Kisah Ahli Filsafat Temukan Islam ditulis oleh Pradana Boy ZTF, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, UMM.
PWMU.CO – Pada pertengahan tahun 2008— sebagai bagian dari persyaratan berebut beasiswa studi doktoral—saya harus mendapatkan seorang calon pembimbing di universitas tujuan.
Setelah mencari informasi ke berbagai sumber, akhirnya saya menemukan seorang calon pembimbing. Profesor Ingrid Mattson, namanya. Kepadanya, saya mengirim surat elektronik, menyatakan minat untuk belajar hukum Islam di bawah bimbingannya.
Dalam hitungan hari, Profesor Mattson mengirim balasan. Namun, dia mohon maaf tidak bisa menerima saya sebagai mahasiswanya karena waktu itu jumlah mahasiswa doktor yang ia bimbing sudah melebihi kuota.
Saya memang tidak jadi belajar bersama Ingrid Mattson. Tetapi saya menemukan sesuatu yang menarik tentangnya setelah membaca riwayat hidup singkatnya di laman Hartford Seminary, Amerika Serikat, tempat ia dulu mengajar.
Pencarian Islam Inggrid Mattson
Kini ia mengajar di Huron University College, Kanada dan menjadi ketua program Kajian Islam di universitas tersebut. Penuturan Ingrid dalam laman tersebut sangat menggugah hati. Berikut terjemahan dari kisah tersebut.
Pada musim panas 1987, saya naik kereta api melintasi British Columbia untuk memulai tugas penanaman pohon di pegunungan. Saya baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang filsafat dan (waktu itu) belum lama memulai kajian Islam yang saya lakukan secara pribadi. Sebelum melakukan perjalanan itu, saya mampir ke sebuah toko buku dan menemukan buku “Islam” karya Fazlur Rahman.
Saya menikmati membaca buku itu sepanjang perjalanan melintasi padang rumput Kanada. Dan saya memutuskan untuk melamar ke Sekolah Pascasarjana dalam bidang Kajian Islam. Buku Rahman memantik keinginan yang mendalam pada diri saya untuk memelajari warisan klasik teologi dan hukum Islam.
Melangkah ke tahap yang lebih jauh, saya menulis surat kepada Rahman menggambarkan situasi yang saya alami dan menanyakan kemungkinan apakah saya bisa belajar Islam dengan dia. Saya taruh begitu saja surat yang saya tulis itu di sebuah kotak pos di Rockies dan melupakannya, hingga saya kembali ke timur pada bulan Agustus.
Di situ saya temukan (balasan surat) tulisan tangan dari Rahman, mengundang saya untuk datang ke Universitas Chicago untuk belajar kepadanya. Rahman wafat sebelum saya tiba di Chicago, tetapi buku yang dia tulis dan dorongan dari dialah yang memberikan inspirasi kepada saya untuk memulai jalan kesarjanaan yang ternyata sangat menjanjikan.
Ingrid akhirnya tetap belajar Islam di Universitas Chicago, meskipun tak lagi bisa bertemu dengan Fazlur Rahman. Di universitas itu pula, ia meraih gelar doktor dalam studi Islam.
Salah satu karyanya tentang al-Qur’an berjudul The Story of the Quran, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah dan Sejarah al-Quran (2013).
Ingrid tidak hanya belajar Islam dan kemudian menjadi guru besar dalam bidang hukum Islam. Ia juga sekarang adalah seorang Muslimah.
Di bidang akademik, Ingrid pernah menjadi Direktur Macdonald Center for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations, Direktur Islamic Chaplaincy di Hartford Seminary, AS. Di luar kampus, dia juga aktif di Islamic Society of North America (ISNA) atau Masyarakat Islam Amerika Utara.
Pada tahun 2001, ia terpilih sebagai wakil presiden organisasi tersebut; dan pada tahun 2006, jabatan presiden ISNA disandangnya dan dia adalah presiden wanita yang pertama di organisasi itu.
Kisah Ingrid memang menarik. Tetapi sebenarnya tidak terlalu unik. Kisah orang Barat, khususnya kalangan terpelajar, masuk Islam seperti yang dialami oleh Ingrid sangat kerap terjadi.
Di samping Ingrid, perempuan Barat lain yang hatinya tertambat masuk Islam adalah Yvonne Ridley, seorang wartawati berkebangsaan Inggris, yang tertarik dengan Islam setelah ditawan tentara Taliban.
