Nidzhom: Lawan pemurtadan diteror bangkai musang adalah risiko yang diterima oleh mubaligh muda ini saat membendung Kristenisasi di Malang. Dia wafat meninggalkan kisah dakwah inspiratif.
PWMU.CO – Di kalangan para aktivis, pria kelahiran Malang, 4 Oktober 1964 itu selain dikenal sebagai jago demontstrasi, juga memiliki spirit yang luar biasa dalam berdakwah.
Drs H Muhammad Nidzhom Hidayatulloh, sesosok tubuh ringkih, akibat disfungsi organ ginjalnya yang begitu parah. Namun, karena spiritnya yang luar biasa, dia kerap pergi menempuh perjalanan cukup melelahkan ke daerah-daerah. Dia sering mengendarai mobil, tanpa teman pendamping, demi menemui umatnya yang haus akan tausiahnya.
Pada Kamis 29 Juli 2010, Wakil Bendahara PWM Jatim periode 2005-2010, itu meninggal dunia dalam usia 46 tahun.
Banyak cerita yang bisa diudar tentang kebersamaan aktivis angkatan muda Muhammadiyah (AMM) alumnus Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.
Seperti yang dikisahkan Ketua IMM Jawa Timur 2002-2004, Qosdus Sabil, saat berangkat ke acara Apel Akbar KOKAM di Yogyakarta akhir 1996. AMM Malang Raya memberangkatkan delegasi sebanyak tiga mobil, terdiri dari para aktivis Pemuda Muhammadiyah, IMM, dan IRM.
Namun, aral tak dapat ditolak. Saat tengah malam melintasi Kertosono-Nganjuk, salah satu mobil mengalami kerusakan mesin. Segenap upaya dikerahkan untuk menghidupkan mesin, namun hingga menjelang Subuh, tetap tidak berhasil.
Sebagian teman AMM mulai realistis untuk menerima kenyataan harus segera mengevakuasi secara bergantian, tetapi Nidzhom masih menunjukkan semangatnya untuk tetap berangkat ke Yogyakarta.
Akhirnya disepakati, sebagian pulang, dan rombongan IMM tetap berangkat. Persoalan muncul ketika tidak ada seorangpun dari aktivis IMM, yang bisa menyopir. Nidzhom pun mengajukan diri menjadi sopir, pulang pergi Malang-Yogya: sebuah contoh spirit yang tak pernah padam.
Ketika rombongan tiba di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, semua peserta apel sudah mulai membubarkan diri. Setelah sempat bersilaturahmi ke rumah Pak Djasman Al-Kindi di Kaliurang, mereka terus melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah suasana letih dan lelah, Nidzhom terus mengemudikan kendaraan hingga keesokan harinya tiba di Malang.
Korban Kebrutalan Politik
Menjelang reformasi 1998, Nidzhom kerap menjadi sopir rombongan mobil pengawal Amien Rais. Dalam rombongan itu adalah pasukan khusus pendekar-pendekar Tapak Suci Kota Malang yang secara swadaya menempa kebersamaan, menyatukan cita-cita menggulingkan diktator Soeharto.
Namun, setelah Orde Baru tumbang, dan Nidzhom aktif di PAN, dia memiliki kisah tak sedap karena sempat menjadi korban kebrutalan sekelompok kepentingan PAN untuk merebut dokumen pencalegan 1999 yang akan diserahkan kepada PPD (sekarang KPU) Kota Malang.
Banyak aktivis lain waktu itu merasakan keresahan luar biasa akibat kedzaliman itu. Tapi, lagi-lagi Nidzhom justru tersenyum, sembari mengingatkan bahwa ini hanya sedikit risiko dari sebuah perjuangan besar.
Ketegaran Nidzhom justru mengantarkan satu-satunya calon Anggota DPD dari Jatim yang resmi diusung Muhammadiyah lima tahun kemudian.
Gagal merebut kursi DPD, pada Musywil PWM Jatim di Madiun, Nidzom terpilih menjadi salah seorang anggota PWM Jatim periode 2005-2010. Namun, bukan berarti Nidzom adalah orang “kemarin” yang tiba-tiba aktif dalam Persyarikatan. Sebab, sebelum dipercaya sebagai salah seorang dari 13 anggota PWM Jatim, kiprahnya di Muhammadiyah juga lumayan moncer.
