Perubahan Kurikulum Gagal Jadi Instrumen Teknokratik tulisan Prof Dr Daniel Mohammad Rosyid, ketua Pendidikan Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur dan guru besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS.
PWMU.CO-Beredar hasil Focus Group Discussion Kemendikbud tentang penyederhanaan Kurikulum-13. Untuk jenjang Sekolah Dasar yang muncul sebagai isu adalah penggantian dua Mata Pelajaran Agama, Budi Pekerti dan Pendidikan Pancasila Kewargaannegara (PPKN) menjadi satu Mata Pelajaran Agama, Kepercayaan dan Nilai-nilai Pancasila.
Meskipun hasil FGD itu belum final, asumsi perubahan kurikulum diyakini akan mengubah hasil pembelajaran. Utak-atik ini sekali lagi membuktikan bahwa persekolahan hanya menjadi formalisme Kemendikbud untuk melayani keinginan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang telah merumuskan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Padahal kurikulum sebagai resep tertulis sudah terbukti sering gagal menjadi instrumen teknokratik yang efektif untuk mengubah hasil belajar.
Dari sekian banyak faktor yang efektif mengubah hasil belajar di antaranya adalah kesiapan murid, guru dan budaya sekolah. Kurikulum hampir tidak memiliki pengaruh apapun. Selama murid tidak disiapkan di rumah oleh keluarganya, gurunya sibuk mengurusi tetek bengek administrasi, dan sertifikasi, serta bermental pegawai, dan budaya sekolahnya tidak menghargai sikap jujur, amanah, cerdas dan peduli maka nilai-nilai agama, budi pekerti, warga negara dan Pancasila hanya menemukan lahan yang kering kerontang untuk tumbuh dalam pribadi murid.
Fokus pendidikan dasar adalah pengembangan kompetensi dasar sebagai warga yang sehat, bertanggungjawab dan mandiri belajar. Kompetensi ini hanya bisa dikembangkan melalui pengalaman nyata sehari-hari yang diteladankan oleh orangtua, guru dan masyarakat. Tidak melalui tatap muka di kelas berjam-jam.
Keterampilan berkomunikasi dengan bahasa lokal (daerah) sama pentingnya dengan keterampilan berbahasa Indonesia. Bukan bahasa Inggris. Untuk siswa muslim, pengenalan bahasa al-Quran justru penting. Anak adalah quick learner of languages.
Bagi murid muslim, kekurangan pembelajaran agama bisa dikompensasi dengan kegiatan di masjid dekat rumah. Penting untuk dipahami bahwa dominasi sekolah dalam pendidikan di Indonesia selama ini adalah praktik yang keliru jika tidak bisa disebut menyesatkan.
Keluarga perlu bangkit mengambil peran pendidikan yang lebih besar seperti telah terjadi selama pandemi ini. Kemendikbud tidak perlu dan tidak bisa bersikap jumawa dengan meremehkan peran keluarga. It takes a village to raise a child. (*)
Editor Sugeng Purwanto