Fikih Muhammadiyah Kuasai Dunia kolom oleh Nugraha Hadi Kusuma, Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912. Tokoh pendirinya adalah KH Ahmad Dahlan. Dia adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta, yang bertugas sebagai seorang khatib. Sehari-hari aktif berdagang di kota tersebut.
Melihat umat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud—penuh dengan amalan-amalan yang melenceng dari ajaran—dia tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
Mula-mula dakwahnya ditolak, tetapi berkat ketekunan dan kesabaran, akhirnya dia mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Banyak kelebihan maupun keunikan yang dimiliki Muhammadiyah dibandingkan organisasi Islam lainnya.
Praktik Ibadah Muhammadiyah yang Mendunia
Kini perkembangan Muhammadiyah lebih unik lagi. Kalau selama ini banyak orang yang gerah dengan kaidah ibadah alias fikih Muhammadiyah, kini di era pandemi Covid-19, ada lima praktik ibadah yang menandakan Muhammadiyah menaklukkan dunia.
Pertama, shalat Tarawih sedunia sekarang seperti Muhammadiyah. Masid al-Haram dan Masjid Nabawi Tarawih dengan 11 rakaat.
Kedua, shalat Jumat tidak menunggu sejumlah 40 orang. Bahkan shalat Jumat dengan tiga orang dalam rumah pun jadi. Ini benar-benar khas Muhammadiyah.
Ketiga, semua orang bisa jadi imam. Tidak harus dari pesantren, bahkan dari golongan manapun bisa jadi imam. Benar benar Muhammadiyah.
Keempat, semua orang bisa jadi khatib bahkan jadi kiai biarpun bacaan al-Quran-nya yang tidak lancar. Mereka bisa jadi khatib Jumat bahkan khatib Idul Fitri. Benar benar umat sedunia jadi Muhammadiyah.
Kelima, Muhammadiyah punya ciri gampangan nyumbang dan mudah menolong. sekarang semua orang seperti Muhammadiyah—yang ringan tangan dan mudah membantu. Seakan semua jadi Muhammadiyah. Benar-benar keterlaluan Muhammadiyah itu.
PR Muhammadiyah
Ternyata dunia itu unik, yang bisa membuat kita tersenyum. Di internal Muhammadiyah seringkali kita melihat warga mempertentangkan keputusan pimpinan. Bahkan ada yang merasa bahwa pimpinan tidak pernah memperhatikan umatnya dengan melarang ini dan itu.
Tapi ternyata Prof Haedar Nashir—Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadyah—dan para pimpinan lainnya meneruskan dakwah KH Ahmad Dahlan: berdakwah menembus batas. Bahkan melintasi realitas. Suatu yang menakjubkan.
Biarpun begitu ada pekerjaan rumah berupa problematika di depan mata persyarikatan yang kita cintai ini. Yaitu menyangkut pemberdayaan masyarakat multikultural, melintas batas etnisitas, sektarianisme, dan agama.
Selama ini secara organisatoris, Muhammadiyah belum mau—untuk tidak mengatakan tidak berani—berdekatan dengan kelompok agama lain.
Pemberdayaan-pemberdayaan yang dilakukan Muhammadiyah selama ini masih bersifat ke dalam ketimbang ke luar. Misalnya, keberanian untuk memprakarsai dialog antarumat beragama, doa bersama dan sebagainya belum tampak. Di sinilah muncul dilema antara elitisme dan populisme; reformisme dan multikulturalisme.
Tanpa menutup mata terhadap kontribusi pendidikan yang diberikan oleh Muhammadiyah, Kuntowijoyo (1994: 268-269) memberikan catatan kritis.
Bahwa gerakan rasionalisasi yang dilancarkan Muhammadiyah untuk melawan tradisi yang berkembang di masyarakat membawa ongkos dan berisiko tinggi yang tidak banyak disadari oleh Muhammadiyah itu sendiri.
Misalnya hilangnya budaya ikatan unitas yang utuh seperti yang tampak dalam kesatuan-kesatuan masyarakat desa yang memiliki sistem perekonomian, pemupukan solidaritas, dan kerjasama (gotong royong).
Individualis Faktor Sekolah
Tanpa disadari dalam sistem sekolah di Muhammadiyah juga turut andil dalam menumbuhkan gejala individualisme. Misalnya hubungan impersonal dan transaksional guru-murid, sekolah-alumni dan murid-murid seperti yang berkembang dalam masyarakat kapitalis.
Ini tentu berbeda dengan pola pendidikan pesantren yang memiliki sistem relasi sangat erat antara kiai-santri yang berakar pada tradisi dan budaya yang kuat.
Dalam konteks demikian—seperti kata Kuntowijoyo—Muhammadiyah tidak memiliki basis budaya yang jelas.
Tidak bermaksud mengunggulkan satu dengan yang lain—kerena semua memiliki keunggulan dan kekurangannya—maka dalam era multikultral seperti ini Muhammadiyah sudah saatnya untuk terus melakukan evaluasi dan reorientasi dalam melakukan pembaruannya.
Sebab, bagaimanapun kondisi objektif masyarakat dan konteks sosial harus dilihat secara cermat untuk melakukan dakwah ke depan.
Kecenderungan-kecenderungan untuk lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat trivial, khilafiyah, dan furuiyyah sudah saatnya untuk dihilangkan.
Persoalan yang lebih besar, seperti kepekaaan terhadap problem-problem sosial: masalah hak-hak asasi manusia (HAM), demokratisasi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kemiskinan dan seambrek isu-isu sosial lainnya merupakan lahan garap yang mendesak yang mesti dilakukan dan diprioritaskan oleh organisasi sosial Islam seperti Muhammadiyah ini.
Karena kita menyadari, bahwa selama ini secara empirik lembaga-lembaga Islam masih belum memiliki kekuatan yang berarti jika dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik yang ada.
Kita sadar, pusat-pusat kebudayaan dan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh sekarang ini bukan berada pada lembaga Islam, melainkan ada pada dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga pendidikan Islam terancam oleh subordinasi.
Itulah Muhammadiyah selalu dengan keunikan keunikan yang menyegarkan zaman. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.