Abdullah Wasi’an, kiai kristolog yang disegani lawan debatnya. Tak sedikit romo dan pendeta yang kelimpungan saat berdebat dengannya.
PWMU.CO – Perawakannya pendek. Tapi spirit dakwahnya sangat tinggi. Penguasaannya tentang Kristologi—cabang ilmu yang mempelajari seluk-beluk kitab Injil dan segala yang berkait dengannya—sangat luas dan mendalam.
Bahkan namanya sudah lekat dengan Kristologi. Kepiawaiannya dalam mengupas ajaran Nasrani lebih hebat ketimbang pendeta Kristen atau Romo Katholik.
Siapa lagi kalau bukan KH Abdullah Wasi’an. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Kristolog karena penguasaannya yang amat bagus di bidang itu. Tak sedikit pendeta dan romo yang kelimpungan saat berdebat dengan Wasi’an.
Sebut saja, di antaranya, pendeta internasional dari Selandia Baru, Alex, yang sengaja diutus untuk mengkristenkan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Perdebatan dilakukan di rumah H. Turmudji (Mojokerto), pada 31 Desember 1968.
Alex tak hanya keok, tapi juga terkagum-kagum atas penguasaan lawannya itu terhadap isi al-Kitab yang dia sendiri tak hafal seluruhnya. Lebih dari itu, Wasi’an mengajaknya agar masuk Islam setelah ditunjukkan sejumlah seruan dalam al-Kitab.
Pengalamannya yang amat mengesankan itu selanjutnya digunakan sebagai salah satu “bahan baku” debat-debat selanjutnya. Seperti dengan Richard Charles Lewis (California, Amerika Serikat), Steven Wehmeyer (Texas, Amerika Serikat), dan Aart Verburger (Belanda). Juga pernah berdebat dengan enam pendeta dari gereja Advent (Bandung), pada 13 Februari 1993.
Tak bisa dilupakan pula pengalaman Wasi’an berdebat dengan Hamran Ambrie, seorang mantan Muslim dari Kalimantan Selatan yang sengaja melakukan proses pemurtadan atas pengaruh pendeta Jansen Litik, Jakarta.
Ditempa Berbagai Organisasi
Kepiawaiannya dalam berdakwah dan berdebat merupakan hasil akumulasi proses belajar dan berinteraksi yang panjang. Pada 1936, ia diserahi amanat memimpin Ketua Bagian Pendidikan Pemuda Muhammadiyah Surabaya. Tugas utamanya, mengurus Taman Pustaka, perpustakaan yang terbilang cukup lengkap saat itu.
“Saya bersyukur mendapat kesempatan membaca buku tiap hari. Nyaris semua buku saya baca, terutama yang baru-baru,” katanya suau saat mengenang.
Di organisasi ini pula ia ditempa ketrampilan berorganisasi dan retorika. Antusiasmenya sangat tinggi setiap mengikuti latihan debat dan ceramah. Ternyata, ia memiliki kamampuan di atas rata-rata.
Kontan saja, ia resmi dinobatkan menjadi muballigh Pemuda Muhammadiyah dengan tugas khusus ceramah keliling sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sekolah negeri.
Bahkan, setelah berkali-kali mengisi ceramah khitan dan khutbah nikah, ia resmi “diangkat” menjadi “dai mutlak”. Kata Wasi’an, “Karena waktu habis untuk ceramah. Jadi, waktu muda pekerjaan saya ya ceramah itu.”
Guna memperluas pergaulannya, ia juga aktif di Pemuda Muslim Indonesia (PMI), sayap kepemudaan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Salah satu partai politik yang pernah ada di Indonesia yang berideologi Islam. Di sini ia sempat belajar bahasa Arab pada Ustdz Abdul Kadir Bahalwan.
Untuk memupuk jiwa seninya, ia juga menyempatkan diri bergabung dengan kelompok seni Jamaah Marhabanan, yang diberi nama Dakwatus Syubban. Grup seni hadrah yang anggotanya berasal dari pemuda-pemuda NU, Muhammadiyah, PSII, dan lain-lain itu sempat populer pada dekade 1930-an dengan sering mengisi acara-acara hari besar Islam.
