Din Syamsuddin: Waspadai Kebangkitan Komunisme. Gejalanya sudah ada. Maka perlu dilakukan langkah-langkah untuk mencegahnya.
PWMU.CO – Apakah komunisme bisa bangkit? Apakah komunisme sebagai paham dan ideologi bisa dibungkam atau dihilangkan?
Demikian pertanyaan Prof Din Syamsuddin MA mengawali Forum Group Discussion (FGD) Online Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) bertema Ancaman Kebangkitan Komunisme dan Arogansi Oligarki Dibalik RUU Haluan Ideologi Pancasila, Sabtu (6/6/20).
Apakah Komunisme Bisa Bangkit?
Din menyatakan, topik yang diangkat tentang kebangkitan komunisme dan oligarki politik terkait dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sangat penting dan relevan untuk dibicarakan.
“Maka melalui pembacaan, pemahaman, dan pengamatan saya, pertanyaan yang diajukan adalah apakah komunisme bangkit, bisa bangkit, dan mungkin bangkit? Saya memberikan jawaban yang positif dan definitif,” ujar Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 tersebut.
Menurut Din, karena komunisme sebagai isme (paham), apalagi dari pendukungnya juga sering disebut sebagai ideologi. “Maka isme dan ideologi, walaupun berbeda tetapi ada titik temu. Yaitu sesuatu yang hadir dalam pikiran manusia. Apalagi tidak sekadar pikiran, tapi merasuk dalam kesadaran,” paparnya.
Maka, lanjutnya, ideologi dalam kamus bahasa Inggris sering disebut a set of ideas and beliefs. Yaitu seperangkat ide-ide dan keyakinan. “Nah, hal yang demikian. Ide, isme, dan ideologi itu tidak mudah untuk dibunuh, dibungkam, atau dihilangkan. Dia akan tumbuh dan tumbuh. Terutama dari generasi ke generasi,” jelas Din.
Dan apalagi, menurut Din, jika dalam perjalanan sejarah ideologi tersebut mengalami suatu kefatalan atraksi. Terutama ketika mereka memberontak, melakukan kudeta, umpamanya. Dan kemudian terkalahkan, terbasmikan, terberantaskan.
“Maka secara psikologis sangat mungkin beralih pada generasi penerus, anak, dan cucu, yang kemudian menyimpan dendam. Lalu melakukan upaya-upaya untuk balas dendam,” ungkap Din.
Dalam taraf inilah, kata Din, semua patut mewaspadai setiap ideologi yang sesungguhnya. Seperti komunisme dan lain-lainnya. “Yang bertentangan dengan agama serta nilai-nilai dasar ke-Indonesiaan kita: Pancasila dan UUD 1945. Kita tidak boleh lengah,” ujarnya.
Din menilai, akhir-akhir ini banyak narasi yang datang dari cendekiawan, tak terkecuali dari cendekiawan Muslim. Mereka memberikan argumen ‘Tidak mungkin komunisme akan bangkit’. ‘Tidak mungkin PKI akan bangkit’. ‘PKI dan komunisme sudah mati’.
“Argumen-argumen semacam itu, walaupun saya tahu argumen itu justru dihembus-hembuskan oleh para pendukung komunisme dan PKI, dalam rangka meninabobokan kita dan membuat kita lengah,” ungkapnya.
Ekonomi Cina Kapitalistik
Din menganggap, jika dikaitkan dengan eksistensi negara di dunia, yang pernah atau masih menganut paham komunisme—karena memang ideologi akan mudah tersebar jika ada dukungan politik negara—seperti Uni Soviet (kini negara federasi Rusia) dan RRC, memang saat ini tidak jelas dan tidak kentara lagi komunisme dalam bidang sosial, ekonomi, hingga politik. “Walaupun tidak habis semuanya dan masih ada sisa-sisanya,” ungkapnya.
Sementara Cina, lanjut Din, yang dulu dikenal dengan poros Jakarta-Beijing-Moskow memang akhir-akhir ini juga mengalami perubahan.
“Dua kali bertemu dengan seorang pejabat tinggi di Cina, dia mengaku jika Cina sekarang mengalami perubahan. Ekonomi Cina itu sekarang kapitalistik bukan lagi sosialistik, tetapi disebut free market economy with Chinese characteristic. Atau ekonomi pasar bebas atau kapitalisme dengan watak-watak ke-Cina-an,” tutur Din.
