PWMU.CO-Motor butut Yamaha bebek engkel 70 CC tahun 1970 menjadi kesayangan Pak AR Fachruddin. Warnanya oranye. Suaranya sudah kretek-kretek kalau dinaiki. Apalagi pemiliknya berbadan besar. Belum lagi kalau berboncengan dengan Bu Qom, istrinya.
Motor itulah kendaraan andalannya. Tak pernah berpikir mengganti keluaran terbaru karena memang tak mau membelinya. Padahal Pak AR menjabat ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Banyak orang mengatakan, mosok orang sepenting dia naik motor butut. Tapi dia santai saja. Kendaraan itu menjadi andalan mobilitas keluarga. Mengisi pengajian ke kampung-kampung seperti pinggiran Kali Code, motor oranye itu jadi penanda kehadirannya.
Bahkan nekat menaiki lereng Gunung Merapi dan pelosok desa kalau ada undangan pengajian ke sana. Anaknya yang kuliah di Fakultas Kedokteran UGM juga pakai kendaraan itu. Ponakan-ponakan yang ngenger di rumah itu juga naik motor itu. Mengantar belanja istri naik itu juga.
Padahal saat di-starter mesin motor Pak AR itu tak langsung menyala. Terdengar suara mesin bandel grek…grek…grek…tak segera bunyi. Walaupun begitu Pak AR cinta dengannya. Motor itu kadang kala mogok di tengah jalan. Seperti kejadian di Pajangan Bantul.
Dengan sabar orang tua itu menuntunnya mencari bengkel. Seorang yang mengenalnya langsung bertanya, kok dituntun Pak Kiai? “Iya, kalau gak dituntun takut nanti ngamuk,” selorohnya yang membuat orang tertawa.
Ditawari Mobil
Suatu hari motor itu pernah membawa petaka. Ketika sedang dikendarai tiba-tiba oleng tak bisa dikendalikan. Lalu menabrak tukang becak sehingga harus diopname di rumah sakit. Pak AR tanggung jawab dan membiayai pengobatan tukang becak yang akhirnya terjalin hubungan persaudaraan.
Sebenarnya tanpa meminta, ada tawaran mobil. Dari PT Astra yang datang mau memberi hadiah mobil Toyota Corolla DX keluaran terbaru saat tahun 1980. Tapi Pak AR menolaknya dengan halus.
”Piye toh, nyopir mobil saja ra iso. Parkirnya sulit. Repot kalau bawa mobil. Apalagi kalau harus masuk ke kampung-kampung di pinggir Kali Code untuk ceramah. Jalannya sempit gak bisa untuk mobil,” katanya.
”Jadi saya menolak hadiah mobil sedan itu,” ujarnya enteng. ”Selain tak bisa nyopir, uang bensin dan memeliharanya juga gak ada. Repot,” tambahnya.
Pak AR telanjur sayang dengan kendaraannya. Sekaligus menjaga amanah pemberinya. Motor itu hadiah dari saudagar asal Yogya, Prawiroyuwono, untuk memudahkan Pak AR berdakwah. Kendaraan itu terus dipakai untuk keperluan sehari-hari sampai wafat. (*)
Kisah Pak AR ini bisa juga dibaca dalam buku Pak AR Sang Penyejuk tulisan Syaefudin Simon.
Editor Sugeng Purwanto