Kisah Perdalam Kristologi
Pada 1950-an, Wasi’an ditarik menjadi anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya. Melalui jaringan ini pula ia terus memerdalam Kristologi dan memberikan ceramah di seluruh Jatim dan luar Jawa dengan ciri khas, mengungkap kebohongan al-Kitab alias Bibel. Bahkan, untuk memperdalam ilmunya itu ia mendalami bahasa Jerman di Goethe Institut (1964-1968).
“Semula banyak kawan sesama muballigh yang mencemoohkan saya. Mengapa saya begitu getol mendalami pengetahuan yang jelas-jelas mengandung banyak kebohongan. Mereka tidak mengerti bahwa yang saya pelajari justru mencari kebohongan dan kepalsuan itu sebanyak mungkin,” ungkapnya.
“Anehnya, setelah saya ungkapkan semua kepalsuan itu dalam berbagai ceramah, akhirnya justru ramai-ramai mengundang saya,” katanya sambil tertawa.
Ciri lain dari gaya bicara Wasi’an adalah bahasanya yang selalu menyelipkan khas Suroboyoan. Tak salah, ia memang asli arek Surabaya, yang lahir di Nyamplungan, pada 9 Juni 1917, dari pasangan Hayat dan Shalihah. Ia putra kelima dari sembilan bersaudara.
Darah dainya mengalir dari ayahnya, yang seorang pengembara ilmu asli Klaten, Jawa Tengah, dan pernah nyantri di kawasan Maospati. Sementara sang ibu adalah santriwati dari Nyai Hajah Shaleka, seorang mubalighah yang terkenal saat itu.
Melalui ayahnya pula, Wasi’an banyak belajar tokoh-tokoh pewayangan dan seni ketoprak. “Sering saya diajak ayah nonton kedua tontonan itu. Saya banyak belajar tentang kepribadian dan akhlak dari masing-masing tokoh pewayangan itu,” kenangnya saat-saat remaja.
Menurut Wasi’an, ayahandanya termasuk orang yang telaten dan sabar dalam mendidik putra-putrinya. Sehabis pulang kerja, sang ayah kerap berceritera di tengah-tengah keluarga tentang problematika akhlak. “Ia menunjukkan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh,” kenangnya.
Pada usia 6 tahun, Wasi’an disekolahkan oleh orang tuanya di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Yakni sekolah Belanda untuk bumi putera dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, dibedakan dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Sekolah tersebut dikenal favorit di zaman Hindia Belanda.
Keberhasilannya masuk di sekolah itu karena keberanian ayahnya menuliskan syarat administrasi, penghasilan minimal Rp 60 per bulan. Padahal, kurang dari itu. Nyatanya, Wasi’an berhasil menamatkan dengan baik.
Namun sayang, karena keterbatasan pula, ia gagal masuk sekolah lanjutan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setara dengan sekolah menengah pertama.
Santri KH Mas Mansur
Tapi kegagalan membawa keberuntungan. Wasi’an akhirnya dimasukkan ke pesantren di kawasan Ampel, yang diasuh KH Mas Mansur, tokoh reformis Islam yang kemudian menjadi tokoh puncak Muhammadiyah.
Lima tahun (1932-1937) ia menjadi santri Mas Mansur. Ia bangga dan merasa beruntung sekali pernah berinteraksi langsung dengan gurunya itu. “Beliau seorang tokoh yang pandai, bijaksana, tenang, tapi tegas. Ia bisa diterima semua kalangan, termasuk NU,” katanya melukiskan kepribadian mantan gurunya itu.
Di tengah keterpurukan ekonomi nasional akibat penjajahan Jepang dan rencana kembalinya tentara sekutu Balanda dan Inggris ke Indonesia, Wasi’an melangsungkan pernikahan pada 5 Mei 1945 dengan gadis pujaannya, Zulifa, yang tinggal di kawasan Ampel juga.
Prosesi pernikahannya pun berlangsung amat sederhana, namun penuh khidmat. “Kenangan yang tak terlupakan. Saya bersyukur bisa menikah di tengah-tengah ancaman Jepang dan tentara Sekutu,” tuturnya.
