Pilkada 2020 dan Bayangan Korban Jiwa oleh M. Ibnu Rizal, Wakil Sekretaris Bidang Media dan Informasi PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Malang.
PWMU.CO-Pilkada 2020 dibayangi rasa khawatir jatuhnya korban nyawa melayang seperti Pemilu 2019 yang merenggut 554 nyawa dan 3.778 orang jatuh sakit karena kelelahan.
Tahun ini Pemilu dilaksanakan di tengah ancaman wabah corona. Sementara protokol kesehatan banyak dilanggar. PSBB tak efektif berjalan, pemerintah buru-buru berlakukan new normal. Alasannya agar ekonomi berjalan dengan mengabaikan kesehatan masyarakat.
Awalnya Pilkada akan digelar 23 September 2020 di 270 daerah. Karena wabah akhirnya dimundurkan pada 9 Desember 2020. Memundurkan Pilkada pernah terjadi tahun 2005 di Aceh karena tsunami dan tahun 2006 di Yogyakarta karena gempa bumi.
Pertanyaannya, apakah Pilkada 2020 akan berjalan aman-aman saja tanpa korban? Meskipun ditetapkan jumlah pemilih di TPS maksimal 500 dan dilaksanakan mematuhi protokol kesehatan, melihat praktik PSBB selama ini bisakah berjalan sesuai harapan?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya menawarkan tiga opsi penundaan Pilkada serentak. Opsi pertama, ditunda selama tiga bulan (9 Desember 2020). Opsi kedua, ditunda selama enam bulan (17 Maret 2021). Opsi ketiga, pilkada ditunda selama 12 bulan (29 September 2021). Tapi pemerintah, DPR dan lembaga penyelenggara pemilu sepakat Pikada 2020 akan digelar pada 9 Desember.
Alasan kuat Pilkada serentak tetap digelar tahun ini menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian lantaran tidak ada jaminan pandemi Covid-19 akan selesai di tahun 2021. Selain itu urgensi pertanggungjawaban kepemimpinan dan keteraturan pergantian kepemimpinan.
Penolakan tanggal itu diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan melayangkan surat DPD RI No PU.04/1097/DPDRI/VI/2020. Alasannya melihat keselamatan masyarakat di tengah Covid-19 dengan mengacu pada doktrin salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Opsi Pilkada lewat DPRD
Memori Pemilu 2019 yang menyebabkan kematian kini berdampak pada kesulitan mencari anggota PPS dan KPPS. Sampai-sampai jadwal pendaftaran PPS diperpanjang. Rakyat enggan jadi relawan PPS. Honor tak seberapa tapi korban nyawa.
Perubahan jadwal Pilkada serentak 9 Desember 2020 ternyata berpengaruh pada pembengkakan anggaran. Sebelumnya Pilkada 2020 di 270 daerah butuh dana Rp 14 triliun. Saat tahapan pilkada dihentikan pada akhir Maret lalu, sudah terpakai Rp 5 triliun.
Meskipun sisa dana Rp 9 triliun belum terpakai, KPU mengajukan tambahan anggaran antara Rp 4,5 triliun hingga Rp 5,6 triliun untuk membeli peralatan sesuai protokol kesehatan.
Ini makin menunjukkan demokrasi pemilihan langsung sangat berbiaya mahal. Padahal sejak covid-19 melanda tanah air, pendapatan negara menurun. Anggaran pengendalian wabah dan dampaknya pun belum terpenuhi semua. Pemerinth menutupnya dengan utang.
Mempertimbangkan hal itu KPU mestinya berani mulai uji coba pelaksanaan Pemilu secara online yang tak membuat orang berkerumun dan hasilnya cepat. Pilkada 2020 terlalu riskan munculnya klaster covid baru.
Jika tidak memungkinkan Pilkada online maka pilihan paling gampang Pilkada bisa dikembalikan lewat DPRD. Kalau terjadi praktik money politics lebih gampang mendeteksinya karena jumlah anggota DPRD yang terbatas. Dengan syarat Panwas dan aparat hukum ada niat untuk mengawasi.
Praktik pemilihan umum langsung ternyata sudah menciptakan budaya suap di semua lini mulai pemilih, KPPS, PPS, PPK, hingga KPU. Kalau demokrasi sama-sama buruknya, kenapa tidak pilih yang murah saja. (*)
Editor Sugeng Purwanto