Muhammadiyah Garis Tertawa tulisan opini Nurbani Yusuf, pengasuh pengajian Padhang Makhsyar Kota Batu mengulas karakter dan gaya para dai yang sangat serius.
PWMU.CO– Tak terbayang jika Pak Haedar Nashir atau Mas Abdul Mu’ti main gitar bareng menyanyikan lagu Begadang atau Kuch Kuch Hotae diiringi Mas Hajriyanto, Pak Dadang Kahmad, atau lainnya.
Tapi sayangnya musik sudah terburu dianggap melalaikan dan membawa munkar. Jadilah sepi menjemput, hidup terasa kurang komplet, karena kehilangan irama dan syahdu suara Dawud. Hidup terasa kurang sempurna.
Konon ada yang bilang ulama kita serius-serius, susah membuat dan dibuat tersenyum. Sebab senyum pun sudah dicap sebagai penyebab hati mengeras dan menjauh dari bau wangi surga. Tak urung, tertawa pun susah didapat. Selera humor menipis dan susah tertawa.
Di kalangan anak muda ada yang membuat kelompok Muhammadiyah Garis Lucu. Mencoba keluar dari kehidupan dakwah yang terlalu serius. Cari yang ringan-ringan dan menghibur. Bahkan mereka membuat situs web. Mereka juga promosi bikin kaos. Dihadiri Pak Menteri lagi.
Namun kelucuan anak-anak muda ini belum mendominasi. Baru perkenalan. Belum membudaya. Masih kalah dominan dengan budaya para seniornya. Yang tak suka tertawa itu. Jarang kita jumpai ulama-ulama Muhammadiyah yang bisa bikin tertawa jamaahnya.
Materi dakwahnya selalu berkisar bicara ayat al-Quran dan hadits sahih. Tak ada hikayat atau cerita berhikmah. Karena hikayat tak punya sanad sahih. Dalam rumus Persyarikatan, masuk surga tak bisa diraih dengan cara santai, tapi harus kerja keras, membenam diri dengan ibadah. Itu pun bukan sembarang ibadah. Harus selektif tidak tercampur bid’ah meski sebesar zahrah.
Selera Seni
Konon pula ulama Muhammadiyah jarang yang bisa melucu. Tidak suka musik dan tidak punya selera seni. Saya masih meragukan ada ulama Muhammadiyah yang hobi burung berkicau, koleksi lukisan, mencintai tanaman hias, semacam bonsai atau koleksi anggrek berkelas.
Mungkin ada. Tapi bukan penghobi kelas berat kecuali sekadar pelepas jenuh dan penghilang bosan. Siapa pandai bersyair, bikin sajak atau sekali-sekali menulis dan baca puisi di depan publik. Atau menikmati konser dan nonton film James Bond terbaru di Cineplax 21. Pasti menarik.
Bukankah para imam sekelas Imam Syafi’i dan Imam Malik juga seniman. Mereka melahirkan karya-karya seni yang abadi. Semisal syair untuk menuangkan kecintaan dan romantisme. Ada kumpulan syair yang bertajuk Diiwaan asy-Syafi’i karya Imam Syafii yang digemari para penyair Arab. Bahkan Kiai Ahmad Dahlan ternyata juga piawai memainkan biola. Ini yang jarang dikisahkan.
Fatwa haram rokok adalah pukulan telak. Ibarat pohon kita kehilangan cabang dan ranting karena purifikasi dan pemurnian yang terus digerakkan. Pohon yang kita tanam rontok daunnya, di pangkas cabang dan rantingnya karena alasan purifikasi.
Mungkin kita perlu membangun Muhammadiyah Garis Tertawa. Melihat dunia dengan sudut pandang gembira. Agar dakwah menjadi lebih berwarna. Bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah. (*)
Editor Sugeng Purwanto