Sebagai seorang mubaligh yang sering ceramah jauh dari tempat tinggalnya, Wasi’an sangat menanamkan kepercayaan diri pada anak dan isterinya. Ia bangga dengan perjuangan istrinya dalam mendidik dan ikut membesarkan putra-putrinya, meskipun kerap ditinggal keliling dakwah. Karenanya, ia yakin bahwa rumah tangga yang dibangun di atas mawaddah dan rahmah saja yang bakal harmonis dan langgeng.
Pasangan ini dikarunia 9 anak, yang semua namanya diawali huruf E. Yaitu Effi Yulistuti, Edib Wahyudi, Emil Fuhairi, Erif Hilmi, Eni Widyastuti, Ezif Muhammad Fahmi, Erwin Muhammad Fauzi, Ellin Pangastuti, dan Eddin Fithri.
Aktivis Masyumi
Zaman yang penuh dengan gegap-gempita teriakan politik, telah membentuk banyak tokoh dan aktivis yang memiliki nyali kuat dalam perjuangan umat. Tak terkecuali Abdullah Wasi’an, yang sejak awal memang telah bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam.
Ketika Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dibentuk pada masa penjajahan Jepang 1943, Wasi’an sudah aktif terlibat sebagai anggota.
Demikian pula saat Masyumi baru dibentuk pada November 1945, sebagai buah dari Konggres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Masyumi pasca-kemerdekaan ini benar-benar hasil mufakat umat Islam tanpa intervensi dari pihak mana pun.
Kendati tak ada kaitan struktural dengan Masyumi lama, partai baru ini benar-benar lebih mampu membuka jaringan hingga ke desa-desa dalam waktu singkat. Wasi’an pun aktif di partai ini sebagai Sekretaris Cabang Surabaya.
Tugasnya di partai yang mempersatukan semua ormas Islam ini (sebelum PSII mengundurkan diri pada 1947 disusul NU pada 1952), cukup berat. Karena kepiawiannya berpidato memaksa kawan-kawannya menunjuk Wasi’an sebagai salah satu jurkam andalan menghadapi Pemilu pertama pada 1955.
Pemilu ini dikenal sebagai ajang pertarungan ideologis yang sangat keras antara Masyumi yang berbasis Islam, PKI yang berideologi komunis, dan PNI yang mengusung jiwa nasionalisme.
Menurut Wasi’an, perjuangan politik saat itu sangat keras dan melelahkan. Karena, terutama dari kubu PKI, selalu melancarkan kebohongan dan fitnah yang agitatif terhadap masyarakat bawah.
Ia mencontohkan provokasi yang dibuat jurkam PKI. “Mereka selalu menyebut Bulan Bintang (simbol Masyumi) ada di langit yang sulit dijangkau rakyat. Sementara PKI dengan palu arit lekat dengan kehidupan rakyat,” katanya mengenang. PKI fasih menggunakan bahasa dan logika rakyat awam.
Ketika Masyumi membubarkan diri atas desakan Presiden Soekarno pada 1960, Wasi’an termasuk di antara tokoh di Jawa Timur yang ikut prihatin. Bersama tokoh-tokoh lain seperti A.W. Suyoso, KH Misbach, dan KH Anwar Zein, ia menunggu perkembangan langkah-langkah selanjutnya oleh pemimpin teras Masyumi di Jakarta.
Tugasnya sebagai trainer kaderisasi di Masyumi Jatim sementara terhenti. Tapi, the soldier never dies. Prajurit sejati tak pernah mati. Begitu kira-kira semboyan yang tepat untuk menggambarkan Wasi’an dan kawan-kawan.
Perintis DDII Jatim
Ketika M. Natsir cs membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta pada 26 Februari 1967, Wasi’an langsung bergabung bersama KH Misbach. Dibentuklah perwakilan DDII Jawa Timur yang diketuai KH Misbach dan KH Abdullah Wasi’an sebagai salah satu wakilnya.
DDII dibentuk sebagai upaya penyelamatan nasib umat Islam yang tak kunjung membaik dari setiap sektor kehidupan. Trauma PKI dan represi yang dilakukan rezim Orde Lama dan kekhawatiran Orde Baru atas politik Islam telah membuat umat makin sekarat.
