PWMU.CO – Jatim belum layak buka sekolah Juli. Hal itu disampaikan Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur Dr Achmad Chusnu Romdhoni dr Sp THT-KL (K) FICS, Sabtu (30/5/20).
Dalam diskusi online yang digelar oleh Majalah Matan terkait kesiapan amal usaha dan warga Muhammadiyah menghadapi realitas baru, Dokter Dhoni—sapaan Dr Achmad Chusnu Romdhoni dr Sp THT-KL (K) FICS—menjelaskan beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan sebelum membuka sekolah.
Ia mengatakan, saat ini pemerintah sedang rame-ramenya membahas rate of transmission, yaitu kemampuan satu orang pasien Covid untuk menularkan ke orang sehat yang lain.
“Kapan itu diizinkan? Saat rate of transmission-nya kurang dari satu. Artinya, satu orang sakit tidak menularkan ke orang lain, hanya dia sendiri yang sakit,” jelasnya.
Saat ini, kata dia, rate of transmission di Jawa Timur di angka 1,3 sekian, Surabaya 1,6 sekian, Sidoarjo 1,2 sekian, dan Malang 1,1 sekian. “Itu datanya ada dari tim satgas kami,” ungkapnya.
Menurutnya, dengan melihat kondisi tersebut, untuk Jawa Timur dalam satu bulan ke depan ini masih meragukan kalau akan membuka sekolah di bulan Juli mendatang. “Kita mesti berbasis pada ilmu atau data-data epidemiologi, sehingga pada saat sekolah atau universitas dibuka, betul-betul yakin, mantab, seperti yang kita lakukan selama ini. Kita tidak asal-asalan, pasti ada dasarnya,” jelasnya.
Syarat Sekolah Boleh Dibuka di Masa Pandemi
Ia juga menyarankan untuk mempelajari jurnal-jurnal tentang acuan epidemiologi menurut WHO, kapan suatu layanan pendidikan itu bisa dibuka. Ada enam syarat, di antaranya berikut ini.
Pertama, bukti penularan Covid bisa dikendalikan. Apakah kita bisa melihat bahwa Covid itu bisa dikendalikan saat ini? Menurutnya agak berat karena di Surabaya peningkatannya sedemikian hebat.
“Kalau Surabaya saya sangat tidak merekomendasi sekali, karena hampir 59 persen pasien Covid Jawa Timur itu asalnya dari Surabaya. Jadi jangan main-main dengan Surabaya. Itu bukan lagi daerah merah, tapi hitam, saking merahnya,” tegasnya.
Kedua, kapasitas sistem layanan kesehatan termasuk rumah sakit dipastikan sanggup mendeteksi, mengisolasi, memeriksa, melacak, dan mengkarantina pasien yang berhubungan dengan Covid. “Dan itu tidak mudah,” ujarnya tegas.
Ketiga, lingkungan yang berisiko tinggi, fasilitas kesehatan, pemukiman padat. “Itu juga harus diperhatikan,” tuturnya.
Keempat, sistem kerja atau sistem pencegahan di tempat kerja dapat diukur secara pasti melalui physical distancing. Perlu diketahui juga apakah murid atau mahasiswa itu mampu physical distancing. “Kemudian fasilitas, cuci tangan, pola hidup sehat itu apa sudah disiapkan,” ujarnya.
Pentingnya Keilmuan yang Jelas, Tidak Asal
Selain itu, lanjutnya, jangan lupa dilakukan simulasi. Bagaimana simulasi untuk melakukan persiapan ke arah normal baru. “Ajaklah tim dari kesehatan untuk datang, supaya kita bisa saling koreksi. Kelasnya juga gitu, jarak antarbangku, antarmurid. Banyak sekali pertimbangannya,” kata dia.
