Ramadhan Era Lockdown di Perancis ditulis oleh Andar Nubowo, Mahasiswa S3 Ecole Normale Superiure (ENS) Lyon, pendiri dan Penasehat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Perancis.
PWMU.CO – Presiden Perancis Emmanuel Macron pada 17 Maret 2020 lalu mengumumkan menyegel Perancis dari serangan Covid-19. Kebijakan total lockdown ini berlaku nasional, dan mewajibkan semua warganya di dalam rumah. Semua dilarang keluar, kecuali untuk belanja, berobat, atau alasan penting lainnya.
Bagi yang tidak bisa menunjukkan surat keluar, ia wajib membayar denda sebanyak 135 Euro atau Rp 2,3 juta. Kebijakan ini membuat Perancis mengalami hibernasi. Semua aktivitas pendidikan, sosial, ekonomi dan transportasi berhenti.
Termasuk Sekolah Dasar Jacques Prevert Villefranche-sur-Saone, Rhone-Alpes, Perancis—tempat anak saya: Nobel Hilmi Zaydi (9 tahun) belajar. Ia tampak kecewa. Raut mukanya pias. Sekolah tempat ia belajar dan bermain ditutup rapat-rapat.
Karena tidak libur, aktivitas belajar dilangsungkan secara daring dari rumah. Setiap hari, guru dan murid berkomunikasi melalui aplikasi E-learning. Jadwalnya seperti saat normal: masuk pukul 08.30 dan pulang 16.30.
Tentu, ia kehilangan waktu bermain bersama di halaman sekolahnya. Sebuah momen emas untuknya di tahun pertama tinggal dan sekolah di Perancis. Tak hanya itu, Nobel yang baru pindah dari Jakarta setengah tahun lalu, praktis, tak bisa merayakan Ramadhan seperti sedia kala.
Biasanya, setiap Ramadhan, ia aktif merayakan bulan suci ini di masjid bersama sebayanya. Belajar membaca al-Quran, buka bersama, hingga shalat Tarawih. Anak seusia dia, tampaknya, belum memahami kenapa deret rencana Ramadhan tahun ini musti buyar gara-gara pandemi.
Buyar Impian Ramadhan ke Masjid Biru
Sebulan sebelum Coronavirus menghantui Perancis, saya dan Nobel pergi ke Mosquee Bleu di kota kecil penghasil anggur terbesar kedua di Perancis, Beaujolais ini. Sebuah masjid besar biru yang dibangun oleh komunitas Muslim Turki.
Jauh dari pemukiman penduduk, masjid modern nan megah ini malah berada di kawasan industri di pinggir Sungai La Saone yang membelah wilayah Propinsi Rhone-Alpes. Nobel saat itu berkata, “Yah Ayah, nanti bulan Ramadhan kita shalat di sini ya.”
“Nobel, ndak papa. C’est pas grave. Kita Ramadhan di rumah saja ya. Bareng ayah, ibu, kakak, dan adik. Asyik kok. Insyaallah, pahalanya sama,” saya meyakinkan padanya sesaat setelah Macron mengumumkan kebijakan lockdown pada malam Selasa itu.
Nobel dan kami sekeluarga urung menikmati Ramadhan di masjid biru dan bersilaturahmi dengan komunitas Muslim di sana.
Ramadhan di Rumah
Ramadhan adalah bulan istimewa. Bagi umat Islam yang tinggal di negara Barat, kata-kata itu memang bukan tanpa makna. Sebab, di bulan inilah, seorang Muslim berkesempatan untuk ‘ngecas’ dan ‘refresh’ iman dan Islam-nya.
Di negeri mayoritas non-Muslim, tentu, kehidupan sosial dan keagamaan yang dialaminya berbeda dari mereka yang tinggal di negeri-negeri Muslim seperti Indonesia, Tunisia, Aljazair, Maroko, atau Arab Saudi.
Di Indonesia misalnya, suara adzan tiap shalat lima waktu terdengar sahut menyahut. Tilawatul Quran mengalun indah dari surau dan masjid-masjid di segala penjuru. Jika sore tiba, tumpah ruah penuh semarak tua muda penuhi jalanan untuk membeli jajanan kolak dan manis-manisan Ramadhan.
Jika Lebaran tiba, suara beduk bertalu-talu, takbiran mengalun merdu dan haru. Suasana Ramadhan dan hari kemenangan 1 Syawal benar-benar kentara dalam suka-cita.
Perkembangan Islam di Perancis
Namun, di Perancis dan juga negara Barat lainnya, Ramadhan adalah urusan individual orang-orang beriman saja. Sekitar 5,7 juta Muslim Perancis, atau sekitar 8,8 persen dari total populasi Perancis (Pew Research, 2017), menjadikan Ramadhan selaiknya ‘oase’ yang menawarkan kesejukan dan kedamaian.
Setelah memburu fatamorgana, sibuk dengan berbagai aktivitas duniawi—belajar, kuliah, dan atau bekerja—Muslim di Perancis kembali menemukan waktu terbaiknya untuk kembali memerkuat iman dan memerkaya spiritualitas dan jangkar kebudayaan Islamnya. Tetirah dalam pengertian sejatinya.
