Ayek Telah Pergi: Eulogi untuk Mohammad Nadjikh ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, teman sekelas almarhum di Pesantren Maskumambang, Dukun, Gresik.
PWMU.CO – Banyak sudah yang menulis soal kepergian Mohammad Nadjikh, yang terasa terlalu cepat, di usianya yang ke-57.
Orang baik pergi terlalu cepat, good man gone too soon, dan hanya orang baik yang meninggal muda, only the good die young, begitu kata pepatah Inggris.
Nadjikh meninggal, meninggalkan legacy yang akan dikenang lama. Ia membangun usaha industri ikan Kelola Mina Laut (KLM) dari nol dari kampungnya yang miskin di Karangrejo, Manyar, Gresik.
Dalam tempo kira-kira 25 tahun usaha kecil itu sekarang menjadi usaha global menembus pasar dunia. Mulai dari Asia, Eropa, sampai Amerika, dengan putaran uang triliunan rupiah.
Pelajaran dari Nadjikh
Kematian memberi pelajaran. Kematian menyadarkan bahwa usia hanyalah angka tanpa makna kalau tidak memberi manfaat pada manusia.
Kematian Nadjikh membuat iri. Usia pendek tetapi ia sudah memenuhi dan menyelesaikan tugas-tugas kemanusiaannya. Memberi manfaat kepada manusia lain dengan menyediakan lapangan kerja bagi puluhan ribu, atau mungkin, jutaan orang.
Sekali berarti, sudah itu mati. Kata Chairil Anwar. Pasti Nadjikh tidak sempurna. Ibadah ritual formalnya menjadi urusannya dengan Tuhannya. Kita tidak pernah tahu. Tapi, ibadah sosialnya bisa kita lihat dengan jelas kehebatannya.
Nadjikh telah membuktikan bahwa dia bagian dari khairun nas, manusia terbaik, yang dalam Islam kriterianya hanya sederhana. Yaitu anfa’uhum linnas, mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dalam kategori sosial, Nadjikh adalah tipe ideal dari khairu ummat, umat terbaik, yang dalam konsepsi Islam disyaratkan untuk memenuhi dua hal. Yaitu amar makruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan.
Dua-duanya dituntaskan Nadjikh dengan baik. Bukan dengan pidato atau ceramah, tapi dengan tindakan kongkret memberi pekerjaan kepada yang tidak mampu. Dan pada saat yang sama menghindarkan mereka dari kejahatan yang banyak dilakukan karena kelaparan.
Cerdas sejak Kecil
Sejak kecil Nadjikh terlihat sebagai anak cerdas yang punya angan-angan besar. Selepas SD ia sempat mondok di Pesantren Maskumambang, Gresik, kira-kira 30 kilometer dari kampungnya.
Teman-temannya di kampung dan di pondok memanggilnya “Ayek”. Konon karena waktu kecil dia cadel sehingga melafalkan “arek” menjadi “ayek”. Sejak itu “Ayek” menjadi nickname-nya.
Tidak seperti santri lain yang umumnya bercita-cita menjadi mubaligh, Ayek terlihat punya passion yang beda. Ia lebih menonjol di mata pelajaran umum. Karena itu tidak heran Ayek bisa masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB).
Ia kemudian menekuni passion-nya di bidang kewirausahaan perikanan yang kemudian menjadikannya salah satu entrepreneur perikanan terkemuka di negeri ini.
Tidak banyak santri yang punya jiwa entrepreneurship seperti Nadjikh. Entrpreneurship adalah ketajaman naluri melihat peluang usaha, keberanian mengambil risiko yang terukur, calculated risk, keuletan, ketekunan, dan tidak menyerah oleh kegagalan.
Tanggung Jawan Kemanusiaan Nadjikh
Seorang entrepreneur diasosiasikan dengan ketajaman dalam mengendus peluang untuk mendapatkan profit. Dalam sistem ekonomi yang kapitalistik pasar bebas, ini berarti penguasaan produksi hulu ke hilir secara ekspansif. Kemudian mengembangkan konglomerasi vertikal dan horizontal. Dalam prosesnya sering terjadi eksploitasi terhadap kalangan bawah yang termarginalkan.
Kapitalisme lahir dari etika Protestan yang mengajarkan sikap thrifty, irit, dan memperbolehkan pengumpulan kekayaan sebanyak-banyaknya. Pada perjalanannya kemudian kapitalisme menjadi sangat eksploitatif.
Para entrepreneur besar kemudian mengakui ada yang tidak adil dalam sistem ini, mereka kemudian menyadari adanya tanggung jawab sosial yang harus diberikan oleh korporasinya kepada masyarakat.
Dalam banyak kasus apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial korporat itu dilakukan sekadar memenuhi kewajiban seperlunya saja. Tetapi, banyak juga yang benar-benar menjalankannya dengan penuh tanggung jawab sosial.
Gerakan filantropi bermunculan di mana-mana seiring dengan munculnya gerakan socio-entrepreneurship yang melahirkan para socio-entrepreuneur hebat.
Nadjikh melakukan hal yang sama sepenuh hati. Ia merangkul nelayan-nelayan miskin di sepanjang pantai Indonesia, dan menjadikan mereka mitra usaha tanpa mengeksploitasi meskipun peluangnya terbuka.
Nadjikh melakukannya bukan sekadar sebagai bagian dari tanggung jawab sosial, tapi lebih sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang didasari oleh komitmen beragamanya yang tinggi.
Itulah socio-religio-entrepreneurship, bahwa bisnis bukan sekadar profit above all, tapi bagian dari pemenuhan tugas kekhilafahan manusia di bumi untuk menjadi umat terbaik.
Etika Protestan melahirkan entrepreneur yang kapitalistik-eksploitatif. Etika Islam melahirkan seorang Mohammad Nadjik.
Selamat jalan, Ayek!
Tulisan Ayek Telah Pergi: Eulogi untuk Mohammad Nadjikh ini semoga menginspirasi (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.