PWMU.CO – Peristiwa dialog antara Nabi Ibrahim dan putranya Ismail menjelang peristiwa pengurbanan, menjadi contoh bagaimana etika demokrasi dibangun. Bangsa Indonesia perlu mencontohnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Nadjib Hamid kepada pwmu.co, Ahad (11/9), dalam percakapan menyambut perayaan Idul Adha 1437 yang akan dilaksanakan oleh umat Islam, Senin (12/9) besok.
(Baca: Kemesraan Hamba dan Tuhan dalam Hakikat Kurban dan Untuk Apa Saldo Kas Masjid Ratusan Juta jika Jamaahnya Melarat)
Nadjib mengatakan, demokrasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan, sejatinya bukanlah sekedar menang-menangan karena banyaknya dukungan. “Demokrasi mensyaratkan adanya dialog atau tukar pikiran. Berbagai pihak yang terlibat harus diposisikan sepadan saat proses pengambilan keputusan, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Itulah yang dilakukan Nabi Ibrahim pada anaknya, Ismail.”
Kitab Suci mencatat, sebelum Nabi Ibrahim menjalankan perintah Tuhan, terlebih dulu ia mengajak dialog dan memberi kesempatan kepada Ismail sebagai calon korban, untuk memikirkan secara matang. Hal itu tergambar dalam dialog yang terekam dalam Surat As-Shafat ayat 102, “… Hai anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Coba pikirkan, bagaimana pendapatmu? Ismail pun menjawab: Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
(Baca juga: 6 Adab Menyembelih Hewan Kurban dan Inilah Tata Cara Penyembelihan Hewan Kurban yang Syar’i dan Sehat)
“Dari ayat tersebut jelas tergambar, Nabi Ibrahim yang sebenarnya punya otoritas mutlak untuk langsung mengeksekusi tidak lantas bertindak semena-mena. Tapi tetap menempuh pendekatan dialogis dan persuasif agar pascaeksekusi tidak ada yang merasa dirugikan,” jelas Wakil Ketua Forum Kerukuan Umat Beragama (FKUB) Jatim ini.
Etika berdemokrasi seperti inilah, kata Nadjib, yang diharapkan dapat dipraktikkan di negara kita, di mana masyarakatnya memiliki keragaman budaya, suku dan agama, termasuk keragaman paham keagamaannya.
(Baca juga: Uji Keshahihan Hadits tentang Keutamaan Puasa Awal Dzulhijjah dan Mengapa Saudi Tetapkan Idul Adha Beda dengan Kalender Ummul Qura yang Diterbitkannya? Berikut Penjelasannya)
“Bangsa kita ini tidak mungkin bisa dibangun hanya oleh sekelompok masyarakat saja, tapi perlu kontribusi dari komponen masyarakat lainnya. Karena itulah penting dibangun kebersamaan dan kerjasama, yang diikuti sikap toleransi dan saling menghargai antarsesama,” tambahnya.
Mubaligh yang dijadwal memberi khutbah Idul Adha di Lapangan Hoky Jalan Dharmawangsa Surabaya ini mengatakan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang niscaya. “Perbedaan tidak boleh dianggap sebagai beban atau ancaman bagi kita. Perbedaan justru jadi kekuatan untuk memperkaya wawasan dan memperindah bangunan kebaikan bersama.” (MN)