Kiai Hadjid ‘Kekalkan’ Pendiri Muhammadiyah ditulis oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dakwah yang produktif menulis.
PWMU.CO – “Menulislah, maka engkau akan kekal!” Demikian, salah satu kalimat berhikmah yang tak terbantahkan. Terkait ini, meski KH Ahmad Dahlan tak menulis sendiri, tapi lewat buku karya KRH Hadjid kita bisa merasakan dua hal.
Pertama, dapat mengikuti pokok-pokok pemikiran pendiri Muhammadiyah. Kedua, insyaallah buku itu akan diperlukan sampai kapan pun dan dengan demikian Ahmad Dahlan menjadi “kekal”. Maka menarik, siapa KRH Hadjid? Apa saja jejaknya—terutama—di Muhammadiyah?
Makna Penting Buku KRH Hadjid
Rasanya, sampai kapan pun nama KRH Hadjid tak akan pernah dilupakan oleh, terutama, warga Muhammadiyah. Hal ini, karena di antara berbagai jejak amal shalih-nya adalah berupa buku yang berjudul Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an”.
Buku itu sangat penting, meski terhitung mungil. Benar, mungil, sebab berukuran 12,5 X 17,5 cm. Sementara rata-rata buku berukuran 14 X 21 cm. Adapun isinya, 185 halaman.
Setidaknya, ada tiga alasan mengapa buku kecil ini begitu penting. Pertama, isi buku Hadjid itu diakui oleh Pimpnan Pusat (PP) Muhammadiyah sebagai warisan intelektual KHA Dahlan.
Pengakuan ini tentu menarik sebab, “Kiai Dahlan memang tidak meninggalkan karya-karya tertulis untuk mengembangkan gerakan Muhammadiyah,” tulis Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah di kata pengantar buku Hadjid tersebut.
Kedua, masih kata MPI PP-Muhammadiyah, isi buku itu adalah “Intisari dari apa yang berkecamuk dalam pikiran-pikiran KH Ahmad Dahlan sehingga menggerakkannya bersama santri-santri—kawan-kawan dekatnya— mendirikan Muhammadiyah”.
Ketiga, lewat isi buku tersebut—terlebih di bagian “17 Kelompok Ayat Al-Quan” kita menjadi tahu bagaimana Paham KH Ahmad Dahlan dalam menafsirkan ayat-ayat itu dan bagaimana pula saat dipraktikkan. “Singkat kata,” tulis Hadjid, “Kesemua itu hendaknya menjadi pegangan pokok pewaris-pewaris Muhammadiyah.” (Hadjid, 2013: 4).
Sosok KRH Hadjid
Siapa KRH Hadjid? Hadjid lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 20/08/1898. Dia putra pertama dari pasangan RH Djaelani dan R Ngt Muhsinah. Sang ayah adalah salah seorang penandatangan akta pendirian Muhammadiyah pada 1912. Juga, anggota Hoofdbestuur ( HB)—kini PP Muhammadiyah—periode pertama. Sementara, sang ibu bernama R Nganten Muhsinah.
Pendidikan formalnya, sekolah dasar 1903 – 1909. Kemudian, bersama sang ayah ke Mekkah berhaji dan menuntut ilmu. Di Mekkah, belajar kepada ulama-ulama besar seperti Kiai Fakih, Kiai Humam, dan Kiai Al-Misri.
Setahun di Mekkah, lalu pulang ke Yogyakarta dengan keilmuan yang bertambah. Namun, merasa kurang, dia melanjutkan pendidikan di Pesantren Jamsaren Surakarta. Di sini Hadjid memerdalam ilmu tajwid, qira’at, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, dan lain-lain. Setelah di Jamsaren, lanjut ke Pesantren Tremas. Selepas itu, belajar di Madrasah Tinggi Al-Atas Jakarta.
Saat berusia 20 tahun, Hadjid menikahi Siti Wasilah binti RH Ahyat, pada 19 Januari 1918. Si istri murid perempuan pertama di Sekolah Qismul Arqa’ yang didirikan Kiai Dahlan. Sekolah itu, cikal bakal dari Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah – Yogyakarta.