Sempat dipercaya sebagai Ketua Lembaga Hikmah Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Malang periode 2000-2005, kemudian juga Wakil Sekretaris Majelis Tarjih PWM Jatim 2000-2005, serta Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jatim 2002-2006.
Nidzhom telah mengajarkan kepada semua aktivis Muhammadiyah, bahwa pilihan menjalani hidup miskin adalah sebuah kemuliaan. Berani hidup miskin adalah salah satu karakter penting dalam hampir semua sejarah kenabian. Bagi dia, kemiskinan membuatnya semakin dekat dengan mustadh’afin, kelompok umat yang memang harus dibelanya.
”Nidzhom merupakan sosok yang lebih sering mengutamakan kawannya, ketimbang dirinya sendiri,” Ustadz Helmi, kakak kelasnya di Gontor memberikan kesaksian.
Sementara sikapnya yang kritis, menjadikannya kerapkali terlihat “nakal” dalam menyentil setiap persoalan. Bahkan kadang disalahmengerti oleh kawan-kawannya sendiri.
Tapi, itulah Nidzhom, dia akan tetap kekeuh dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianggapnya benar. Dia tidak akan ambil pusing, apalagi sampai stress dibuatnya. ”Dia akan terus menjadi sumber inspirasi bagi setiap aktivis muda,” ungkap A. Jainuri, teman akrabnya di Malang.
Motivasi Muhammadiyah Minoritas
Kenangan yang tidak kalah menariknya tentang sosok Nidzhom juga dikemukakan mantan Kepala Humas Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nasrullah MSi. Nasrullah menilai Nidzhom adalah tokoh muda Muhammadiyah yang sangat aktif dan berapi-api memberi spirit kepada para juniornya untuk terus berjuang di Muhammadiyah.
Kelebihannya terletak pada kemampuannya dalam memupuk semangat: mengajak keliling ikut pengajian, berdiskusi di semua situasi, terlibat dalam konsep ekonomi Islam, hingga dalam menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab.
“Selagi punya waktu, dia tak pernah menolak untuk diminta mengisi acara pengkaderan, meski lokasinya sulit dijangkau,” ungkap Nasrullah.
Dia lantas mencontohkan bagaimana keberhasilan Nidzhom dalam “memprovokasi” warga Muhammadiyah di Campurejo, Panceng, Gresik. Meski desa ini berdekatan dengan Paciran, kota kelahiran Nasrullah yang juga pusat Muhammadiyah di pesisir Lamongan, Muhammadiyah di Campurejo belum begitu percaya diri.
Waktu itu di sana kesadaran berdakwah secara berjamaah masih rendah. Ranting Muhammadiyah baru mau dirintis, maka dihadirkanlah Nidzhom untuk berceramah. Walhasil, pengajian yang hanya disiapkan kecil-kecilan itu ternyata dihadiri lebih dari 500 orang.
Antusiasme warga Muhammadiyah “baru” tak hanya berhenti sampai di situ, bahkan usai pengajian itu, semangat ber-Muhammadiyah terus menguat. Organisasi terbentuk, amal usaha TK dan MI Muhammadiyah berdiri dengan swadaya.
Gagas Panduan Shalat Suporter Bola
Pertemuan terakhir Nasrullah dengan Nidzhom terjadi sekitar April 2010 lalu, dalam acara Muspimwil Muhammadiyah Jatim.
Saat itu Nidzhom mengemukakan rencananya untuk menerbitkan buku yang membahasa seputar panduan shalat bagi suporter sepakbola.
Ide ini tentu saja unik dan agak gila, tetapi penting. Unik karena belum ada fatwa soal shalat bagi suporter. Gila karena sangat berani membuat panduan sementara belum ada ulama yang serius membahasnya.
Ide itu penting karena buku itu mendesak mengingat menonton pertandingan sepak bola sering melewati dua atau tiga waktu shalat yang tidak bisa dijamak.
“Jadi perlu ada panduan yang praktis agar suporter tetap bisa menonton bola, tetapi tetap harus shalat,” kata Nidzhom soal ide bukunya itu.
