Menulis di PWMU.CO seperti meniti jalan sufi. Itulah yang diungkapkan Darul Setiawan, kontributor dari SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo (Musasi).
PWMU.CO – Sejak diluncurkan pada 18 Maret 2016 silam, saya menjadi salah satu orang yang bersemangat akan kehadiran PWMU.CO.
Ada beberapa alasan. Pertama, sebagai sarana aktualisasi diri. Kedua, sebagai sarana dakwah mengabarkan kebaikan. Ketiga, sebagai salah seorang pendidik di amal usaha Muhammadiyah, saya bisa punya peran mempromosikan sekolah melalui kegiatan-kegiatannya.
Sejak saat itu saya mulai mengirim berita ke PWMU.CO. Yang dulu, saat menjadi mahasiswa lebih sering menulis di blog atau portal online harian pagi di Surabaya.
Aktivitas menulis saat awal-awal kemunculannya memang tidak terlalu banyak. Hanya sesempatnya. Sekadar berita pemberitahuan kegiatan yang memenuhi unsur 5W+1H.
Tak Dapat Ujrah tapi Berbuah Ajrun
Pandangan saya mengenai berita akhirnya berubah. Saat mengikuti Milad Ke-1 PWMU.CO. Saat itu hadir beragam nara sumber luar biasa—yang masih saya ingat pesan-pesannya hingga sekarang.
Seperti pesan ujrah dan ajrun-nya Nadjib Hamid yang akhirnya membuat orientasi menulis saya di PWMU.CO seperti ‘meniti jalan sufi’. Tidak lagi ingin menghitung untung rugi materil (ajrun), tapi lebih pada ujrah, mengharap ‘gaji’ pahala hanya dar Allah. Sesuatu yang mungkin aneh dan terdengar tidak masuk akal di luar sana.
Pernah suatu ketika, saat Idul Fitri tiba, seorang kawan semasa SMA menanyakan dapat berapa saat mengirim berita di PWMU.CO? Saya jawab, jika bukan orientasi material yang didapatkan oleh para kontributor. Namun, kepuasan yang diperoleh saat tulisannya dimuat. Apalagi jika dapat banyak ilmu dari para editor. Mungkin sudah tidak dapat diukur lagi dari segi materi.
Pesan lain yang mengubah paradigma saya dalam menulis berita adalah yang datang dari SGP. Inisial Sugeng Purwanto, editor PWMU.CO yang dikenal di kalangan kontributor sebagai ‘pembunuh’ tulisan yang tak layak terbit.
Yang paling saya ingat pesannya adalah bagaimana cara kontributor mengambil angle berita yang menarik. Jadi tidak sekadar memenuhi unsur berita 5W+1H.
Saya juga sering mengingat pesan dari Anwar Hudijono. Salah seorang wartawan kawakan yang anaknya juga sekolah di SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, tempat saya mengajar.
Pesannya yang membekas saat beliau hadir menjadi narasumber milad pertama PWMU.CO adalah, “Menulislah seperti orang buang air. Jika sudah menulis, maka lupakan. Bersegeralah untuk menulis yang lain. Yang penting menulis.”
Maka naik lagi tingkatan orientasi saya dalam menulis. Jika dulu mengingat-ingat tulisan yang sudah diterbitkan. Lambat laun, sudah berorientasi pada kemampuan menulis yang produktif.
Tidak Menulis tapi Tetap Menulis
Namun, tingkatan menulis ternyata tidak cukup sampai di situ. Masih ada yang harus di-upgrade. Menulislah seperti orang bertutur. Ceritakan saja apa yang dialami. Tulis saja. Foto saja. Kirim saja.
Itulah yang digaungkan Mohammad Nurfatoni. Guru saya yang lain di PWMU.CO—yang sering mengingatkan untuk mendokumentasikan kegiatan: baik tulisan atau foto.
Saya dulu masih beranggapan, jika tidak ingin menulis berita, maka kegiatan tersebut tidak saya dokumentasikan. Dan kini, paradigma itu berubah. Meski saya tak menulis, saya tetap ‘menulis’ dengan mendokumentasikan kegiatan.
Saya pun dapat berkahnya. Setidaknya, apa yang disampaikan Pak Nadjib Hamid tentang ujrah dan ajrun memang benar adanya. Saya akhirnya diangkat menjadi staf humas. Amanah baru yang saya emban di tahun ajaran baru 2018-2019—selain menjadi guru pendidikan jasmani.
Bukan hanya itu, karena PWMU.CO, saya mendapatkan hadiah Rihlah Dakwah ke Malaysia dan Singapura. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terbayang, apalagi memimpikan.
Saya bersyukur dapat rezeki tersebut. Karena, selama Rihlah Dakwah, bukan sekadar rekreasi biasa, berkunjung ke tempat-tempat wisata. Lebih dari itu, Rihlah Dakwah ibaratnya Baitul Arqam—menurut Pak Nadjib—yang dikemas menyenangkan dan penuh makna.
Diremehkan tapi Bangga
Pernah suatu ketika saya membagikan berita prestasi siswa sekolah ke grup WhatsApp persyarikatan di salah satu cabang. Berita tentang prestasi beberapa siswa dalam kejuaraan.
Tak dinyana, postingan saya itu ditanggapi salah seorang anggota grup dengan sinis. Yang menganggap hal tersebut hanyalah berita biasa, yang tidak ada istimewanya. Karena itu, menurut dia, tak layak untuk dibagi.
Saya pun kaget. Saya mencoba untuk merendah. Bagi saya memberitakan siswa yang juara adalah salah satu bentuk apresiasi yang tak biasa. Sebab tidak semua sekolah bisa melakukannya. Karena itu saya tetap bangga.
Saya menceritakan hal tersebut pada Pemred PWMU.CO Mohammad Nurfatoni Tujuannya agar saya diberikan kekuatan mental.
Hanya beberapa kata yang diucapkan. Yang itu membekas sampai sekarang. Suhu, panggilannya, mengatakan pada saya untuk tetap terus menulis dan pantang menyerah. “Biasa ada orang seperti itu. Mungkin iri karena tidak dapat memberitakan kegiatannya,” nasihatnya.
Yang menarik, peristiwa yang saya beritakan di PWMU.CO–dan dianggap sepele itu—ternyata diliput juga oleh media lain.
Saya termenung dan tertegun. Saya akhirnya berkesimpulan: kebaikan harus tetap diberitakan dan bahkan mungkin harus diviralkan. Bukankah kejahatan akan merajalela, ketika cahaya kebaikan perlahan padam.
Teruslah menulis dan kabarkan kebaikan. Bagi saya menulis di PWMU.CO seperti meniti jalan sufi!
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.