Tetapi yang menarik dari Ingrid dan membedakan dia dari Ridley adalah bahwa Ingrid menjadi Muslimah, setelah ia mempelajari Islam secara akademis. Penuturan Ingrid di atas juga menyiratkan bahwa Fazlur Rahman adalah intelektual Muslim yang cukup mempengaruhi dia.
Memang tidak terlalu jelas, apakah penyebab yang menjadikan Ingrid masuk Islam adalah buku Rahman itu, ataukah sebab lain. Tetapi saya menduga peran pemikiran-pemikiran Rahman sangat penting dalam mengarahkan Ingrid ke akidah barunya ini.
Sosok Fazlur Rahman
Bagi Anda yang akrab dengan kajian keislaman, Fazlur Rahman sama sekali bukan nama yang asing. Ia adalah seorang intelektual Muslim Pakistan yang berkarir di Amerika Serikat.
Pernah bekerja pada pemerintah Pakistan, tetapi kemudian diberhentikan karena memiliki pendapat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Salah satunya adalah ia menghalalkan daging yang disembelih melalui mesin.
Oleh sebagian umat Islam, Fazlur Rahman dicela dan dicaci maki karena dianggap menodai Islam dengan pemikiran-pemikirannya. Terlebih, di Indonesia Rahman memiliki dua orang murid yang sering dianggap sebagai promotor ide-ide pemikiran Islam progresif di Indonesia, yaitu almarhum Nurcholish Madjid dan Buya Ahmad Syafii Maarif.
Publik bisa saja berdebat tentang pemikiran Rahman. Nyatanya, itu telah terjadi. Adalah sah bagi kita untuk setuju atau tidak setuju, mengutuk atau memuji gagasan Fazlur Rahman.
Tetapi membaca kesaksian singkat Profesor Ingrid Mattson di atas, kita semestinya disadarkan bahwa seseorang yang selama ini dianggap berfikir terlalu liberal dan menodai ajaran Islam, justru berhasil “mengislamkan” seseorang.
Islam dan Kristen adalah agama yang memiliki kecenderungan untuk mencari pengikut dan menyebarluaskan ajarannya. Maka, Muslim sering resah ketika ada Kristenisasi dan umat Kristiani sering tidak terima dengan adanya Islamisasi.
Setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan menyebarluaskan agamanya jika memungkinkan. Tentu saja, dengan cara dan kemampuan masing-masing.
Sayangnya, terdapat anggapan umum bahwa mengajak orang masuk Islam hanya bisa dilakukan melalui cara-cara dakwah dalam bentuk ceramah, khutbah, dan sejenisnya.
Kita lupa bahwa pengislaman bisa dilakukan melalui beragam jalan; termasuk seperti yang dilakukan oleh Fazlur Rahman. Kebanyakan kita mungkin terlanjur menganggap bahwa Rahman terlalu asyik dengan dunia pemikiran, sehingga melupakan dakwah Islam.
Apalagi bagi orang yang membenci pemikirannya, anggapan itu akan semakin kuat. Kita lupa sama sekali bahwa ketika menulis, mengajar, berbicara di seminar, dan membahas tema-tema keislaman, para pemikir Muslim, seperti Fazlur Rahman, pada dasarnya juga sedang mendakwahkan Islam dengan cara dan keahliannya masing-masing.
Perspektif dakwah harus diperluas. Mengajak orang masuk Islam tak hanya bisa dilakukan melalui pengajian, khutbah, atau ceramah. Dakwah selalu memerlukan penyesuaian dengan tempat, kondisi, dan situasi.
Fazlur Rahman amat paham bahwa sebagian besar masyarakat Barat sangat rasional, ilmiah, dan menghargai pendapat. Maka, ia menampilkan Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu. Sehingga orang seperti Ingrid yang seorang sarjana filsafat, harus tertarik kepada Islam dan akhirnya masuk Islam, bahkan menjadi Muslimah yang taat. Padahal, sebagai seorang sarjana filsafat, Ingrid tentu menjunjung tinggi rasionalitas.
Inilah salah satu tantangan terberat umat Islam hari ini, yakni menampilkan Islam yang ramah, maju, modern, rasional dan beradab. Jika ini terjadi, tanpa kita mengajak, masyarakat dunia akan mengkuti jejak Profesor Ingrid Mattson; karena ternyata, Islam mampu menyediakan kebutuhan semua umat manusia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.