Maka, terang Din, kebangkitan bisa bukan PKI sebagai partai atau komunisme sebagai ideologi an sich. “Tidak mungkin karena kita punya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Walaupun di RUU HIP tidak dijadikan konsideran. Kalau TAP tersebut tidak dimasukkan, maka patut dicurigai ini. Ada udang di balik batu,” paparnya.
Gejala Kebangkitan?
Sebagai akademisi, Din membaca ada gejala-gejala dari anak cucu PKI sangat mungkin untuk bangkit. Jika didaftar sudah luar biasa. Sudah kumpul dan rapat berkali-kali bahkan dengan modus halal bi halal.
“Ada penggunaan lambang-lambang dan penerbitan buku secara terus terang. Dan ada upaya seperti di Wikipedia, yaitu ingin memutarbalikkan sejarah atau membalikkan fakta. Dan banyak lagi gelagat lain yang merupakan sesuatu yang riil,” jelasnya.
Maka, kata dia, perlu dilakukan langkah-langkah untuk mencegahnya. “Pertama kita harus tegas, baik pemerintah maupun masyarakat untuk menolak gejala dan gelagat tersebut. Karena itu bertentangan dengan keputusan kenegaraan kita. Kedua, kita meyakini, jika itu dibiarkan, maka suatu waktu tidak mustahil negara Pancasila akan terancam,” tutur Din.
Menurut Din, ancaman negara komunis tidak hanya untuk kalangan Islam dan umat Islam, walaupun dari umat Islam banyak yang menjadi korban, baik tahun 1948 maupun 1965.
“Umat Islam tidak memendam sejarah, wal afina aninnas, kita maafkan tapi tidak kita lupakan. Tapi jangan kemudian mau bangkit lagi, ini mengusik dan membangunkan macan tidur. Apalagi jika negara, aparat keamanan, dan pemerintah tidak melakukan apa-apa. Ini akan mengganggu kedamaian kehidupan kita bersama,” terang Din.
Sistem Politik Anti-Demokrasi
Din juga menilai, politik kita hari ini bertentangan dengan sila keempat Pancasila itu sendiri. Melihat dunia kepartaian yang dikuasai oligarki yang sebenarnya antidemokrasi.
Tidak terjadi demokrasi di dunia politik Indonesia. Karena aktor-aktor dalam partai politik tidak mengalami demokrasi di dalam dirinya. Karena yang menentukan itu paling satu-dua elitenya, tidak banyak orang.
“Maka ini sistem antidemokrasi. TIdak mungkin ada demokrasi di Indonesia, jika tidak ada demokrasi dalam partai-partai politik. Inilah yang menjadi kekurangan demokrasi Indonesia yang membuat demokrasi kita mengalami kebangkrutan,” jelas Din.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Din, penguasaan segelentir orang (oligarki) kemudian berselingkuh dengan kleptokrasi. Kleptokrasi itu kejahatan atau penjahat dalam kehidupan penyelenggaraan negara.
“Muncullah kleptokrat-kleptokrat, baik di eksekutif maupun legislatif. Yang posisi politiknya itu dimanfaatkan selain untuk melanggengkan kekuasaan politik, tapi juga untuk mengakumulasi aset ekonomis dan finansial,” ujarnya.
Din menilai, kalau terjadi kleptokrasi dan oligarki, apalagi keduanya bersatu, maka akan menjadi sempurnalah kerusakan kedaulatan di negeri ini. “Sehingga Pancasila dan Trisakti Bung Karno yang saya kagumi dan setujui, yaitu kedaulatan berpolitik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam budaya itu nyaris menjadi lips service, terlalu banyak dikatakan, tapi tidak diamalkan,” lanjutnya.
Gelagat dan gejala terakhir ini sudah semakin menjadi. Ketika produk hukum dan perundang-undangan atas nama konstitusi, tapi sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi. Inilah yang membuat bangsa tersandera dengan dirinya sendiri.
“Maka inilah yang akan membawa bangsa dan negara ini akan mengalami keruntuhan jika jauh dari nilai-nilai dasar, berupaya menjadi kediktatoran institusional yang berpura-pura dan bersemayam di balik konstitusi,” jelasnya. (*)
Din Syamsuddin: Waspadai Kebangkitan Komunisme. Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.