Pengalaman bersama Almarhum Mas Choliq Benahi Kantor Wilayah, tulisan Wakil Ketua PWM Jatim Nadjib Hamid MSi ini penuh inspirasi. Selamat membaca!
PWMU.CO – Pada 1996 saya ditunjuk sebagai Sekretaris Eksekutif Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Diamanahi mengelola aneka kegiatan tanpa dukungan dana selayaknya. Setiap akhir bulan harus mencari utangan ke beberapa amal usaha.
Gedung kantornya masih sangat sederhana. Kegiatan majelis dan lembaga belum terintegrasi semuanya. Majelis tertentu banyak staf administrasinya. Tapi majelis lain stafnya tidak ada. Keuangan dikelola masing-masing majelis-lembaga. Sehingga muncul stigma majelis mata air dan majelis air mata.
Dalam kondisi seperti itulah, saya bersama Mas Chusnul Choliq melakukan pembenahan manajamen kantor wilayah. Mengintegrasikan sistem kerja kesekretariatan dan majelis-lembaga. Selama lima tahun tanpa kenal batas jam kerja. Bahkan dia tinggal di kantor 24 jam lamanya.
Lima Tahun Berubah
Alhamdulillah, lima tahun kemudian berubah cerita. Diawali dengan pembentukan struktur majelis-lembaga tanpa bendahara, supaya keuangannya tersentral di bendahara wilayah. Juga mewajiban kantor wilayah sebagai pusat pengendalian administrasinya. Semula, dikendalikan dari tempat kerja masing-masing ketua.
Berikutnya, mekanisme serah terima jabatan pengurus majelis-lembaga. Bukan pengurus baru menerima dari yang lama. Tapi pengurus lama menyerahkan kepada pemberi mandat yaitu pimpinan wilayah, berikut aset-asetnya. Lantas pimpinan wilayah menyerahkan mandat kepada pengurus baru yang diamanahinya.
Saya beruntung punya ketua baru yang sangat menguasai manajemen tata kelola. Sehingga bisa belajar banyak darinya. Prof Fasichul Lisan bukan hanya mengusai manajemen tapi juga luas jejaringnya. Setiap hari selalu tanya, ada kegiatan apa dan dananya dari mana.
Jika dana tidak tersedia, beliau menujukkan jalan untuk mencari solusinya. Kadang diteleponkan koleganya. Kadang dari uang pribadinya. Kadang dari amal usaha. Kadang dari pemerintah.
Ketika itu tidak mudah bagi Persyarikatan masuk ke amal usaha. Dengan telaten ketua dan anggota pimpinan wilayah melakukan pembinaan dan pembenahan manajemen amal usaha. Setelah para pengelola merasa dapat manfaat dan merasa perlu kehadiran wilayah, mudah bagi PWM Jatim memperoleh dukungan dana.
Kantor PWM Jadi Meriah
Setelah manajemen kantor wilayah tertata, majelis-lembaga terintegrasi semua, dan amal usaha terbina, fihak eksternal pun mulai mendekat ke Muhammadiyah. Kegiatan PWM pun jadi meriah.
Konsekuensinya, diperlukan kantor yang enak dipandang mata dan bisa menunjang banyak aktivitasnya. Jika dulu pertemuan PWM yang mengundang PDM hanya dihadiri sekitar 80-an, di aula lantai dua gedung lama, sekarang bisa lebih dari 700 peserta, di aula lantai tiga. Kantor dan kegiatan ortom juga menyatu di dalamnya.
Di balik sukses membenahi kantor wilayah, tentu banyak pihak yang ikut berperan di dalamnya. Chusnul Choliq salah satunya, yang pada Sabtu, 1 Februari 2020 pukul 20.40 Wib dipanggil untuk menghadap-Nya.
Peran pria kelahiran Lamongan, 5 Mei 1972 ini diakui sangat luar biasa. Ia mengalami lima periode ketua: KH Abdurrahim Nur, Prof Fasichul Lisan, Prof Syafiq A. Mughni, Prof Thohir Luth, dan Dr M. Saad Ibrahim.
Dalam kondisi sakit akibat penyakit yang mendera sejak lama, tetap bekerja sesuai yang ia mampu melakukannya. Pihak keluarga sebenarnya sudah lama meminta dia istirahat di rumah. Tapi oleh pimpinan wilayah dicegah.
Pertimbangannya, supaya tetap bisa bergembira bersama teman-teman sekantornya, dan boleh pulang kapan saja. Tanpa dibebani pekerjaan kecuali hal-hal yang bisa menghibur dirinya.
Chusnul Choliq Wafat
Di Rumah Sakit Siti Khodijah, Sekretaris Lembaga Pengemangan Cabang dan Ranting (LPCR) wilayah ini berulang kali menjalani pemeriksaan dan pengobatan atas penyakitnya. Menyaksikan penderitaan sang suami yang kian parah, Siti Nur Mazidah tidak tega, dan merelakan ayah dari Nadiyatul Husna Shofaroh, Ahmad Muwaffiqul Choir, dan Anfaul Mujadid itu dipanggil Yang Maha Kuasa.
Saya tidak bisa bayangkan betapa letihnya wanita 39 tahun ini sekian lama harus merawat suaminya, sekaligus mengasuh ketiga anaknya. Tapi hebatnya, dia tetap tampak tegar di hadapan para pentakziyah, seperti tidak sedang dirundung duka.
Saya terbata-bata mengucapkan kalimat duka. Tapi dia bilang sudah ikhlas karena tidak tega melihat suaminya menderita sakit begitu lama. Tak lupa pula, ia berterima kasih kepada segenap pimpinan wilayah atas dukungan biaya pengobatan suaminya.
Pengalaman bersama almarhum Mas Choliq mudah-mudahan menginsirasi. Dan semoga almarhum husnul khatimah. (*)