Corona Makhluk Kecil Bikin Gagap Pejabat tulisan opini Dr Slamet Muliono, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya mengupas sifat manusia yang meremehkan masalah kecil.
PWMU.CO-Awalnya pemerintah Indonesia demikian yakin wabah virus Corona tidak membahayakan bagi negaranya. Bahkan ucapan beberapa pejabatnya meremehkan wabah yang sudah mengguncang China, Iran, dan Italia ini. Warga di tiga negara ini banyak terjangkit Covid 19 yang menyebar dengan cepat dan ada yang mati.
Pemerintah baru tersentak sadar Corona sudah ngendon di Indonesia setelah menjangkiti Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Padahal sebelumnya dia berkelakar dia kebal Corona karena biasa makan nasi kucing. Tak pakai lama Covid 19 menghentikan banyolannya.
Pejabat lainnya pun jadi panik. Mereka dan seisi istana ramai-ramai periksa diri ikut tertular atau belum. Menteri Kesehatan yang menganggap Corona seperti flu biasa dan menuduh beritanya saja yang menakutkan makin gagap bicara setelah melihat lonjakan pasien setiap hari. Terbukti dia tak mampu mencegah sebaran virus yang diremehkannya itu. Hingga kini diberitakan 309 orang positif Corona dan 25 pasien meninggal.
Keputusan presiden pun berubah-ubah hingga membingungkan kepala daerah soal kewenangan ambil keputusan isolasi di wilayahnya. Kebijakan menutup akses keluar masuk warga negara pun bersifat setengah-setengah.
Di awal wabah merebak di Wuhan, presiden masih berpikir membayar influencer triliunan rupiah untuk memasukkan turis saat melihat arus wisatawan makin sepi. Padahal negara lain sudah menutup arus masuk warga asing.
Di tengah rakyat sedang galau wabah Corona, tiba-tiba ada 49 orang warga China bebas melenggang masuk di Bandara Kendari tanpa pemeriksaan ketat. Padahal orang-orang ini dari negara sumber wabah. Kondisi ini makin menjadi pertanyaan besar cara pemerintah menangani masalah serius ini.
Dampak Krisis Ekonomi
Hal ini berimplikasi buruk. Muncul ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah mengatasi Covid 19 ini. Mereka pun khawatir wabah berdampak pada krisis ekonomi yang tanda-tandanya dimulai dari naiknya nilai dolar dan pengakuan pemerintah logistik belum siap kalau benar-benar sampai diputuskan lockdown.
Maka dipilihlah social distancing yang bebannya lebih ringan. Anjuran menjaga jarak sosial. Menghindari sentuhan fisik yang bisa memicu penularan virus Corona.
Tapi pembuatan keputusan social distancing tak diiringi tindakan cepat di lapangan. Membiarkan warga menuju tempat wisata, membiarkan kerumuman di fasilitas umum, perbedaan sikap membatalkan acara massal di beberapa daerah dikhawatirkan semakin memperluaskan penyebaran virus ini.
Sekarang ini pasar sudah mulai lesu. Ekonomi terus menurun. Tapi harga kebutuhan pokok beranjak naik. Dalam situasi seperti ini dipastikan rakyat miskin paling rentan kelaparan. Rakyat yang tak bekerja di kantoran dengan gaji tetap. Mereka ini para pedagang kaki lima, sopir angkot, tukang ojek, warung, yang mengharapkan keramaian dari jualannya. Jumlah kaum dhuafa seperti ini separo lebih dari penduduk negeri ini.
Bagi mereka berjuang mencegah tertular virus Corona sama beratnya dengan upaya agar tak kelaparan. Karena itu jika diam di rumah sesuai seruan social distancing merupakan pilihan sulit. Tak bekerja tak ada uang untuk makan. Kelaparan juga memudahkan virus apa pun masuk ke tubuh yang lemah. Terkecuali pemerintah menjamin kebutuhan pangan untuk rakyatnya. Sebelum ada jaminan itu tak bekerja merupakan bencana.
Inilah pilihan-pilihan sulit yang menimpah rakyat di tengah wabah Corona. Maka pejabat negara janganlah asal bicara dan meremehkan masalah. Kesalahan membuat keputusan menjadi bencana yang dirasakan semua rakyat.
Dalam perspektif agama, Corona merupakan peringatan dari Allah. Virus ini kecil, sangat kecil tapi menunjukkan kebesaran Allah dan kecilnya manusia. Manusia seharusnya merasa rendah di hadapan kebesaran Allah. Tidak selayaknya manusia melakukan kesombongan dan merasa diri besar dan kuat.
Sikap sombong dan menganggap sepele itu terbukti kini Corona, makhluk kecil itu bikin gagap para pejabat. Kalau situasi ini tak menemukan jalan tepat, bisa jadi akan meruntuhkan kewibawaan pemerintah sehingga muncul krisis ekonomi yang berimbas pada krisis politik dan legitimasi yang bisa membawa bencana bagi rakyat. (*)
Editor Sugeng Purwanto