Idul Fitri, Konflik Umat, dan Penguasa tulisan opini oleh Dr Slamet Muliono, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel.
PWMU.CO-Hari-hari menjelang Idul Fitri pemerintah dan rakyat masih terbelah. Bukan karena beda hasil rukyatul hilal dan hisab tapi seruan yang dicanangkan oleh presiden untuk berdamai dengan virus Corona justru melahirkan konflik di tengah masyarakat.
Konsep berdamai dengan Covid-19 melahirkan multi tafsir karena konsepnya memang tak jelas. Contoh, konser amal BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) dan MPR menuai kontroversi. Seolah-olah sinyal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak penting lagi.
Yang mengkhawatirkan konflik itu telah melibatkan elemen ulama atau tokoh masyarakat. Kalau konflik menyulut masyarakat akar rumput, maka ulama bisa diharapkan untuk menjadi juru damai atau penengah.
Namun ketika unsur ulama atau tokoh masyarakat yang terlibat konflik, maka kekacauan akan membesar dan sulit diredam. Masyarakat bosan tinggal di rumah yang tak jelas sampai kapan batasnya, PHK, frustrasi, dan PHK bisa memicu gejolak sosial jika pemerintah tak bisa meredam.
Pemerintah Tak Konsisten
Kekacauan melawan pandemi Covid-19 berawal dari tidak konsistennya pemerintah dalam menjalankan amanat PSBB. Konser amal BPIP semakin membuat masyarakat mereaksi negatif dengan cepat.
Betapa tidak, masyarakat diimbau untuk menjaga jarak fisik (physical distancing) namun pemerintah sendiri memberizi izin. Meskipun itu konser virtual tapi lokasi acara didatangi penonton dari berbagai elemen mengabaikan PSBB.
Tak pelak di tengah masyarakat mendorong ketidakpercayaan terhadap niat pemerintah mengatasi wabah Corona ini. Muncul kecurigaan, bahwa wabah ini dijadikan konspirasi sekelompok orang untuk menjauhkan umat Islam dari masjid atau larang mengadakan shalat Id. Buktinya pasar dan mall dibiarkan buka.
Masyarakat mulai berani melakukan perlawanan. Misalnya, viral di medsos pengemudi mobil sedan yang dihentikan aparat di Bundaran Darmo Satelit melawan karena penumpangnya lima orang.
Contoh lain, pedagang di Pasar Dumai Riau berani membongkar check point PSBB yang dijaga polisi. Bahkan ada yang mengundang adakan takbir keliling di malam Lebaran. Katanya, kalau dicegat polisi jawab saja ini konser amal seperti yang dibuka presiden.
Fatwa MUI dan NU sebenarnya juga menganjurkan ibadah di rumah. Tapi memberi pilihan berdasarkan kegawatan daerah terhadap wabah. Hanya daerah zona hijau boleh mengadakan shalat Id berjamaah di masjid dengan menerapkan protokol kesehatan. Kalau zona kuning dan merah lebih aman melaksanakan shalat Id di rumah.
Di Aceh ada tokoh yang jengkel dengan mencla-menclenya pemerintah sehingga menyerukan muslimin meramaikan malam takbir secara meriah dan melaksanakan shalat Id di lapangan atau masjid. Kalau ada aparat yang mencegah hadapi dengan perlawanan.
Ujian untuk Penguasa
Hanya Muhammadiyah mengeluarkan fatwa dengan tegas. Selama wabah Corona diserukan beribadah di rumah. Shalat lima waktu, tarawih, meniadakan shalat Jumat, dan shalat Id. Semua dikerjakan berjamaah di rumah bersama keluarga.
Pimpinan Muhammadiyah konsisten menjalankan fatwa ini. Begitu Gubernur Jawa Timur mengizinkan Masjid Al-Akbar mengadakan shalat Id langsung dikritik sebagai kebijakan plin-plan.
Sikap sama juga disampaikan Kementerian Agama, Ikatan Dokter Indonesia dan Wapres Ma’ruf Amin. Hingga gak pakai lama Gubernur Jatim membatalkan surat izin itu.
Untuk mengakhiri konflik ini pemerintah harus menjaga kewibawaannya dengan keputusan yang tegas, konsisten, dan berlaku adil. Antar pejabat jangan membuat keputusan sendiri yang bertabrakan.
Ulama dan umatnya harus belajar mematuhi pemimpinnya. Fatwa yang dikeluarkan mestinya dijadikan pedoman sehingga ada kesamaan sikap.
Wabah Corona kini menjadi ujian para pemimpin. Keputusan, ucapan, dan sikapnya menjadi terang benderang tampak di mata rakyat. Apakah dia pantas menjadi pemimpin yang mengatasi masalah atau sekadar boneka dari orang yang berkuasa di belakangnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto