Tanda Baik Islamnya Seseorang ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayat Tirmidzi, sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ, وقَالَ: حَسَنٌ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Di antara (tanda) baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tak berguna baginya”.
Apa prioritas dalam hidup kita? Inilah yang sering terabaikan. Banyak di antara kita yang tidak tahu-menahu, prioritas apa yang seharusnya dikedepankan! Bahkan seringkali kita juga tak peduli masalah ini, padahal inil salah satu yang menadi perrhatian Nabi SAW seperti dalam hadits di atas.
Yang dimaksud perkara dalam kalimat di atas, bisa berupa apa saja. Bisa benda-benda, waktu, kemampuan, dan lain-lain. Sehingga pesan hadits di atas adalah berbuatlah yang prioritas, bicaralah yang bermanfaat, belilah yang memang dibutuhkan, dan seterusnya.
Coba kita perhatikan berapa benda-benda yang ada di dalam rumah kita, yang kita sendiri tidak tahu untuk apa? Berapa banyak waktu kita yang berlalu dengan sia-sia atau berlalu dengan aktivitas yang tidak bermanfaat? Yang bermanfaat untuk diri kita sendiri apalagi untuk umat ini.
Lalu apa sebenarnya yang kita cari atau yang ingin kita capai dalam kehidupan kita ini? Banyak di antara kita yang tidak peduli atau bahkan tidak tahu-menahu masalah skala prioritas ini. Padahal hal ini adalah sesuatu yang sangat penting.
Skala Prioritas Islami
Dalam ungkapan bahasa Inggris kandungan hadits tersebut diantaranya dinyatakan: “An educated people is a person whose attitudes and activities are based on the Islamic priority scale.” Orang yang terpelajar adalah orang yang sikap dan perilakunya didasarkan atas skala prioritas yang islami.
Mengapa harus isami? Karena tiada sistem nilai yang paripurna kecuali sistem nilai islam. Maka ketika membuat skala prioritas dalam hidup ini, sebagai seorang Muslim, mestinya mengacu pada skala prioritas yang islami tersebut.
Dalam masyarakat kita, masalah pendidikan secara formal akademik bisa dikatakan telah tercapai. Hal demikian menunjukkan adanya masyarakat yang terdidik atau terpelajar.
Selanjutnya di sisi yang lain tingkat kesadaran umat pada keagamaan juga menunjukkan peningkatanya. Terbukti dengan banyaknya masjid di berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta. Belum lagi di sudut-sudut kota, kampung-kampung, atau pelosok-pelosok desa.
Religiusitas Semu?
Jadi sesungguhnya masyarakat sudah terpelajar dan religi. Akan tetapi dalam perilaku apakah sudah sejalan dengan kedua ciri tersebut? Inilah yang merisaukan.
Walaupun pendidikan telah mencapai tingkat akademik yang tinggi dan atau memiliki kemampuan ilmu keagamaan yang cukup, akan tetapi dalam kehidupan masyarakat, masih acapkali terjadi hal-hal yang bertentangan dengan kedua ciri tersebut. Seolah-olah tidak berdampak sama sekali.
Hal ini menjadi bukti, umat ini belum menjiwai terhadap ad-Dinul Islam secara benar, sehingga al-Islam ini tidak begitu jelas aplikasinya. Apalagi dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat yang terpelajar dan dalam lingkungan kehidupannya tidak begitu jauh dari masjid, yang nota bene merupakan pusat aktivitas spiritual kaum Muslimin, masih sangat jauh dari warna al islam yang sebenarnya.
Semua itu tidak lain disebabkan umat telah kehilangan motivasi keimanan. Seharusnya secara sadar kaum Muslimin menjadikan al-Islam sebagai sistem kehidupannya, termasuk menjadikannya sebagai prioritas utama.
Dalam bahasa fikih, skala prioritas ini terangkum dalam kesimpulan hukum yang lima yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Maka dalam lapangan kehidupan ini, seorang Muslim juga mestinya menggunakan pertimbangan ini, apakah yang akan di lakukan ini bersifat wajib atau lainnya. Tentu semua itu berdasarkan skala prioritasnya masing-masing.
Secara realitas umat telah terpecah menjadi berkeping-keping. Padahal seharusnya
مِنْ كَلِمَةِ التَّوْحِيْدِ إِلَى تَوْحِيْدِ الْأُمَّةِ (dari kalimat tauhid menuju kesatuan umat). Bagaimana bisa bersatu. Sementara pada masing-masing diri ‘bersemayam’ tuhan yang berupa nafsu, yang menjadikan adanya jarak dengan merasa lebih “mulia” dari yang lainnya.
Dalam sebuah nasyid disampaikan:
أُخُوَّةُ الدِّيْنِ أَقْوَى مِنْ عُرِى النَّسَبِ # أُخُوَّةُ الدِّيْنِ فَوْقَ الْمَالِ والذَّهَبِ
Persatuan karena الدِّيْنِ lebih kuat dari talian nasab. Persatuan karena الدِّيْنِ lebih berharga dari pada harta dan emas. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.