Anggota Divisi Penelitian dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat MPKU Jawa Timur itu berpesan, kita semua hendaknya berbasis pada keilmuan yang jelas. Kalau tentang ini, kata dia, maka kita bicara epidemiologi dan kesehatan. “Kalau dari epidemiologi mengizinkan, monggo silakan membuka fasilitas pendidikannya,” tegasnya.
Demikian halnya dengan yang disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr Hidayatulloh MSi. Ia mengingatkan, kita harus sangat berhati-hati ketika memutuskan masuk atau tidak pada Juli nanti.
Ia juga antisipasi dari Korea yang gagal new normal dan akhirnya disterilisasi kembali. “Apalagi kasus Jatim ya, grafiknya masih naik terus, sehingga kita menunggu dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lebih-lebih dari Jatim karena kasus Jatim agak berbeda dengan wilayah lain,” jelasnya.
Namun ia mendukung semua sekolah yang saat ini sedang mempersiapkan berbagai hal untuk menyongsong realitas baru. Ia menegaskan, kita harus menangkap, bulan Juli bisa memulai tahun ajaran baru tetapi bukan berarti kegiatan belajar harus di sekolah. “Tidak seperti itu. Itu sangat tergantung pada perkembangan Covid yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa Timur ini,” tuturnya.
Ia menyarankan pimpinan lembaga pendidikan menunggu kebijakan Majelis Dikdasmen pusat dan wilayah. “Tentu harus mendapat persetujuan dari pimpinan persyarikatan melalui Majelis Kesehatan dan MCCC,” ujarnya.
Sesuai data yang dirilis infocovid19.jatmprov.go.id sampai Ahad (31/5/2020) pasien terkonfirmai positif 4.600 orang. Rinciannya: 19 dalam konfirmas, 609 sembuh, 3.576 dirawat, dan 396 meninggal.
Sementara pasien dalam pengawasan (PDP) 6.595 dan orang dalam pegawasan (ODP) 24.190.
Yang Perlu Disiapkan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah
Hidayatulloh menjelaskan, ada delapan hal yang kini tengah ia siapkan menyongsong tahun ajaran baru 2020/2021. Pertama, melakukan analisis dampak Covid-19. Termasuk dampak terhadap kesehatan dan ekonomi, yang berakibat kebijakan di bidang keuangan.
Kedua, rasionalisasi rencana pendapatan dan belanja serta penetapan program prioritas. Ketiga, penguatan sumber daya manusia yang adaptif terhadap teknologi nformasi. Keempat, penguatan sistem informasi manajemen yang terintegrasi.
Kaitannya dengan ikhtiar menyongsong kenormalan baru, ia menyiapkan langkah kelima, yaitu sarana prasarana dan penerapan protokol kesehatan, sejak mahasiswa datang, belajar di kampus, dan pulang. Keenam, pengembangan pembelajaran online dan offline
Hidayatulloh menyadari di masa depan tidak mungkin dapat berkembang sendiri, karena itu pihaknya akan meengembangan kerja sama antar perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah sebagai langkah ketujuh. Lebih-lebih berkaitan dengan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk mempercepat penyiapan konten mata kuliah.
Kedelapan, meneruskan kebijakan Kemendikbud untuk merancang pengembangan kampus merdeka. Dalam kaitan dengan PJJ itu, ia berencana akan membuka pendaftaran mahasiswa baru untuk kelas online seratus persen. Hal itu untuk memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa dari berbagai daerah yang tidak mungkin datang ke kampus karena kesibukannya.
Penyiapan sarana prasarana dan perumusan protokol kesehatan di sekolah sedetail mungkin juga dilakukan beberapa sekolah. Seperti dilaporkan Kepala SMK Muhamamdiyah 7 Gondanglegi Malang H Pahri SAg MM, Kepala Smamda Sidoarjo Wigatiningsih MPd, dan Kepala Smamda Surabaya Astajab SPd MM.
Bahkan protokol saat siswa istirahat, jadwal masuk sekolah, hingga desain pembelajaran dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring) juga tengah dirancang.
