Ketika Allah Cemburu pada Manusia ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayat Bukhari-Muslim, sebagai berikut:
عنْ أبي هُريرةَ رَضْيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبيِّ صلَّي اللهُ علَيه وسلَّم, قَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغَارُ, وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ. متَّفقٌ عَليْه
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki kecemburuan. Kecumburan Allah adalah jika seorang mukmin mengerjakan apa yang diharamkan oleh-Nya.
Definisi Ghairah, Cemburu
Ghairah didefinisikan dengan ta’alluqun syadiidun bisyakhshil habiibi dhanna anna hunaaka man yusyaarikuhu fii hubbihi. Yakni mencintai kepada seseorang dengan sangat lalu menyangka bahwa seseorang tersebut menduakan atau lebih cintanya itu. Maka ghairah juga disebut cemburu atau jealous.
Ghairah merupakan fitrah manusia. Ketika seseorang memiliki perasaan kepada orang lain khususnya lawan jenis, maka ghairah ini akan muncul. Dan hal ini merupakan sifat yang wajar dalam diri seseorang akibat perasaannya tersebut. Tetapi tidak kemudian sifat ini dibiarkan liar tanpa kendali. Karena akibatnya juga akan tidak baik bagi kedua belah pihak.
Penyakit Hati Merugikan Diri
Maka sifat ghairah haruslah dimenej sedemikian rupa. Sehingga tidak melahirkan sikap suudhdhan atau negatif thinking alias buruk sangka. Apalagi jika terjebak pada cemburu buta, sama dengan kita memelihara perasaan yang menyiksa diri kita sendiri.
Karena setiap penyakit hati dalam diri seseorang adalah merupakan bentuk penyiksaan diri sendiri. Iri hati, sombong, hasad dan lain-lainnya adalah penyakit hati yang sama dengan kita menyiksa dan menyengsarakan diri sendiri.
Tetapi seringkali malah kita merasa biasa-biasa saja dengan penyakit hati ini. Padahal jika disadari hal tersebut merugikan diri kita. Oleh karenanya setiap penyakit seharusnya disembuhkan karena pasti membahayakan diri. Baik penyakit fisik atau jasmani, juga penyakit hati atau ruhani.
Dalam kaitan dengan ini, tabayyun atau klarifikasi merupakan sikap yang bijaksana. Komunikasi antarpihak merupakan solusi terbaik yang harus dilakukan. Yang di dalamnya juga sharing dan tukar pendapat sehingga semuanya menjadi ada titik temu. Di sinilah intensitas pertemuan menjadi penting, sehingga hubungan dan perasaan tetap terjaga sebagaimana tujuan semula.
Justru jika tanpa adanya bumbu rasa kecemburuan bisa jadi tanpa cinta. Karena dengan sifat itu justru masing-masing dapat menjaga diri. Apalagi jika seorang laki-laki tidak lagi memiliki kecemburuan pada istrinya jika dengan orang lain.
Maka hal itu merupakan suatu yang sangat membahayakan. Karena akan berdampak serius bagi kehidupan rumah tangganyya secara keseluruhan, termasuk kepada anak-anaknya.
Dayyuts, tanpa Cemburu
Sahabat-sahabat Rasulullah SAW juga pecemburu sebagaimana dalam sebuah riwayat: “Sa’d bin Ubadah mengatakan; ‘Kalau kulihat ada seorang laki-laki bersama isteriku niscaya kusabet dengan pedang tepat dengan mata besinya. Berita ini sampai kepada Nabi SAW sehingga Nabi bertanya: “Apakah kalian merasa heran dari kecemburan Sa’d, sungguh aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Sehingga kecemburuan juga penting, tetapi sekali lagi harus diletakkan secara tepat dan benar. Dalam kategori lain cemburu juga berhimpit dengan iri hati tetapi dalam hal yang positif. Maka dapat disimpulan iri hati yang negatif disebut hasad sedangkan yang bermakna positif bermakna ghairah ini.
Praktik ghairah ini di antaranya sebagaimana sebuah riwayat: Aisyah RA berkata, “Belum pernah aku sedemikian cemburu kepada seorang wanita sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah, sebab Tuhan Muhammad telah menyuruhnya agar memberinya kabar gembira dengan surga.” (HR Bukhari)
Maka batas kecemburuan adalah jika ketidaksesuaian dengan ketentuan Allah dan RasulNya. Yakni jika jelas ada pelanggaran terhadap perintah Allah dan menjalankan laranganNya maka cemburu menjadi wajib adanya.