Ada keistimewaan lain di diri Siti Wasilah. Dia memiliki catatan lengkap ajaran KH Ahmad Dahlan. Belakangan, Siti Wasilah dipilih menjadi Ketua pertama Siswo Proyo, yang kemudian menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah.
Hadjid belajar keorganisasian kepada KH Ahmad Dahlan. Saat berguru ke Dahlan itu, Hadjid diangkat sebagai guru di Standaard School Muhammadiyah dan HIS Muhammadiyah.
Pada 1921 sampai 1924, Hadjid menjadi guru agama pada Kweekschool Muhammadiyah. Pada 1924-1941, Hadjid menjadi Kepala Madrasah Mu’allimiin Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian, pada masa penjajahan Jepang, dia mendapatkan amanah di—dalam bahasa Indonesia—Kantor Lembaga Agama di Yogyakarta, 1942-1945.
Pada 1945-1946, Hadjid dipercaya menjabat Wakil Kepala Jawatan Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian, menjadi dosen Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII), pada 1946-1947. Hal penting, di saat pembukaan Sekolah Tinggi Islam itu pada 10 April 1946—yang antara lain dihadiri Presiden Soekarno—Hadjid berkesempatan memberikan kuliah umum tentang ilmu tauhid.
Singanya Muhammadiyah
Di internal Muhammadiyah, Hadjid berjuluk “Singanya Muhammadiyah”. Hal ini, mengacu kepada performa dia yang ketika berpidato, berapi-api.
Hadjid menyukai tulis-menulis. Kegemarannya itu disalurkan lewat majalah-majalah Islam yang terbit di zamannya. Di Suara Muhammadiyah, tercatat pernah menjadi anggota redaksi.
Hadjid memiliki pemahaman luas tentang Islam, antara lain sebagai buah dari belajar langsung kepada KH Ahmad Dahlan. “Tahun 1916 saya masuk perkumpulan Muhammadiyah. Pada waktu itu umur saya 19 tahun,” jelas Hadjid.
“Kemudian,” lanjut Hadjid, “Saya berguru, berteman dengan Kiai Ahmad Dahlan …. hingga beliau wafat pada tahun 1923.” (Hadjid, 2013: 2). Artinya, sekitar tujuh tahun Hadjid berguru langsung kepada KH Ahmad Dahlan.
Dengan berguru langsung kepada KH Ahmad Dahlan, dia merasa menemukan sesuatu yang baru dan dalam, baik terkait penghayatan agama maupun pengamalannya. Dia beruntung bertemu dan berguru kepada KH Ahmad Dahlan sebab hidupnya terasa tercerahkan.
Gairah menuntut ilmu yang besar mengantarkan Hadjid menjadi ulama yang disegani di Muhammadiyah. Dia murid termuda KH Ahmad Dahlan. Dia salah satu perintis Majelis Tarjih.
Ketua Penyusun Tafsir Al-Quran
Hal lain, Muhammadiyah pernah menulis tafsir pertama yang disusun Lajnah Tafsir dengan anggota KRH Hadjid, KHM Mansoer, KHA Badawi, Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Farid Makruf, KH Aslam Zainudin, dan ulama lainnya.
Tafsir ini, Tafsir Al-Qoer’an Djoez ke Satoe, merupakan tafsir yang disusun kali pertama secara kelembagaan atau kolektif di negeri ini. Saat itu KRH Hadjid ditunjuk sebagai Ketua Penyusun.
“Saya yakin dan percaya, manakala para ulama telah bersatu sehati setujuan, pastilah akan menimbulkan satu kemanfaatan dan buah yang amat sangat besarnya kepada alam Islam seluruhnya. Mereka bersatu dengan ikhlas karena Allah, mengikut perjalanan Rasulullah, mujahadah kepada Tuhan Allah, ridha mengorbankan fikiran, tenaga, harta dan rohnya kepada jalan Allah,” tulis KRH Hadjid.
KRH Hadjid berumur panjang, 79 tahun. Dia—yang wafat pada 23 Desember 1977—dikenal berani, tangguh, gigih, sabar, dan tulus. Nyaris sepanjang jejak hidupnya serba inspiratif.
Maka tak salah jika beliau adalah salah satu dari “100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi”, sebuah buku yang diterbitkan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif edisi 44 Tahun ke-XXIV, 19 Juni 2020/27 Syawal 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.