.
Sedangkan kata nisa’ menurutnya berkaitan dengan sosioIogis-kemasyarakatan. “Bahwa perempuan punya hak dan peran yang sama dengan laki-laki untuk berorganisasi, beraktualisasi, tidak hanya berkutat di rumah saja,” tandasnya.
Acara yang diselenggarakan Corp Mubalighat Aisyiyah (CMA) Cabang Brondong dan Laren tersebut diikuti sekitar 170 Pimpinan Ranting Aisyiyah se-Cabang Brondong dan Laren.
Menyajikan materi dengan tema Adabul Mar’ah fil Islam, Laila mengutip buku dengan judul yang sama terbitan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tiga Peran Perempuan
“Buku ini menjelaskan beberapa bab tentang wanita dalam pergaulan, dalam kesenian, ilmu pengetahuan, jihad, hakim dan juga politik,” urainya.
Dia menuturkan, perempuan dengan segala keistimewaan dan keunikannya setidaknya memiliki tiga peran yang tidak dapat dinafikan.
“Sebagai perempuan, setidaknya kita memiliki tiga peran yang kesemuanya membawa keutamaan. Ketika kita sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu, semuanya istimewa,” ujar penggagas metode Tahfidh Quran Tematik (TQT) tersebut.
Untuk peran keempat, kelima, keenam dan seterusnya, menurut Laila itu adalah pilihan dari masing-masing individu.
“Ketika kita memilih untuk menjadi ketua Aisyiyah, menjadi gubernur, walikota, bahkan presiden, semua itu adalah peran-peran pilihan. Namun kita tidak dapat menghilangkan tiga peran di atas dan kita patut bersyukur karena semua insyallah membawa manfaat,” tandasnya.
Peran Perempuan Aisyiyah
Alumnus S1 Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menjelaskan, sejak didirikannya, Aisyiyah telah membawa misi kemajuan bagi kaum perempuan.
“Ada sosok Siti Baroroh Baried yang tercatat sebagai guru besar pertama di Indonesia bahkan selalu membawa nama Aisyiyah di forum-forum global,” ungkapnya.
Selanjutnya ia menambahkan pandangan Muhammadiyah tentang peran wanita dalam demonstrasi, jihad, Kesenian, wanita sebagai Hakim maupun kiprahnya di Politik.
“Kalau perempuan-perempuan di Palestina, di Syiria, di Timur Tengah banyak dari mereka berjihad dengan senjata. Tapi di sini kita berjihad lewat aktif dan menggerakkan Aisyiyah,” ujarnya.
Terakhir dia mengutip ungkapan Siti Munjiyah, “Perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan.” (*)
Penulis Nely Izzatul. Editor Mohammad Nurfatoni.