Mabrur tanpa Berhaji di Tengah Covid-19 ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO, anggota jamaah haji Indonesia tahun 2017.
PWMU.CO – Sebanyak 221 ribu calon jamaah haji Indonesia gagal berangkat tahun ini. Pemerintah Indonesia secara resmi telah mengumumkan pembatalan itu, Selasa (2/6/2020).
Mungkin tidak hanya jamaah asal Indonesia yang tak jadi menunaikan rukun Islam kelima itu. Jamaah dari negara lain juga akan mengalami hal yang sama.
Pandemi Covid-19 yang belum kunjung mereda, membuat Pemerintah Arab Saudi tak memberi sinyal kuat akan diselenggarakannya haji tahun ini. Padahal waktu semakin mepet.
Atau mungkin khadimul haramain—pelayan dua Tanah Suci: Makah dan Madinah—itu memang tidak akan menggelar haji? Mengingat potensi risiko penularan Covid-19 yang sangat tinggi saat terjadi kerumunan.
Bisa juga haji tetap diselenggarakan tapi dengan peserta yang terbatas: hanya untuk jamaah dalam negeri. Bahkan bisa jadi sangat terbatas: untuk kalangan tertentu saja. Seperti jamaah Jumat di Masjid al-Haram: hanya kalangan imam dan pengurus masjid. Waalhua’lam. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada tanda-tanda dibukanya ibadah haji.
Esensi di Balik Ritual Haji
Haji, juga ibadah lain dalam Islam, tidak bisa dipisahkan dari dua dimensi: simbolis dan filosofis. Ihram, miqat, thawaf, sai, tahalul, mabid, wukuf, atau lempar jumrah adalah simbol atau ritual dalam haji.
Sebagai simbol, tentu gerakan-gerakan tapak tilas keluarga Nabi Ibrahim—yang kemudian dipraktikkan Nabi Muhammad sebagai bagian syariat Islam—itu mengandung makna atau filosofi.
Makna dari simbol-simbol haji itu misalnya bisa dibaca dari buku Ali Syariati berjudul Haji yang dengan apik menjelaskan filosofi gerakan-gerakan haji.
Intinya, haji—seperti juga ibadah lain—adalah ekspresi dan manifestasi tauhid. Yakni menomorsatukan Allah. Haji adalah gerak dan langkah menuju Allah dengan meninggalkan segala atribut dunia. Maka, ketika Tuhan sudah memanggil, tidak lain jawabannya adalah labbaika allahumma labbaik: kami datang kepada-Mu ya Allah, kami datang kepada-Mu.
Jamaah haji yang berhasil menemukan esensi di balik ritual itulah yang mendapat gelar haji mabrur. Dalam hadits riwayat at-Tabrani dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda, “Haji mabrur itu tidak lain balasannya adalah surga.”
Kemudian Nabi SAW ditanya tentang kebaikan (al-birru) dalam haji. Beliau menjawab, it’amut tha’am (memberi makan), ifsya’us salam (menebarkan kedamaian), dan thayyibul kalam (bagusnya perkataan).
Dalam hadits yang di-hasan-kan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani itu dijelaskan ciri tiga haji mabrur. Ketiganya berisi pesan sosial bahwa manusia harus berbuat baik dan bermanfaat bagi sesama.
Gagal Haji dapat Mabrur
Calon jamaah haji Indonesia yang gagal berangkat memang tidak akan bisa melakukan ritual haji tahun ini. Sebab haji adalah satu-satunya ibadah yang waktu dan tempatnya ditentukan. Tak dapat digantikan di bulan dan tempat lain.
Tetapi gagal berangkat haji tahun ini bukan berarti tidak boleh mengambil makna di balik ritual haji. Di beberapa kisah disebutkan, orang-orang yang gagal berangkat haji karena ongkosnya digunakan untuk menolong orang lain yang lebih membutuhkan.
Seperti kisah Muwaffaq yang gagal berhaji tapi menemukan hakikat haji. Alkisah selama lebih dari 40 tahun, Muwaffaq berkeinginan berangkat haji. Karenanya, dia pun mengumpulkan uang untuk ongkos nak haji. Jumlahnya sekitar 350 dirham dari hasil berdagang sepatu.
Saat musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut.
Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu menceritakan kisahnya. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.
Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya. Dia mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya.
Kisah itu dicertakan Muwaffaq kepada Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), seorang ulama asal Marwaz, Khurasan, mendambakan dua hal dalam hal ibadah, yakni haji dan jihad.
Dan, itu ia laksanakan secara bergantian setiap tahun. Tahun ini berjihad, tahun depan berhaji, betapa pun sulitnya.
Dikisahkan, saat itu, Ibnu Mubarok berkeinginan pergi haji. Untuk itu, ia bekerja keras mengumpulkan uang. Dan ketika terkumpul, ia pun melaksanakan niatnya, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Ketika sudah selesai mengerjakan berbagai tahapan ibadah haji, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan.
“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya.
“Tapi, tak satu pun diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan berkat dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua.
