Agama dalam Pusaran Wabah Covid-19 ditulis oleh Pradana Boy ZTF, Dosen Hukum Islam, Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Tetaplah berjamaah di masjid. Jangan mau ditakut-takuti dengan ancaman Virus Corona.
Masjid adalah rumah Allah SWT dan Virus Corona adalah ciptaan Allah SWT.
Di sini logika keimanan kita diuji. Kalau kalian benar-benar beriman, untuk apa takut?
Allah SWT yang mengatur semua itu. Dan apabila ajal kita dijemput di masjid, in shaa Allah akan dimatikan dalam keadaan husnul khatimah.
***
Kutipan di atas adalah bunyi sebuah pesan berantai yang beredar di media sosial baru-baru ini. Mudah diduga, kalimat di atas berkaitan dengan merebaknya wabah Corona yang menyerang seluruh penjuru dunia sekarang.
Kontroversi tentang wabah ini ternyata telah bergeser ke wilayah-wilayah non-medis. Dan agama adalah salah satunya.
Pada wilayah agama, wabah Corona telah menyeret umat beragama, khususnya umat Islam, ke dalam aneka kontroversi. Salah satunya adalah berkaitan dengan pembatasan ibadah di ruang publik sebagai antisipasi penularan virus Covid-19 secara massal.
Menyusul pembatasan serupa di berbagai negara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa tentang “Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19”.
Salah satu poin penting fatwa itu adalah bahwa penyelenggaraan ibadah bersama yang melibatkan massa besar tidak diperbolehkan, jika dalam satu kawasan penyebaran wabah Covid-19 sangat rawan.
Dua Sikap Bertentangan
Merespons fatwa ini, umat Islam Indonesia menunjukkan sikap yang berbeda, bahkan terlihat saling bertentangan. Jangankan dalam kelompok yang berbeda orientasi, sementara dalam satu organisasi yang sama pun, perdebatan juga berlangsung.
Secara umum, perbedaan sikap itu bisa diringkas ke dalam dua kelompok besar saja, yakni mereka yang menerima fatwa MUI itu dengan berbagai pertimbangan rasional dan logis.
Sementara sekelompok umat Islam yang lain menolak fatwa MUI, khususnya, atau anjuran untuk tidak menggelar ibadah yang melibatkan massa besar itu, dengan sejumlah argumentasi teologis.
Pada posisi pertama, sejumlah tokoh telah menyatakan sikap. Fathurrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, termasuk yang mendukung fatwa MUI tersebut.
Kamal berpandangan, dalam suasana luar biasa seperti sekarang ini, umat memiliki dua pegangan yakni Allah dan Rasul-Nya. Karena kita hidup pada zaman di mana Rasul sudah tidak ada, maka mengikuti fatwa ulama yang kredibel dan arahan pemerintahan yang sah adalah bagian dari cara berpegang teguh itu.
Demikian pula, Abdullah Gymanstiar dan Buya Yahya. Dua tokoh yang demikian populer di kalangan Muslim Indonesia itu, sama-sama menyerukan umat untuk mengikuti fatwa ulama.
Sebaliknya, mereka yang menyerukan untuk tetap menggelar ibadah yang melibatkan massa itu mengusung argumentasi teologis. Salah satu contoh argumentasi itu adalah sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini.
Bahkan tak sedikit yang menarik persoalan ini terlalu jauh ke wilayah politik keagamaan dengan mengatakan seruan atau anjuran tidak menggelar shalat Jumat berjamaah adalah bukti bahwa ada gerakan sistematis untuk menjauhkan umat Islam dari masjid. Dan itu merupakan bukti nyata adanya fobia terhadap Islam dari beberapa kalangan, tak terkecuali kalangan Islam sendiri.
Recyle Tema Lama
Meskipun masalah dan konteks yang dihadapi berbeda, sesungguhnya perdebatan seperti ini merupakan recycle atas tema lama dalam beragama. Yakni hubungan antara agama dan akal serta bagaimana menempatkan akal dalam kehidupan beragama.
Betapapun tema ini adalah setua usia manusia dan agama. Rupanya di setiap zaman ketidakdewasaan dalam menempatkan hubungan antara agama dan akal senantiasa berlangsung.
Sesungguhnya ini merupakan bukti bahwa dalam setiap zaman, selalu saja ada kelompok beragama yang menempatkan agama semata-mata sebagai dogma dan tidak berusaha membawa agama dalam realitas kehidupan yang nyata.
Keyakinan akan Tuhan ditempatkan sebagai poin yang mengunci semua wilayah kreativitas manusia, sehingga agama justru tampil sebagai belenggu bagi pemanfaatan akal bagi kemaslahatan.
Pernyataan bahwa dengan tidak menyelenggarakan shalat Jumat adalah ukuran kelemahan iman seseorang karena tidak percaya kepada takdir Tuhan adalah sebuah pernyataan yang salah tempat.
Para ulama menyebutnya sebagai qawlun haqqun urida bihi al-batil. Sebuah perkataan yang secara kasat mata adalah benar, tetapi sesungguhnya memiliki tujuan untuk penyesatan.
Memanglah benar, bahwa salah satu konsekwensi tauhid, mengimani Allah, adalah ketundukan dan kepasrahan total kepada kehendak-Nya. Tetapi itu tidak bermakna bahwa manusia harus bersikap fatalistik dalam menjalani kehidupan.
Terlebih fatalisme yang diatasnamakan tauhid. Dalam hal ini, tauhid bukanlah sebuah keyakinan pasif dan irasional. Sebaliknya, tauhid meniscayakan manusia untuk bersifat pro-aktif dan rasional dalam menjalani kehidupan.
