Kiai Dahlan dan Kekuatan Kata-Kata ditulis oleh M Anwar Djaelani aktivis dakwah yang besar dari keluarga Muhammadiyah di Pamekasan, Madura.
PWMU.CO – KH Ahmad Dahlan (1868-1923) memang tak pernah menulis buku. Ini berbeda dengan, misalnya, H Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto, serta sejumlah pemimpin Islam lainnya. Meski demikian, dalam hal menggerakkan orang, ketiganya punya catatan yang mengesankan.
Mari cermati H Agus Salim (1884-1954). Beliau menulis buku Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia; Dari Hal Ilmu Quran; Muhammad voor en na de Hijrah, Gods Laatste Boodschap, dan Jejak Langkah Haji Agus Salim”. Buku yang disebut terakhir ini adalah kumpulan karya H Agus Salim dan proses terbitnya dikerjakan oleh sahabatnya pada 1954.
Kecuali itu, warisan yang ditinggalkan H Agus Salim adalah nasihat yang di kemudian hari orang-orang menyebutnya sebagai mutiara kata. Warisan ini memang terbilang menggetarkan. Bahwa, H Agus Salim pernah mengatakan dan sekaligus istiqamah memberi teladan: “Memimpin adalah menderita”.
Terkait hal di atas, lihatlah performa M Natsir (1908-1993). Beliau belajar kepada banyak guru dan salah satunya adalah H Agus Salim. Rupanya, ajaran dan teladan sang guru benar-benar diamalkannya. Bahwa, sebagai pemimpin harus selalu hidup sederhana dan jika perlu harus siap menderita.
Mari seksamai! Saat menjadi Perdana Menteri RI yang pertama dan Menteri Penerangan pada masa Sutan Sjahrir, selepas jam kerja M. Natsir memilih naik becak untuk pulang ke rumah. Sementara di lain fragmen, ada kesaksian bahwa di Yogyakarta pada1948, terlihat M. Natsir—Menteri Penerangan saat itu—memakai kemeja yang ada tambalannya.
Buku HOS Tjokroaminoto
Berikutnya, perhatikanlah HOS Tjokroaminoto (1882-1934) sang pendiri Syarikat Islam pada 1912. Beliau punya karya buku berjudul Tarikh Agama Islam dan Islam dan Sosialisme. Di buku yang disebut terakhir, diuraikan secara tegas tentang sistem ajaran Islam yang menjunjung tinggi kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan.
Kecuali itu, sejumlah nasihat (baca: mutiara kata) HOS Tjokroaminoto masih dikenang dan bahkan “dipegang” banyak orang. Misalanya yang masyhur, ketika HOS Tjokroaminoto mengatakan: “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”.
Kalimat tersebut kapan pun sangat relevan dan terlebih lagi pada suasana kala itu di saat bangsa Indonesia sedang memperjuangkan kemerdekannya.
Masih ada contoh lain. Kepada murid-muridnya, HOS Tjokroaminoto menyampaikan: “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”.
Kalimat ini sangat menginpirasi, termasuk kepada salah seorang muridnya yang bernama Soekarno.
Terbakar oleh kata-kata sang guru, setiap malam dengan suara lantang Soekarno belajar berpidato. Tentu saja, kawan-kawan satu rumah yang sama-sama kos di rumah HOS Tjokroaminoto terbangun dan tertawa menyaksikannya. Belakangan kita tahu, Soekarno memang lalu menjelma menjadi orator ulung.
Tulisan Kiai Dahlan
Bagaimana dengan KH Ahmad Dahlan? Ada catatan, beliau pernah juga menulis karangan-karangan pendek dalam bahasa Jawa. Misalnya, di dalam buku Al-Manar yang diterbitkan Muhammadiyah Surakarta pada 1926.
Tapi, sekali lagi, buku tebal yang ditulis Kiai Dahlan secara khusus memang tak ada. Meski begitu, kita beruntung, sebab dalam berbagai pidato, khutbah, dan lain-lain kesempatan, Kiai Dahlan kerap memberikan nasihat yang bernilai bak mutiara kata.
Berbagai mutiara kata itu dicatat oleh murid dan pengikut Kiai Dahlan, kemudian disebarluaskan. Belakangan, berbagai mutiara kata itu dimasukkan ke beberapa judul buku oleh sejumlah penulis.
Di antara buku-buku itu ada yang berjudul KH Ahmad Dahlan; Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Di buku itu tak tercamtum tahun terbitnya. Patut diduga, terbit pada 1970-an. Di dalamnya, terdapat 38 nasihat atau mutiara kata Kiai Dahlan.