Politik boleh bubar, tapi dakwah jalan terus. Keduanya memang tak bisa dipisahkan. Hanya bisa dibedakan. “Jika dulu berdakwah melalui politik, maka sekarang berpolitik melalui dakwah.”
Untaian kalimat pendek penuh makna itu pernah dilontarkan M. Natsir ketika menggambarkan estafet perjuangannya dari Masyumi ke Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Bagi Wasi’an, perjuangannya di DDII tidak membuat aktivitasnya menurun. Bahkan, melalui jaringan ini ia akhirnya lebih terfokus pada upaya memerangi gerakan kristenisasi yang telah lama menggerogoti akidah umat, terutama di kawasan pedesaan dan Jawa Timur bagian Selatan.
Ia harus menghadapi para misionaris dan pendeta yang dengan segala cara membujuk kaum Muslimin yang lemah iman dan lemah ekonomi.
Menurut Wasi’an, modus operandi mereka sesuai dengan kebutuhan umat. Istilah sekarang, pendekatan kultural. Para misionaris mula-mula datang dengan membawa sembako dan bergaul akrab dengan warga. Setelah itu, baru memperkenalkan diri sebagai pelayan Kristus.
Ada lagi, dengan musik dan olah raga. Contohnya, 16 pemuda Muslim di Karanggoso, Prigi, Kabupaten Trenggalek, murtad setelah sering diajak bermain musik dan olahraga dengan pendeta FX Purwanto dan Logino.
Asuh Studi Perbandingan Agama
Di luar aktivitasnya di organisasi dan ceramah Kristologi yang sudah menjadi semacam “trade mark”-nya, ia pernah menjadi pegawai di Kantor Penerangan Agama (PA)—kini menjadi bagian dari Kementerian Agama, dari tahun 1951 hingga 1974. Tugasnya, memberikan penyuluhan agama (Islam) di seluruh wilayah Jatim.
Setelah pensiun, Wasi’an diajak KH Misbach (Ketua MUI Jatim) dan H. Syamsuri Mertoyoso (Ketua Yayasan Al-Falah) ikut membantu penuh memberikan pengajian di Masjid Al Falah Surabaya, dengan spesialisasi perbandingan agama.
Kajian ini ternyata menyedot banyak peminat. Bahkan, banyak yang datang secara khusus dari luar Jawa ke Masjid Al Falah untuk ikut bersama mempelajari studi Perbandingan Agama. Memang, kajian Kristologi termasuk ilmu baru saat itu.
Banyak kader dari generasi muda yang berhasil ditempa Wasi’an. Di antaranya, Fadhil Taslim dan Sugeng Purwanto yang kemudian berhasil meneruskan jejak perjuangan sang guru. Sempat datang pula rombongan dari Malaysia yang sangat terkesan dengan kajian Perbandingan Agama alias Kristologi yang diasuh Wasi’an.
Sukses mengasuh program andalan ini, ia mendapat tugas tambahan yang tak kalah penting, yakni ikut membimbing non-Muslim yang hendak ikrar masuk Islam di Masjid Al-Falah.
Dalam hal ini, Wasi’an yang tahu seluk-beluk Agama Kristen dan akal bulus kristenisasi, tak mudah meng-Islamkan mereka. Malah, calon Muslim ini harus bersedia disumpah dulu sebelum melafalkan ikrar syahadat.
“Kita tahu banyak yang mau masuk Islam hanya kerena ingin menikah dengan gadis Muslimah. Kalau sudah punya anak, lalu murtad lagi,” katanya mengingatkan.
Ada kejadian menarik. Suatu saat hendak mengislamkan anak muda Kristen. Sebelum dibimbing berikrar syahadatain, anak ini ditanya, “Apakah saudara rela meninggalkan Yesus?”
Anak muda itu tak bisa menjawab. Dengan mimik muka yang berat, dengan terbata-bata anak muda ini menyatakan rela. Namun, tanpa mau risiko, Wasi’an tiba-tiba memutuskan membatalkan ikrar itu.