Karena itu, keyakinan akan keberadaan Allah dan kepasrahan kepada-Nya sebagai inti dan konsekuensi tauhid tidak serta merta membebaskan manusia dari kewajiban berusaha.
Agama Tak Bertentangan Akal
Muhammad Abduh dalam Risalat al-Tawhid, menyebutkan akal sesungguhnya adalah dasar agama. Maka, ajaran-ajaran agama tidaklah mungkin bertentangan dengan hukum akal. Pandangan yang sama juga dianut oleh Muhammad Imarah dalam al-A’mal al-Kamilah li Syaikh Muhammad Abduh.
Lebih jauh, Abduh menyatakan dengan akal, manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak, dan memilih keputusan. Dan karena akal itu pulalah manusia mampu menganalisis akibat dari perbuatan yang dipilih.
Namun demikian, kata Abduh lebih jauh, kebebasan manusia tidak absolut, karena dibatasi oleh kehendak Allah dan sunatullah. Salah satu wujud sunatullah itu adalah hukum sebab akibat.
Dalam konteks ini, jika dihubungkan dengan sikap kukuh sebagian umat Islam Indonesia untuk tetap menjalankan ibadah di masjid di tengah situasi yang tidak memungkinkan dengan dalih percaya kepada Allah, adalah sebuah prinsip yang sekilas tampak benar tetapi sesungguhnya menentang prinsip sunatullah.
Dalam konteks hukum sebab akibat, jika telah diketahui salah satu kemungkinan terbesar sumber penularan penyakit adalah kerumunan dalam jumlah besar, maka akal sehat akan mengatakan untuk tidak menciptakan kerumunan.
Dalam hal meniadakan shalat Jumat karena keadaan darurat, maka akal sehat juga akan segera menghubungkannya dengan hakikat agama yang memudahkan manusia dan tidak menciptakan kesulitan.
Hasbi ash-Shiddieqy dalam salah satu karya pentingnya, Falsafah Hukum Islam dengan mengutip sejumlah ulama menekankan pentingnya salah satu ciri syariat Islam ‘adamu al-haraj atau raf’u al-haraj, yakni meniadakan atau menghilangkan kesulitan.
Tak kalah pentingnya adalah prinsip hukum Islam untuk memelihara atau melindungi kehidupan atau jiwa manusia (hifdzun nafs) sebagaimana juga dijelaskan dalam Fatwa MUI No. 14 tahun 2020.
Percaya Ilmuwan atau Agamawan?
Selain itu, perdebatan seperti ini sebenarnya mengingatkan kita kepada hubungan antara agama dan sains, dan atau agamawan dan ilmuwan.
Sesungguhnya tidak ada larangan spesifik bagi seorang agamawan untuk berbicara tentang sains, sepanjang ia benar-benar menguasainya.
Sejarah cemerlang peradaban Islam memang pernah mencatat lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang bersifat polymath (seseorang yang menguasai aneka cabang ilmu pengetahuan pada saat bersamaan), seperti Ibn Sina, al-Razi, al-Ghazali, atau Ibn Rusyd.
Maka di tangan agamawan cum saintis seperti ini, tak ada keraguan untuk me-nisbah-kan diri pada pandangan mereka baik dalam bidang ilmu keagamaan maupun sains.
Namun, di alam seperti zaman ini, ketika ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang luar biasa—sementara tuntutan zaman dan profesionalisme hampir menutup pintu bagi lahirnya para polymath—maka dalam konteks analisis sains, percaya kepada ilmuwan adalah lebih diutamakan ketimbang percaya kepada agamawan.
Belajar pada Nabi Muhammad
Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, riwayat tentang percakapan beliau dengan petani kurma sangatlah penting untuk dihadirkan sebagai analogi.
Seorang sahabat datang meminta nasihat Nabi SAW tentang penanaman kurma, apakah kurma itu perlu dikawinkan terlebih dahulu atau tidak.
Nabi menjawab bahwa sebaiknya tidak dikawinkan. Nasihat itupun dijalankan oleh petani tersebut. Akan tetapi, metode penanaman kurma seperti ini ternyata tidak menghasilkan buah, sehingga Nabi SAW lalu mengakui. “Kalian lebih tahu dalam urusan dunia kalian masing-masing.”
Adalah menarik menghadirkan pandangan Buya Hamka tentang riwayat ini. Dalam Tafsir al-Azhar Jilid 1, Buya Hamka menulis: “… bukti ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Nabi kita s.a.w. bukanlah seorang ahli perkebunan, dan tidaklah beliau sendiri mengerti, diukur dengan ilmu perkebunan, bahwa angin mempunyai tugas untuk mengawinkan bibit.” (h. 19).
Jika dianalogikan, maka dalam konteks peniadaan sementara ibadah di masjid yang melibatkan publik ramai dengan prinsip melindungi hidup manusia, percaya kepada pemimpin agama mempertimbangkan pandangan para ilmuwan tentang sesuatu yang menjadi keahlian mereka, tentu lebih bisa diterima akal dan fithrah kemanusiaan.
Dari pada memercayai agamawan yang secara membabi-buta menjalankan agama, namun pada saat yang sama mengingkari prinsip-prinsip syariat.
Karena itulah, beragama dengan cara yang rasional, dan menempatkan sesuai sesuai dengan maqam dan konteksnya akan menjadikan keberagamaan benar-benar memberi manfaat kepada manusia dan kemanusiaan.
Sebaliknya, sikap fatalistik dan anti-akal hanya akan menjauhkan agama dari realitas; dan bahkan jauh dari tujuan agama, betapapun diatasnamakan agama. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.