Jika kita cermati, atas kedalaman makna dari deretan mutiara kata Kiai Dahlan itu boleh dikata bisa mempunyai nilai sama dengan buku-buku yang ditulis pemimpin lainnya. Penjelasannya, kurang-lebih bisa seperi ini: Dari 38 pernyataan atau nasihat Kiai Dahlan itu, jika masing-masing diberi penjelasan atau uraian yang setara dengan minimal panjang satu artikel, maka akan didapat 38 artikel. Jika semua artikel itu dihimpun, akan bisa diterbitkan sebagai sebuah buku.
Kiai Dahlan dan Kekuatan Kata-Kata
Berikut ini, sebagian saja dari 38 nasihat atau mutiara kata yang berhasil dikumpulkan oleh Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan di buku yang judulnya telah disebut di atas. Kalimat-kalimat itu ada di halaman 53-57, yang untuk keperluan memperjelas makna, ada editing seperlunya.
Soal waktu dan kehidupan msalnya, Kiai Dahlan menulis: “Manusia hidup di dunia hanya satu kali. Maka, berjuanglah untuk kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat”. Atau ini: “Janganlah kita terus-menerus lengah hidup di dunia, supaya jangan sengsara hidup di dunia dan di akhirat”.
Perihal kita dan agama, Kiai Dahlan menulis: “Maut adalah suatu bahaya besar. Tetapi, lupa kepada maut adalah bahaya yang lebih besar lagi”.
Tentang kondisi umat Islam, kata Kiai Dahlan: “Mula-mula Islam itu cemerlang, kemudian makin suram. Hal yang membuat suram itu manusianya, bukan agamanya”.
Atau, “Umat Islam telah merosot moralnya, sehingga sudah tidak mempunyai keberanian seperti harimau, tapi hanya mempunyai semangat seperti kambing”.
“Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia. Tapi, tidak mustahil lenyap dari bumi Indonesia. Siapa yang harus bertanggung-jawab?”
Tentang urgensi berkorban tenaga dan harta, kata Kiai Dahlan: “Berkorbanlah dengan ikhlas dan hati yang suci, baik harta ataupun tenaga”. Sungguh, “Belanjakanlah harta pada saat kita masih menguasainya.”
Kata-Kata Kiai Dahlan Menggerakkan
Sekarang, mari berkonsentrasi pada kalimat terakhir di atas. Kata Ahmad Dahlan: “Belanjakanlah harta pada saat kita masih menguasainya.”
Maka, di titik ini, perhatikanlah para pimpinan Muhammadiyah dahulu rela mengorbankan hartanya untuk membiayai program-program Muhammadiyah.
Kisah yang terkenal—dalam hal keteladanan- adalah ketika Kiai Dahlan memukul kentongan di rumahnya. Sebagai respon, warga Kauman—Yogyakarta lalu berkumpul di rumahnya. Kemudian Kiai Dahlan memberitahu dirinya berniat melelang barang-barang pribadinya untuk membiayai operasional sekolah Muhammadiyah.
Kisah lain, tentang pengaruh kata-kata dan keteladanan. Ada cerita bagaimana para saudagar batik di Yogyakarta yang tertarik dengan gerakan Kiai Dahlan dan Muhammadiyah akhirnya menyerahkan harta bendanya untuk menyokong gerakan dakwahnya.
Intinya, meski Kiai Dahlan telah berpulang sekitar seratus tahun lalu, tapi sikap rela berkorban dari pimpinan, anggota, simpatisan, dan pihak-pihak yang tertarik dengan dakwah Muhammadiyah masih banyak kita jumpai di setiap kegiatannya.
Masih sering kita dengar cerita para pimpinan Muhammadiyah di semua lini yang menjual atau menggadaikan hartanya dengan tujuan agar pembangunan amal usaha pendidikan ataupun kesehatan dapat terus berlangsung . Baca di sini.
Pedoman dan Teladan
Sungguh, dalam berdakwah kata-kata harus benar-benar kita tata. Ini, karena serangkaian kata yang kita susun sangat potensial menggerakkan orang lain.
Lihatlah misalnya, di saat menghadapi Fir’aun, Nabi Musa bahkan didampingi Nabi Harun yang dipandang cakap dalam berkata-kata. Perhatikan ayat ini: “Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun. Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (Thaha: 43-44).
Alhasil, mari ikuti al-Quran sebagai pedoman hidup. Seiring dengan itu, teladanilah para ulama yang hanif dalam berkata-kata. Maka, lewat tulisan ini, sebagian kisah dari H Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan KH Ahmad Dahlan semoga bisa menggerakkan kita. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini adalah versi online Buletin Umat Hanif edisi 40 Tahun ke-XXIV, 22 Mei 2020/29 Ramadhan 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.