Ketika Ibnu Mubarok mendengar percakapan malaikat itu, terbangunlah ia. Ia pun berkeinginan mengunjungi Muwaffaq yang tinggal di Damsyik. Ia telusuri kediamannya dan kemudian menemukannya.
Ibnu Mubarok lalu memberi salam kepadanya. Ia menyampaikan mimpi yang didapatnya. Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan. Dan setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar dia menceritakan pengalaman ‘berhajinya’.
Dalam versi lain Ibnu Mubarok langsung menemui orang yang kepalaran dan memasak bangkai ayam, seperti kisah yang disadur Ibnu Katsir tanpa sanad dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah.
Terlepas shahih tidaknya kisah di atas, ada pelajaran yang bisa diambil. Muwaffaq tidak jadi berangkat haji. Tapi ia mendapatkan kemabruran haji. Menurut bahasa, al-mabrur adalah isim maf’ul (objek) dari akar kata al-birru yang bermakna kebaikan. Jadi al-hajjul mabruru artinya haji yang diberi kebaikan.
Jadi haji mabrur adalah haji yang diterima Allah dan memiliki dampak kebaikan, baik pada diri sendiri maupun untuk orang lain.
Dan membebaskan kelaparan—dalam makna luas: peduli pada kesusahan orang lain—adalah ciri haji mabrur, sebagaimana dijelaskan Nabi SAW.
Mabrur di Tengah Covid-19
Di tengah pandemi Covid-19 ini, banyak lahan ‘kemabruran’ yang bisa diraih oleh para calon jamaah haji. Biaya serba-serbi haji yang biasanya lebih besar dari ongkos naik haji itu sendiri, bisa digunakan untuk membantu mereka yang terdampak krisis ini.
Para pekerja yang di-PHK atau dirumahkan; pekerja di sektor informal: tukang bakso keliling, tahu tek, penjual sandal keliling; dan sebagainya. Juga ojek pangkalan dan online. Pengusaha kecil yang kesulitan cash flow atau bahkan sudah bangkrut. Atau siapa saja yang mengalami kesusahan akibat Covid-19.
Tidak hanya membebaskan kelaparan (it’amut tha’am) lahan kemabruran juga ada di sektor kesehatan. Banyak tenaga medis yang terpapar Virus Corona, di antaranya ditengarahi karena minimnya APD. Mereka juga perlu mendapat sentuhan kemabruran.
Bukan hanya APD alias alat pelindung diri atau support material lainnya, para tenaga medis juga perlu sokongan lain. Mereka sering bilang: “Biarkan kami bekerja menangani pasien Covid-19, tapi bantu kami agar tak lagi ada yang masuk rumah sakit.”
Mereka sudah berjibaku menyelamatkan nyawa dengan segala keterbatasan. Lelah dan capek pasti. Bahkan puluhan nyawa telah melayang. Karena itu jangan tambah mereka dengan pasien baru yang seringkali terinfeksi akibat ketidakdisiplinan kita.
Artinya 221 ribu calon jamaah haji bisa menjadi teladan dan penggerak masyarakat agar menjaga diri dari risiko penularan. Seperti anjuran memakai masker, jaga jarak, sering cuci tangan pakai sabun, dan tidak keluar rumah jika tidak penting banget.
Anjuran bekerja, belajar, dan beribadah di rumah tetap sangat relevan melihat grafik penderita Covid-19 yang masih tinggi. New normal yang dikampanyekan secara prematur oleh pemerintah bisa disikapi calon jamaah haji dengan bijaksana.
Karena kehati-hatian itu sejalan dengan semangat pembatalan keberangkatan haji tahun ini: menjaga keselamatan jiwa. Sedangkan menyelamatkan nyawa adalah ciri haji mabrur yang kedua: ifsya’us salam (menebarkan kedamaian atau keselamatan).
Calon jamaah haji juga bisa menyelami ciri kemabruran ketiga: thayyibul kalam (bagusnya perkataan). Berkata baik, memberi nasihat yang baik. Jangan sebaliknya menjadi penyebar hoax di media sosial. Sebab di tengah pandemi Covid-19, bertebaran di muka dunia maya berita-berita yang tidak benar.
Tentu, tidak hanya 221 ribu calon jamaah haji gagal berangkat itu yang boleh mengambil semangat kemabruran. Kita, saya dan Anda, tidak dilarang menjadi mabrur sebelum atau tanpa haji.
Semoga pandemi Covid-19 segera berlalu. Dan kita bisa menjalankan ibadah haji secara sempurna: melakukan ritualnya di Tanah Suci dan mendapatkan esensi kemabrurannya.
Sebab, sekali lagi ibadah itu selalu mengandung dua dimensi: simbolik dan filosofis. Kehilangan satu dari dua dimensi itu menyebabkan ketimpangan. Tanpa simbol, sulit mengukur eksistensi dan identitas suatu ibadah. Dan sebaliknya, tanpa makna, ibadah bagaikan kulit tanpa isi.
Semoga tulisan Mabrur tanpa Berhaji di Tengah Covid-19 ini bermanfaat!
(*)