Untuk mensosialisasikannya, Nastullah lantas mengusulkan agar segera didiskusikan pada forum yang agak serius lewat Forum Rumah Baca Cerdas (RBC). Di perpustakaan milik Prof Abdul Malik Fadjar itupun diskusi berlangsung, dan pesertanya diskusi sangat antusias, karena secara kebetulan juga bertepatan dengan panas-panasnya laga Arema dalam Liga Super Indonesia.
Ketika diskusi sepak bola dikaitkan dengan usaha agar suporternya tetap bisa shalat di stadion tentu sangat menarik. “Saya juga menghubungi wartawan untuk memprofil Cak Nidzhom di medianya. Bukan karena pribadi Cak Nidzhom, tetapi idenya itu yang harus dibaca publik,” jelas Nasrullah.
Bagi Nasrullah, ide panduan shalat bagi suporter itu hanya bagian kecil dari ide-ide Nidzhom yang memiliki kepribadian unik. Meski aliran pemikirannya sering dicap liberal, pergaulannya dengan ulama-ulama “keras” juga tetap terjaga baik.
Hubungan dengan sesepuh Muhammadiyah, hingga dengan kalangan ulama NU sangat dekat. Sebagai ketua forum alumni Pondok Modern Gontor Malang, dia bisa menjaga kuat persaudaraan dengan sesama alumni untuk berbagai keperluan yang fungsional: membangun jaringan dakwah, pendidikan dan ekonomi.
Dia sering menjadi motor penggerak gerakan sosial dan ekonomi, termasuk ketika bersama Anharil Huda merintis Baitulmal di Kota Malang. Hebatnya, BMT ini berkali-kali menoreh prestasi sebagai BMT dengan omzet terbesar, dan nasabah terbanyak di tanah air.
Prof Amien Aziz bahkan tidak segan memuji setinggi langit, atas semangat pengelola BMT yang memiliki Kantor Megah di Jalan Soekarno-Hatta, Malang. Sayangnya, pada tahun 2012 BMT ini tutup karena dinyatakan pailit.
Tak Gubris Ginjalnya Tak Berfungsi
Penyakit yang mengantarkan Nidzhom ke hadapan Allah SWT sebenarnya sudah lama sekali dideritanya. Dia sering kelelahan tetapi tidak digubrisnya. Apalagi sewaktu dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2004, yang mengharuskannya berkeliling Jatim untuk mendekati konstituen.
Puncak kelelahannya, pada tahun 2007, ginjalnya dinyatakan tak berfungsi dan harus diganti dengan alat yang mesti diganti cairannya tiap 8 jam. Jadi praktis, ke mana-mana dia harus membawa kantung di perut yang terhubung ke saluran ginjalnya.
Sulit untuk membayangkan bagaimana orang seenergik itu harus membawa ke mana-mana kantung itu dan menggantinya tiga kali sehari. Keterbatasan ini ternyata tidak bisa menghentikan atau setidaknya mengurangi aktivitasnya di bidang dakwah dan sosial.
Walau menderita ginjal, Nidzhom tidak mau menganggapnya sebagai beban. Ia pun bertawakal. Baginya, ini adalah sebuah ikhtiar. Ke mana saja dia diundang, dia akan berangkat dengan naik angkutan umum ataupun menyetir seorang diri, dan tentunya membawa peralatan “ginjal buatan”.
“Makanya, saya ke mana-mana selalu meminta doa pada teman-teman agar segera sehat. Dan ternyata banyak umat yang berharap saya bisa aktif menyelesaikan problem-problem dakwah. Itulah yang kemudian menambah semangat saya,” ungkapnya suatu saat pada awal 2008.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti pernah berkelakar, jika saja ginjal Nidzhom masih utuh, tentu dia akan lebih keras ketika ngaji. “Untunglah Allah membatasi gerak-gerik dia supaya tidak terlalu garang,” kata Mu’thi usai memberi pengajian PDM Kabupaten Malang di Kepanjen.
Waktu itu Nidzhom memang memberi prolog yang agak keras terkait hubungan politik dan Muhammadiyah, terutama hubungan dengan pemerintah. Perihal ginjal buatan itu, tak sekali itu saja menjadi bahan guyonan ulama yang kaya akan joke-joke segarnya itu.
