Akrabi PSBB, Ubahlah Mindsetmu tulisan motivasi oleh Misbahul Huda mengupas perubahan mindset orangtua dalam pendidikan anak.
PWMU.CO– Sudah lumayan lama kita dipaksa virus Corona untuk tinggal di rumah dan belajar dari rumah (Learn from Home). Banyak orangtua mulai gerah dan jengah, anak-anak pun mulai resah dan bosan ingin segera kembali ke sekolah.
Hal ini bisa terjadi, karena lebih banyak keluarga yang tidak siap menghadapi pemindahan proses belajar mengajar (PBM) dari sekolah ke rumah. Dulu, PBM dilakukan oleh guru di sekolah, orangtua sebagai pengamat dan pengawas. Kini sebaliknya, selama LFH proses belajar mengajar dilakukan oleh orang tua di rumah dan guru memandu dan mengamati jarak jauh dengan media daring.
Dalam upaya mengurangi resah dan gelisah akibat LFH, mindset kita harusnya diubah. Maksudnya kalau kita belum bisa menjinakkan virus Corona kenapa kita tidak berusaha mengakrabinya? Inilah saatnya akrabi PSBB, ubahlah mindsetmu dalam mendidik anak.
Yaitu bersahabat dengan keadaan masa diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Tak usah mengeluh. Dan berusaha sabar menikmatinya. Sebab, kalau proses PBM di rumah ini bisa dinikmati, diharapkan bisa melahirkan empati para orangtua ternyata tidak mudah mendidik anak, meskipun itu anak sendiri. Sekaligus berempati bagaimana repotnya para guru di sekolah mendidik anak Anda selama ini.
Empati ini diharapkan bisa melahirkan sikap pro aktif orang tua untuk membangun sinergi lebih harmonis pasca krisis pandemi Corona. Sinergi baru tiga jalur antara guru, orangtua, dan siswa. Sebab diyakini akan muncul trend the new normal behavior masyarakat pasca krisis Covid-19.
Termasuk di dalamnya merambah dunia kerja, bisnis, juga pendidikan. Ke depan, diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan nasional yang lebih banyak melibatkan keluarga, bukan didominasi sekolah saja.
Orangtua Pro Aktif
Sudah seharusnya, orangtua perlu pro-aktif melakukan koordinasi dengan guru di sekolah, terkait dengan perkembangan soft-skill, karakter leadership, anaknya. Jangan hanya diam atau menyoal hardskill, prestasi akademiknya saja.
Pengalaman dengan sekolah anak, saya pernah diapresiasi oleh ustadz di SMP Al Hikmah karena selalu mengambil rapot anak sendiri. Bukan diserahkan hanya kepada emaknya seperti umumnya orangtua. Saat rapotan itu saya bisa menanyakan lebih detail tentang kompetensi leadership anak bungsu saya.
Ternyata dilaporkan, si bungsu tidak demen jadi pemimpin di sekolahnya. Konsultasi saat rapotan itu akhirnya sepakat membuat special treatment anak saya untuk memperbaiki sifat rendah dirinya. Kami di rumah berkewajiban menghentikan kebiasaan kakak-kakaknya mem-bully si bungsu sampai menangis. Bayangkan, betapa menderitanya dia karena kakaknya ada lima.
Sementara guru di sekolah berkewajiban memberi penugasan terstruktur dan bertahap agar pulih kepercayaan dirinya. Subhanallah. Semester berikutnya si bungsu sudah menjadi juara mentor sebaya. Karena dalam nilai rapot di antara teman binaan dia tertinggi di kelas paralelnya.
Semester ketiga mulai demen jadi ketua kelas. Ketika masuk SMA Al Hikmah sempat menjadi Ketua OSIS, juga mengurusi bidang akademik dan pembinaan prestasi teman-temannya. Kini dia kuliah di Teknik Biomedik Fakultas Sains dan Teknologi Unair sudah makin pede. Malah kepedean alias terlalu pede. Jarang pulang gegara jadi pegiat di himpunan mahasiswa jurusan dan pecinta alam.
Bayangkan, kalau saya sebagai orangtuanya tidak proaktif, maka akan kehilangan kesempatan anak belajar kepemimpinan saat di sekolahnya. Padahal kesempatan mahal itu tidak bisa diputar balik lagi. Wallahu a’lam. (*)
Editor Sugeng Purwanto