PWMU.CO-Teror dan ancaman terhadap guru besar UII yang menjadi narasumber diskusi mahasiswa UGM dinilai sebagai pembunuhan demokrasi di negeri ini.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Fathul Wahid PhD dalam rilis pers yang dikirimkan Sabtu (30/5/2020).
Pernyataannya itu menanggapi teror dan ancaman terhadap guru besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia di rumahnya. Dia yang hendak menjadi pembicara diskusi virtual mahasiswa yang diadakan oleh Constitutional Law Society Fakultas Hukum UGM, Jumat (29/5/2020).
Atas kejadian teror itu, sambung dia, civitas akademika Universitas Islam Indonesia terpanggil menyampaikan pandangan, pertama, kegiatan diskusi yang berjudul Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan adalah murni aktivitas ilmiah yang jauh dari tuduhan makar sebagaimana disampaikan oleh oknum melalui media online.
”Tema pemberhentian presiden dari jabatannya merupakan isu konstitusional yang diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, yang lazim disampaikan kepada mahasiswa dalam mata kuliah Hukum Konstitusi,” ujarnya.
Kedua, tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber diskusi sungguh tidak dapat dibenarkan secara hukum maupun akal sehat.
”Bagaimana mungkin diskusi belum dilaksanakan, materi belum pula dipaparkan, tetapi penghakiman bahwa kegiatan diskusi akan berujung makar sudah disampaikan. Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia menilai tindakan dimaksud bukan hanya tidak proporsional melainkan juga mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945,” tandasnya.
Menurut dia, tindakan berupa intimidasi, pembubaran hingga pemaksaan untuk membatalkan diskusi tidak bisa diberi toleransi oleh hukum demi tegaknya HAM dan kebebasan akademik. Karena itu, harus ada tindakan yang tegas dari penegak hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi.
Guru Besar Diteror di Rumah
Sementara aksi teror dialami Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Ni’matul Huda sejak Kamis (28/5/2020) malam rumahnya di daerah Sorogenen, Kota Yogyakarta, digedor sejumlah orang tak dikenal.
”Kamis malam kurang lebih pukul 23.00 digedor pintu dan bel rumahnya. Jumat pagi datang lagi dan dilanjutkan beberapa orang mondar-mandir di depan rumah. Prof Ni’ma tidak kenal orang tersebut dan tidak tahu itu siapa,” cerita Dekan Fakultas Hukum UII Abdul Jamil seperti diberitakan kumparan.com.
Jamil menjelaskan, pada Jumat subuh, Ni’mah menghubunginya dan merasa terancam dengan kedatangan sejumlah orang tak dikenal ke rumahnya. Jamil kemudian menyarankan Ni’mah untuk tidak membuka pintu.
”Kalau orang kampung kan tidak mungkin. Dilihat ada beberapa orang laki-laki. Ya memang dia sampai pukul 04.00 minta pendapat saya. Saya bilang tidak usah dibuka. Nah, habis subuh pagi itu diperkirakan ‘gimana kalau datang lagi’. Ya enggak usah dibuka karena Bu Ni’mah enggak kenal dan siapa dia kan juga enggak dikenal. Malam itu lima orang,” ungkap Jamil.
Setelah kejadian itu, ponselnya diminta untuk dimatikan. Kemudian beberapa rekan dosen dan mahasiswa ke rumah Ni’mah untuk berjaga-jaga hingga pukul 20.00.
Klarifikasi CLS
Presiden Constitutional Law Society (CLS) UGM Aditya Halimawan menjelaskan, diskusi murni bersifat akademis tanpa ditunggangi agenda politik mana pun.
”Tidak benar makar. Kami bersifat akademis, kami tidak ditunggangi politik mana pun maupun agenda politik mana pun,” katanya.
Penggantian judul menjadi Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan, menurut Adit, dilakukan untuk meluruskan persepsi di masyarakat. Mereka mengaku adanya kesalahan dalam pemilihan diksi yang tidak sesuai Undang-Undang Dasar.
Awalnya diskusi itu berjudul Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan
Adit juga mengungkapkan, nomor WhatsApp milik narahubung diskusi yang terpampang di poster bernama Fisco diretas oleh seseorang. Nomor tersebut sempat mengirimkan pesan jika diskusi yang sedianya digelar pukul 14.00 itu dibatalkan. Padahal, saat itu panitia masih mengusahakan agar webinar via aplikasi zoom itu tetap digelar. (*)
Editor Sugeng Purwanto