Akuntansi Zakat Maal ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan. Tulisan ini disarikan dari buku terjemahan Fiqh al-Zakah karya Dr Yusuf Qaradhawi.
PWMU.CO – Islam sangat serius menyoroti masalah harta atau maal. Terbukti banyak sekali ayat yang membahas tentang harta dengan berbagai sudut pandang.
Ayat-ayat tentang harta waris, jual beli, riba, infak, sedekah, dan zakat bertebaran di dalam al-Quran dengan perincian hitungan sedemikian rupa.
Fakta tersebut tentunya mendorong umat Islam untuk serius mendalami ilmu hitung harta, administrasi, atau bahasa modern menyebutnya sebagai ilmu akuntansi.
Dalam bulan Ramadhan—khususnya memasuki hari terakhir—paling banyak dibahas tentang zakat, baik fithrah maupun maal.
Zakat fitrah sudah banyak dibahas, yaitu bahan makanan pokok dengan nishab satu shaq. Di Indonesia dikonversi menjadi 2,5-3 kg makanan pokok berupa beras.
Zakat Maal Dorong Harta Produktif
Zakat maal lebih rigid perhitungannya. Meliputi haul atau masa kepemilikan satu tahun dan nishab atau nilai minimum serta status harta yang wajib dizakati.
Di sinilah kemudian peran tata kelola administrasi atau akuntansi menjadi perlu. Haul atau kepemilikan dalam satu tahun hanya bisa diketahui jika ada pencatatan waktu perolehan beserta harga perolehannya.
Nisab atau nilai minimal kepemilikan juga hanya bisa diketahui jika secara teratur memperbarui nilai harta yang sangat dipengaruhi harga pasar dan inflasi.
Contoh saja emas sebagai standar perhitungan zakat yang pada hari ini nilainya berkisar Rp 971.000 per gram. Sedangkan nisab zakat 85 gram emas, dengan demikian nisab zakat tahun ini adalah Rp 82.535.000.
Setelah diketahui nisab dan haul atas harta yang dimiliki, lebih penting lagi yaitu status atas harta tersebut. Haul dan nisab zakat maal hanya berlaku untuk harta non-produktif atau simpanan yang diam.
Harta yang produktif dan digunakan sehari-hari sebagai sarana bekerja, tempat tinggal, atau aset usaha dikenakan zakat atas hasilnya sebagai zakat profesi. Juga zakat pertanian, peternakan, industri, dan sebagainya yang telah diatur dalam beberapa fiqh zakat secara jelas.
Filosofi zakat maal hakikatnya mendorong agar harta yang dimiliki umat Islam senantiasa menjadi harta produktif atau harta bergerak yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas sebagai sarana bekerja.
Semakin banyak manusia yang bekerja secara produktif memanfaatkan harta sebagian pemilik kelebihan harta menjadikan distribusi pendapatan dan kekayaan menjadi merata, lambat laun kemiskinan menjadi berkurang.
Di samping itu harta yang produktif juga semakin bertambah dan bertumbuh. Berbeda dengan harta diam yang lambat laun terkena zakat pada nilai pokoknya sehingga menyusut bahkan habis.
Keadilan Zakat
Bukti adilnya prinsip zakat yang tidak mengenakan zakat berganda pada aset produktif diadopsi pajak yang juga tidak menganut pajak berganda pada objek yang sama.
Indahnya prinsip zakat dalam ekonomi Islam tidak selayaknya dianggap memberatkan, hanya 2,5 persen atas harta diam setelah haul sangat minimalis dibandingkan ketentuan pada salah satu agama selain Islam yang memberlakukan 10 persen atas harta jemaatnya.
Semoga Ramadhan tahun ini semakin berkah dengan pemenuhan kewajiban zakat fitrah dan zakat maal melalui perhitungan administrasi dan akuntansi yang baik terhadap harta yang disimpan, digunakan atau disewakan, tidak kurang namun boleh lebih.
Prinsip zakat sendiri adalah minimalis dengan ketentuan perhitungan yang rigid sesuai syariat. Jika ingin lebih dalam menyalurkan harta demi kemaslahatan umat, salurannya ada di infak, sedekah, dan wakaf.
Dalam sejarah perkembangan persyarikatan Muhammadiyah, wakaf lebih dominan ditandai dengan banyaknya amal usaha yang dimiliki.
Dengan tata kelola administrasi dan akuntansi yang baik pada zakat, infak, sedekah, dan wakaf semoga semakin tumbuh subur kesadaran di kalangan umat Islam yang semakin produktif dalam menunaikannya.
Semoga bermanfaat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.