Nuzulul Quran Tonggak Literasi Islam ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah yang tinggal di Kota Lamongan, Jawa Timur.
PWMU.CO – Setiap nemasuki tanggal 17 Ramadhan umat Islam senantiasa diingatkan pada dua peristiwa agung yaitu Nuzulul Quran dan Perang Badar.
Nuzulul Quran sebagai peristiwa turunnya al-Quran. Sedangkan Perang Badar adalah peristiwa perang fisik pertama umat Islam dengan kaum kafir Quraisy. Terjadi 15 tahun setelah kenabian atau turunnya wahyu pertama surah al-Alaq ayat 1-5.
Surah al-Alaq sebagaimana telah diketahui berisi perintah membaca, iqra, bacalah dan seterusnya dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Perintah membaca ini dalam konteks kekinian selaras dengan membangkitkan gerakan literasi. Bagaimana selanjutnya seorang nabi yang sebelumnya mengaku ummi mampu menggerakkan dan mengubah masyarakatnya dari jahiliyah menjadi berkemajuan.
Demikian pentingnya perintah membaca ini hingga perintah shalat, puasa, zakat, jihad dan sebagainya baru muncul belakangan. Di sini menunjukkan Islam bukan agama dogma. Melainkan agama yang menuntut pemahaman akan segala hal sebelum menjalankan segala hal sebagai perintah ibadah wajib ataupun sunnah.
Literasi secara epistomologis berarti belajar. Justru definisi dari para ahli dan organisasi termasuk Unesco mendefinisikan literasi terlalu sempit. Yaitu sekadar kemampuan membaca, menulis, menganalisis informasi, dan sejenisnya.
Literasi dalam definisi Alberta yang lebih komprehensif meliputi kemampuan membaca dan menulis untuk menambah ketrampilan berpikir dalam memecahkan masalah, serta kemampuan komunikasi efektif guna mengembangkan potensi dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Hakekat literasi al-Quran berdasarkan fakta sejarah lebih mendekati uraian literasi menurut Alberta. Terbukti para ahli al-Quran sejak masa Nabi, sahabat, thabi’, dan thabi’in menjadikan al-Quran sebagai pedoman literasi membangun peradaban berkemajuan di Madinah, Damaskus, Baghdad hingga Andalusia sebagai pusat peradaban dunia abad pertengahan.
Dalam konteks literasi al-Quran di Nusantara, KH Ahmad Dahlan menggunakan Surah al-Maun sebagai visi-misi gerakan dakwahnya mewujudkan masyarakat berkemajuan dengan wasilah sosial dan pendidikan di tengah keterpurukan masyarakat yang terbelit penjajahan.
Peradaban Digerakkan oleh Literasi
Peradaban-peradaban dan ideologi besar tidak pernah luput dari produk literasi. Dengan kata lain mustahil membangun ideologi, pergerakan, hingga peradaban tanpa gerakan literasi sebagai dasar.
Seiring kemunduran kejayaan peradaban Islam yang ditandai hadirnya renaisance Eropa sebagai buah literasi dari peradaban Islam di Andalusia, lambat laun peradaban Eropa sekuler mendominasi peradaban hingga kini.
Dominasi peradaban Eropa pun tidak lepas dari gerakan literasi dan lahirnya ideologi-ideologi baru hasil karya tulisan tokoh-tokohnya. Tulisan Karl Marx misalnya Das Kapital melahirkan ideologi dan peradaban sosialisme-komunisme yang diadopsi sejumlah negara.
Ideologi sosolialisme-komunisme beradu dengan ideologi kapitalisme-liberalisme yang mengadopsi kitab Wealth of Nations karya Adam Smith. Tidak terkecuali peradaban-peradaban radikal Nazi Jerman pun digerakkan dengan tulisan Hitler berjudul Main Kampf.
Tulisan berjudul De Judestat telah menggerakkan sebagian kaum Yahudi membuat gerakan zionisme yang saat ini menimbulkan ketegangan dunia, khususnya di kawasan Arab Palestina.
Demikian pentingnya gerakan literasi yang telah dicontohkan Nabi SAW sejak turunnya wahyu pertama berupa perintah membaca hingga wahyu terakhir berupa pengakuan agama Islam sebagai agama yang diridhai.
Selayaknya momentum 17 Ramadhan digunakan untuk senantiasa membangkitkan semangat literasi yang bukan sekadar membaca, khataman, atau seremonial lainnya.
Lebih dari itu Nuzulul Quran perlu menjadi gerakan literasi dalam pengertian yang lebih luas sebagaimana dicontohkan Nabi SAW dan dirumuskan ulang oleh Alberta, kemampuan membaca dan menulis hingga mampu mengembangkan kehidupan masyarakat.
Islam berkemajuan hanya bisa diwujudkan dengan gerakan literasi yang massif. Wallahu’alam bi ashshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.