“Saya minta anak tadi mau belajar Islam lebih jauh dulu,” katanya tanpa menjelaskan apakah kemudian anak itu kembali lagi.
Aktivitas di Muhammadiyah
Di tengah kesibukan mengurus kegiatan dakwah di DDII, Masjid Al-Falah dan lainnya, KH Abdullah Wasi’an tetap terus terlibat aktif di Muhammadiyah, utamanya di tingkat wilayah.
Pada periode 1985-1990, ketika Pimpinan Wlayah Muhammadiyah (PWM) Jatim diketuai oleh KH Anwar Zain yang terpilih dalam Musyawarah Wilayah (Musywil) di Universitas Muhammadiyah Jember, beliau terpilih menjadi salah satu anggota PWM. Ketika KH Anwar Zain wafat diganti KH Abdurrahim Nur, beliau tetap di posisi yang sama.
Pada 1990 berlangsung Musywil di Asrama Haji Sukolilo Surabaya untuk memilih ketua dan anggota periode 1990-1995. KH Abdurrahim Nur terpilih sebagai ketua, dan KH Abdullah Wasi’an terpilih kembali sebagai anggota.
“Beliau orang istiqamah, dan tokoh utama kristologi di Indonesia,” kata Nur Cholis Huda, yang pada periode 1990-1995 sebagai Wakil Sekretaris PWM Jatim, memberikan kesaksian.
Lebih dari itu, beliau pegang teguh akidah dan tak lelah berdakwah. “Meskipin sudah lansia, selalu siap disuruh berangkat ke mana saja. Memikirkan regenerasi khususnya Kristologi,” ujar Wakil Ketua PWM Jatim periode 2005-2020 ini yang dulu kerap mengantarkan beliau ke rumah seusai rapat PWM.
Ketika badannya terus dimakan usia dan pandangannya mulai berkurang, toh beliau tetap bersemangat mengawal umat menemukan jalan yang penuh rahmat dan hidayat. Ia tak takut dituduh mencela agama tertentu, karena yang disampaikan adalah kebenaran ilmiah.
Ia tetap meneruskan perjuangannya melawan Kristenisasi dengan menjawab surat-surat pertanyaan yang dikirimkan kepadanya dari seluruh penjuru tanah air, termasuk kader-kadernya. Cita-citanya, yang belum terkabul, membangun sekolah khusus Kristologi yang bisa mencetak kader-kader lebih banyak lagi.
Hidup Sederhana
Sebagaimana umumnya tokoh Muhammadiyah, dia juga dikenal dengan kesederhanaannya. Meski ketokohan beliau sangat luar biasa, tetap saja jauh dari gelimang harta.
Dijelaskan oleh Ezif M. Fahmi, sejak tahun 1959 hingga 1990, beliau tinggal di rumah sederhana, di Kalibokor I/32 B, Kecamatan Gubeng, Surabaya.
“Mulai 1990, beliau bersama isteri dan salah satu putrinya, pindah ke perumahan Rewwin, di Jalan Garuda II/1 Rewwin, Waru, Sidoarjo hingga wafat,” kata Ezif, salah satu putranya yang juga Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Surabaya.
Di sela kesehariannya, beliau masih kuat berlama-lama menulis dengan mesin ketik manual tua, di teras rumahnya. Sesekali mengoreksi hasil ketikannya menggunakan kaca pembesar. Bagai seorang kreator jam tangan yang memahat tatakan emas di bumi Swis, sorga jam tangan klasik dunia.
Sesuai sunatullah, setiap jiwa pasti mengalami kematian. Pada usia 94 tahun, KH Abdullah Wasi’an dipanggil untuk menghadap Yang Maha Kuasa. “Tepatnya pada 16 Februari 2011,” ujar Ezif.
Sejumlah tokoh dan ribuan umat Islam datang melayat ke rumahnya, dan mengantarkannya ke tempat pemakaman di Kawasan perumahan Rewwin, Waru, Sidoarjo. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini berjudul asli KH Abdullah Wasi’an (1917) Kristolog yang Amat Berani. Dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur, Editor Nadjib Hamid et all.