Laki-laki yang tidak memiliki kecemburuan disebut dayyuts, Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga golongan yang Allah mengharamkan surga atas mereka, pecandu khamer, anak yang durhaka kepada orang tua, dan dayyuts, yaitu seorang yang merelakan keluarganya berbuat kekejian.” (HR Ahmad)
Allah Cemburu
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa Allah SWT memiliki kecemburuan. Jika manusia yang disayangi dan diharapkan selalu bahagia justru menempuh jalan yang di haramkan-Nya—yang tentu justru akan menjadikan ia sengsara.
Kecemburuan Allah dalam kerangka sifat Rahman dan Rahim, kasih sayang-Nya ini tiada terbatas.
Maka tentu sebagai seorang mukmin kita sangat menjaga untuk tidak berbuat yang menyebabkan Allah SWT cemburu. Karena ketika Allah cemburu dan manusia semakin melampui batas, maka akan berlanjut pada kemurkaan-Nya.
Walaupun dalam kehidupan di dunia seberapapun kemurkaan Allah tetapi tetap merupakan bentuk kasih sayang-Nya kepada kita. Lain dengan di akhirat, kemurkaan Allah berupa siksaan dalam api neraka. Karena hal itu merupakan pilihan masing-masing manusia itu sendiri untuk di neraka atau di surga.
Karena ada yang diharamkan tentu ada yang dihalalkan. Segala yang baik adalah yang di halalkan, sedang yang buruk pasti itulah yang di haramkan. Segala perintah-Nya pasti mengandung kebaikan, dan segala larangan-Nya pasti merugikan bagi pelakunya sendiri dan bisa juga merugikan orang lain.
Tidak mungkin Allah SWT melarang sesuatu yang baik buat kita, demikian pula tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu yang buruk. Subhanallah, Maha Suci Allah dari setiap keburukan.
Walhasil, Allah cemburu jika manusia diberikan kebahagiaan justru melanggarnya. Dengan demikian justru manusia yang tidak taat dan masih mempertanyakan, apalagi menggugat terhadap perintah dan larangan-Nya merupakan bentuk kesombongan yang nyata. Ketidak taatan kepada Allah merupakan kebodohan dan kedlalilam yang sangat.
Ridha dengan Hukum Allah
Dalam batas-batas tertentu Allah menurunkan hukum-Nya untuk ditegakkan. Bagi pencuri termasuk koruptor, dengan syarat dan ketentuan yang ada hukumannya di potong tangan. “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Maidah 38)
Demikianlah hukum Allah untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya. Termasuk para pezina (muhshan = yang telah bersuami atau beristri) di hukum rajam. Sedang bagi yang belum menikah masing-masing didera 100 kali.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an Nur 2).
Tentu dengan persyaratan harus ada empat orang saksi laki-laki secara bersama-sama melihatnya. Jika tidak memenuhi persyaratan saksi tersebut maka justru saksi itu yang mendapat hukuman dera 80 kali dan kesaksiannya tidak diterima selamanya. (an-Nur 4).
Maka sangat sulit hukum rajam diberlakukan. Tidak semudah yang dibayangkan oleh penentang terhadap hukum tersebut.
Bentuk Kasih Sayang Allah
Hukum Allah merupakan bentuk rasa kecemburuan itu ketika hamba-Nya melakukan kejahatan dan kekejian. Tetapi hukum yang berlaku tersebut di samping membawa efek jera juga nantinya di akhirat sudah tidak lagi mendapatkan hukumannya lagi, malah berbalik menjadi kebaikan bagi pelakunya itu.
Allah Maha Adil, termasuk hukum yang ditetapkan-Nya juga bernuansa keadilan. Sayangnya hukum-hukum tersebut belum menjadi hukum positif di negara tercinta ini sehingga kita tidak bisa serta merta menjalankannya.
Seorang mukmin juga memiliki kecemburuan. Karena sesama mukmin adalah bersaudara. Maka ketika ada saudaranya yang terjerumus ke dalam kejahatan dan kekejian, seorang mukmin akan berusaha meluruskannya.
Bentuk kasih sayang sesama mukmin adalah saling menolong dan membantu dalam kebaikan. Itulah kecemburuan yang sebenarnya, yaitu kecemburuan karena Allah SWT.
Maka kecemburuan merupakan aspek ketaatan terhadap hukum Allah SWT. Segala tindakan yang melawan hukum Allah haruslah dicemburui, dalam arti kita tidak suka untuk melakukannya juga jika ada yang lain melakukannya. Sebagaimana Allah juga lebih cemburu dari pada lainnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.