Bendung Pemurtadan
Nidzhom juga aktif dalam membendung kristenisasi di Kota Malang bersama Tim FAKTA Malang. Dia banyak meneliti kasus-kasus pemurtadan dan melawan aksi-aksi kristenisasi di kalangan mahasiswa dan masyarakat.
Dia pun keluar-masuk kampus maupun ke desa-desa untuk memberikan advokasi bagaimana seharusnya mengadukan kasus-kasus kristenisasi.
Sebagai tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nidzhom juga mengenal hampir semua pendeta di Malang dan tetap menjaga hubungan baik dengan mereka. Tapi, dalam kasus-kasus pelecehan Islam, dia bersikap tegas.
Nidzhom juga melakukan penyadaran ke masyarakat tentang hak-haknya dan mencari gereja-gereja yang bermasalah. Demikian pula dengan penyalahgunaan wewenang dari suatu instansi tertentu berkenaan dengan rumah ibadah.
Geliat kristenisasi di Malang memang cukup parah. Mereka sering menyebarkan buletin itu di masjid-masjid. Kopnya bertuliskan ukhuwwah Islamiyah dan istilah-istilah Islam lainnya, tapi isinya tentang Kristen.
Adapun di kampus-kampus, Nidzhom banyak menemukan kasus-kasus dihamilinya wanita-wanita Muslim oleh pemuda Nasrani.
Konsekuensi melawan kristenisasi pastilah ada. Ketika kasus penodaan terhadap agama Islam itu mencuat, Nidzhom dikirimi bangkai musang di rumahnya. Mobilnya juga pernah dicoret-coret dengan kata-kata ancaman dan pelecehan, namun dia tidak pernah peduli. Teror-teror yang ada ini malah membuatnya kian bersemangat dalam dakwah. Tetap semanga berjuang meski Nidzhom: lawan pemurtadan diteror bangkai dan teror lainnya.
Tokoh Muda Diterima Semua Kalangan
Di MUI Kota Malang, Nidzhom merupakan sosok paling muda, tapi dia mendapatkan tempat di hati masyarakat. Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Dia kerap mengambil kaidah-kaidah ushuliyah dalam percakapan dengan para kiai di Malang. Itulah yang membuatnya mudah diterima oleh mereka.
Kalangan MUI Malang juga menerima Nidzhom karena dia keturunan seorang kiai besar. Kakeknya, KH Yasin diamanahi oleh Belanda untuk menghidupkan masjid. Kemudian banyak santri-santrinya yang jadi ulama besar di Malang. KH Yasin juga mempunyai anak-anak yang jadi kiai, baik di NU maupun Muhammadiyah.
Karena pergaulannya yang luas dengan semua kalangan, termasuk dengan kalangan liberal, Nidzhom pernah diisukan sebagai sosok “liberal” karena banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh yang dianggap liberal.
Namun, dengan santai Nidzhom justru seperti mengajarkan bagaimana menjaga hubungan baik dengan berbagai kalangan secara proporsioal.
“Saya berharap, kita ini tidak terkotak-kotak dalam definisi liberal dan tidak liberal. Selama mereka masih Islam, masih shalat, masih berpijak pada al-Quran dan al-Hadits, kalau ada beda pendapat, itu hal biasa,” katanya.
Suami dari Isqu Makbullah itu telah menghadap Yang Maha Kuasa untuk selamanya, dengan meninggalkan seorang istri dan tiga anak: Fazlurrahman Nizam yang kini sedang menyelesaikan skripsi di Fakultas Tarboyah UMM. Nabil Nizam juga proses penyelesaian skripsi di Fakultas Hukum dan Syariah UMM.
Dan Sadida Nizam telah lulus dari PP Al Mukmin Ngruki Solo dan akan melakukan pengabdian di PP Al Mizan Muhammadiyah Lamongan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Nidzhom: Lawan Pemurtadan Diteror Bangkai Musang ini adaptasi dari judul asli Muhammad Nidzhom Hidayatulloh (1964-2010) Spirit yang Tak Pernah Padam.
Dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa TimurJilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011.