Kesiapan Amal Usaha Pendidikan Muhammadiyah Jawa Timur
Sekeretaris Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Phonny Aditiawan Mulyana MM menyebutkan, ada beberapa unsur yang harus dilihat bersama terkait kesiapan amal usaha Muhammadiyah (AUM) pendidikan.
Di Jawa Timur, kata dia, AUM pendidikan yang besar berkisar 20 persen dari 1009 sekolah/madrasah yang ada. Ia mengatakan, dari AUM besar sampai menengah yang jumlahnya 20 persen itu, ada beberapa indikator kesiapan sekolah meyambut realitas atau kenormalan baru.
Misalnya, sukses PPDB, rekayasa daring dan luring, atau biasa disebut blended learning. Ia mencontohkan SMK Muhammadiyah 7 Gondanglegi Malang yang telah berhasil melakukan rekayasa pembelajaran offline, dengan menggunakan sistem blok.
Menurutnya, salah satu yang menarik di masa pandemi ini, beberapa AUM selain siap juga bisa mengambil peluang. “SMK Muhammadiyah 7 Gondanglegi ini memanfaatkan kondisi pandemi sebagai income generator baru dalam hal penyediaan alat-alat ramah lingkungan,” ujarnya.
Termasuk penyusunan protokol, Phonny mengaku telah menerima transkrip dari SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, walaupun mungkin masih ada koreksi dari MCCC atau MPKU. “Dan filantropi juga sudah dilakukan oleh beberapa sekolah kita,” ungkapnya.
Pentingnya Sharing Materi Pembelajaran Daring
Hal penting yang belum adalah saling sharing sumber daya, terutama materi pembelajaran daring. Ia mengatakan, belum semua sekolah Muhammadiyah mampu membuat materi pembelajaran daring sendiri dengab bagus dan layak. “Kalau misalnya ini di-share di Jatim, akan menjadi modal kita memperkuat kesiapan menghadapi new normal,” kata dia.
Penyesuaian RAPBS dengan semangat efisiensi, lanjutnya, juga menjadi salah satu indikator yang menunjukkan kesiapan sekolah kita. Menurutnya, di balik kesiapan sekolah, ada juga kesiapan pihak lain yang harus kita lihat.
Ia menjelaskan, masih banyak wali siswa yang belum siap. Di skala nasional, bahkan ada petisi juga yang digalang. Selain itu, sambungnya, kesiapan dari unsur pemerintah juga penting. Apakah sudah ada dukungan finansial yang clear dari pemerintah, terutama sekolah swasta karena banyak terdengar jeritannya.
Hingga saat ini, kata Phonny, pemerintah juga belum mempunyai panduan atau kebijakan untuk tahun ajaran baru yang sudah fix, termasuk protokol dari Kemdikbud yang belum sampai ke tahap operasional. “Sehingga hal ini juga menambah hal-hal yang perlu kita analisa kalau kita berbicara kesiapan AUM Dikdasmen Jatim,” ujarnya.
Sementara itu, AUM kecil yang berjumlah sekitar 80 persen ini, kata dia, juga perlu perhatian khusus. Dalam kondisi normal saja, sambungnya, mereka kesulitan, apalagi kondisi normal baru nanti.
Ia mengaku memang selama ini ada program filantropi dari sekolah besar untuk sekolah kecil. Namun pihaknya tidak tahu sejauh mana filantropi cukup membantu dan sejauh mana sekolah besar mempunyai cukup nafas untuk terus melakukan filantropi. “Bantuan keuangan lain mungkin dari persyarikatan atau pemerintah,” ujarnya.
Menurutnya, satu hal yang mungkin agak radikal adalah sekolah yang nanti di ujung pandemi ternyata gagal terselamatkan. “Mungkin ada opsi merger di tingkat internal daerah atau akuisisi lintas daerah AUM yang ingin kita selamatkan,” tuturnya. (*)
Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.