Masjid-masjid ramai menggelar kajian agama semenarik mungkin. Dibungkus dengan tema aktual dan penceramah cakap dan simpatik, kajian tersebut terbuka secara umum. Tak hanya mereka yang mengenal Islam sejak lahir, siapa pun termasuk non-Muslim yang ingin mengenal dan belajar Islam secara lebih mendalam bisa mengikutinya.
Maka tak jarang, Ramadhan adalah bulan di mana proses pengislaman seorang mualaf berlangsung di masjid-masjid di tiap kota. Kini, terdapat sekitar 70.000 hingga 110.000 mualaf di Perancis.
Jika trennya konsisten, pada 1950 nanti, diperkirakan umat Islam di Perancis akan mencapai angka 12,7 hingga 18 persen dari total populasi.
Sedih Tak Bisa ke Masjid
Namun, karena Covid-19, semua kegiatan di masjid-masjid kandas. Samia Kotele, 24 tahun, Muslimah asli Perancis, pun harus pasrah menerima keadaan. Galibnya setiap Ramadhan tiba, ia bersama keluarganya pergi ke masjid di Venissieux, pinggiran kota Lyon, untuk buka puasa dan shalat Tarawih.
Di daerahnya, banyak komunitas Muslim tinggal. Mayoritas imigran dari tanah bekas jajahan Perancis seperti Tunisia, Maroko, Aljazair, Senegal dan lainnya. Namun, kali ini, pandemi Covid-19 memaksanya untuk merayakan Ramadhan di rumah saja.
Samia juga kehilangan waktu menikmati kuliner khas Ramadhan. Biasanya, penganan tradisional dari berbagai negara Muslim dijajakan di masjid-masjid di seputar Lyon. Setidaknya, buka puasa juga merupakan momen multikultural untuk merajut kebersamaan dan ukhuwah islamiyah di negeri sekuler ini.
“Ramadhan kali ini, saya sedih. Karena tidak bisa merasakan spirit Ramadhan, yakni solidaritas dengan berbagi. Biasanya, ibu saya memasak masakan khas Tunisia dan membagikannya kepada saudara dan tetangga, termasuk kepada yang non-Muslim,” keluhnya.
Sebagai gantinya, kali ini, ia menjalani Ramadhan di rumah saja. Bersama kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Bagi Samia, meski kehilangan semarak Bulan Suci, ia masih tetap bersyukur, karena kebijakan lockdown ini membuatnya bisa menikmati Ramadhan secara utuh bersama kakak dan adiknya di rumah.
“Biasanya, saya hanya tinggal bersama seorang kakak dan adik, sekarang kakak-kakakku yang telah bekerja dan tinggal di luar kota berkumpul. Ramai dan asyik juga,” akunya bangga.
Tetap Semarak
Di negara fashion dan parfum peninggalan Napoleon Bonaparte ini, mayoritas Muslim Perancis beraliran Sunni. Namun, karena latar belakang imigrasi Muslim dari berbagai daerah, komunitas dan organisasi Islam di Perancis kental dengan warna etnik dan asal-usul negaranya: Aljazair, Maroko, Tunisia dan Turki.
Karena itulah, Muslim Perancis yang minoritas masih dihadapkan pada problem komunitarisme internal dan rapuhnya persatuan umat Islam.
Mereka terkotak-kotak dalam labirin etnik dan asal-usul. Akibatnya, advokasi isu Islam di Perancis tidak padu. Misalnya dalam menuntut hari libur nasional Islam seperti Idul Fitri atau Idul Kurban.
Namun secara umum, Pemerintah Perancis dan masyarakatnya semakin akrab dengan kehadiran Islam. Masjid-masjid tumbuh subur. Jilbab untuk Muslimah diperkenankan di area publik, kecuali jilbab di TK hingga SMA negeri dan burqa, yang pelarangannya karena alasan pendidikan, keamanan, dan integrasi sosial.
Kafe dan restoran halal, toko daging halal, dan super market halal berdiri di setiap penjuru kota. Bahkan di kota-kota terpencil. Apalagi pada saat Ramadhan, semarak Ramadhan tampak nyata di supermarket dan pusat perbelanjaan besar.
“Di tempat saya tinggal, Ramadhan memberi nuansa lain. Di supermarket Auchan dan Carrefour, rayon halal food bertambah semarak dan lengkap. Stok makanan dan kue khas Timur Tengah melimpah. Harganya pun didiskon,” ungkap Farida Annur, warga Indonesia berjilbab yang tinggal di kota Limas Rhone-Alpes ini.
Di bawah UU Sekularisme 1905, semua agama termasuk Islam bebas hidup dan berkembang dalam harmoni. Selama tidak menganggu ketertiban umum, negara menjamin siapa pun dan agama apa pun untuk mengimani dan merayakannya secara bebas.
Di tengah pandemi Covid-19 yang telah memakan korban sebanyak 177 ribu positif dan 26 ribu meninggal dunia (Worldometer, 11/05/20), Presiden Macron pun mengimbau komunitas Muslim untuk menjalankan ibadah Ramadhan dan merayakan Idul Fitri di rumah, dan menaati aturan yang digariskan pemerintah dalam melawan persebaran virus baru H1N1 ini.
Joyeux Ramadan Mubarak. Kullu ‘amin wa antum bi khayrin! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.