PWMU.CO – Lima langkah besar yang harus dilakukan dalam membangun peradaban era new normal disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi.
Ia menyampaikan lima hal itu dalam Webinar Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Selasa (19/5/20).
Haedar mengingatkan peserta web seminar (webinar) agar bersiap dan beradaptasi dalam situasi resesi atau kemerosotan dari berbagai sisi akibat mewabahnya Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia.
Situasi yang upnormal pada masa pandemi Covid-19, kata dia, mengakibatkan berbagai lini kehidupan berubah. Bahkan mengalami resesi baik bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan keagamaan.
“Maka semua harus siap dan beradaptasi sehingga situasi upnormal ini terasa normal bila dijalankan secara terus menerus,” katanya.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini mengatakan, organisasi Muhammadiyah telah, sedang, dan akan secara terus menerus berperan aktif dalam membangun peradaban manusia, termasuk di era baru (new normal) nantinya.
“Akan tetapi membangun kebudayaan secara kolektif ini tidak gampang. Butuh energi besar dan waktu yang lama,” ujarnya.
“Rasulullah hadir di tengah masyarakat Arab jahiliyah dalam tempo 23 tahun. Nabi berhasil membangun pondasi peradapan lalu lahir madinah almukarramah (dari kondisi gelap menuju cahaya). Itupun tidak semua tuntas ada yang tertinggal urusan-urusan peradapan,” jelasnya
Dia mencontohkan ketika harus memilih pemimpin kaum muslimin atau siapa yang menjadi khalifah (bukan setelah nabi) terjadi perdebatan dan proses polaritasnya terlalu tinggi di Shahibah Bani Saidah.
“Seperti ada Anshar kembali muncul keansharannya, ada Muhajirin kembali muncul dengan kemuhajiriannya. Bahkan muncul ahlul bait yang merasa dekat dengan keluarga nabi. Lalu dilakukan musyawarah dan terpilihlah Abu Bakar ash-Shidiq. Itupun masih terus muncul dinamika selama membangun peradapan, misalnya hingga terbunuh Umar bin Khattab dan seterusnya,” terangnya.
Reformasi Pendidikan dan Transformasi Nilai Agama
Haedar kemudian menjelaskan lima hal besar yang harus dibangun secara kontinyu untuk membangun peradaban Islam.
Pertama, mereformasi pendidikan dengan menghadirkan nilai-nilai dan modern. Dunia pendidikan diarahkan pada pembangunan sumber daya manusia yang cerdas dan berakhlak.
“Dan peradaban akan terbangun bila kecerdasan bersintesis dengan akhlak sehingga melahirkan pendidikan Islam yang modern,” tuturnya.
Maka menurutnya, sistem pendidikan perlu direkonstruksi dengan rancangan pendidikan yang lebih progresif dan modern serta diperlukan pakar dan penggiat pendidikan yang berfokus pada proses ini. “Mereformasi pendidikan ini dibutuhkan peran para penggiat atau praktisi pendidikan yang pemikirannya melampaui zaman,” ujarnya.
Kedua, transformasi nilai agama. Belajar dari perjuangan KH Ahmad Dahlan, dalam usianya yang sangat muda, sekitar 22 tahun sudah melakukan lompatan besar dan bahkan merintis pendidikan yang modern, menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Padahal, kata Haedar, situasi dan kondisi pada masa itu juga sulit, dalam situasi politik yang kurang baik pula dalam kondisi perkembangan faham Wahabi.
“Kita ini mesti malu, dalam suasana pandemi Covid-19 seperti ini. Masih pingin shalat Idul Fitri di lapangan. Kita tidak peduli dengan kematian sosial yang semakin meningkat. Padahal dengan shalat di rumah, tidak hilang rukun dan nilai keagamaannya,” terangnya.
Selanjutnya Haedar mengajak kepada semua, khususnya umat Islam agar menyikapi fenomena yang ada dengan berpikir secara bayani, burhani, dan irfani.
Transformasi Budaya hingga Rekonstruksi Ruang Publik
Ketiga, transformasi budaya masyarakat. Rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia, berdampak ketidaktepatan mengambil sikap dalam menangani berbagai persoalan kehidupan.
Haedar mencontohkan, menyikapi perubahan kehidupan di masa pandemi Covid-19 ini. Ia menerangkan, sumber dari kondisi tidak normal saat ini adalah wabah Corona Virus yang merupakan fenomena sains, bagian dari sunatullah.
Menurutnya, seharusnya pemerintah dan masyarakat memercayakan penanganan kepada pakarnya dan mengikuti standar dan arahan dari para scientist dan dunia kedokteran. “Masyarakat kita masih kurang keterampilan literasinya, sulit untuk menjadi negara maju, bila tradisi membacanya minim,” terangnya.
Haedar pun menyayangkan sikap masyarakat yang menolak jenazah tenaga medis, padahal merekalah yang bergerak dan berjuang di garis depan penanganan pandemi Covid-19. “Kondisi bangsa Indonesia saat ini rapuh terhadap sikap gotong royong dan kebersamaan,” kata dia.
Keempat, peradaban dapat muncul kembali dicirikan dengan pembangunan infrastruktur ekonomi yang maju. Haedar menjelaskan, kemajuan infrastruktur ini menjadi salah satu pondasi bagi suatu negara untuk bisa bersaing dan sejajar dengan negara maju lainnya.
Selain pembangunan infrastruktur dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, lanjutnya, juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. “Maka, proses di bagian ini juga membutuhkan finansial dan pertumbuhan ekonomi yang kuat,” tegasnya.
Kelima, rekonstruksi ruang publik dan politik. Ruang publik sebagai salah satu komponen tata ruang kota yang vital untuk mengurangi tingkat kesenjangan antarlapisan masyarakat.
Haedar mengarahkan kader Muhammadiyah mengambil posisi dalam kekuasaan pemerintahan agar memiliki peran yang lebih besar. “Kekuasaan jangan sampai jatuh pada orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Bila salah orang, maka akan merusak peradaban. Maka perlu orang Muhammadiyah yang duduk di pemerintahan,” tuturnya.
Selain lima hal tersebut, Haedar juga mengajak warga Muhammadiyah dan masyarakat umumnya untuk memaksimalkan ikhtiar dalam membangun generasi khairul ummah secara terus menerus dan berserah diri hanya kepada Allah SWT. (*)
Penulis Anis Shofatun. Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.