PWMU.CO-Ganasnya Pramoedya Ananta Toer membabat seniman anti-PKI terjadi dalam kurun waktu tahun 1960-1965. Saat itu dia mengasuh rubrik budaya koran Bintang Timur, di masa jayanya PKI.
Koran ini milik Partindo (Partai Indonesia) tapi menyerahkan halaman budaya Lentera kepada Pram yang aktivis Lekra, lembaga kebudayaannya PKI.
Setiap terbitan Sabtu, Pramoedya Ananta Toer membuat tulisan kolom yang isinya membabat para seniman, budayawan, dan karya seni yang dituduh sebagai kontra revolusi dan antek nekolim.
Salim Said dalam bukunya Gestapu 65 menulis, bahasa tulisan Pram di kolom itu kasar, brutal, dan agresif menyerang seniman yang dianggap lawannya. Terutama seniman budayawan tergabung dalam Manifes Kebudayaan yang menentang komunisme.
Tahun 1962 terjadi polemik sastra antara Lekra dan Manifes. Yang dibahas novel Hamka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kisah ini ditulis tahun 1938 sebagai cerita bersambung di majalah Pedoman Masjarakat. Kemudian dicetak jadi novel oleh penerbit Medan ternyata laris di pasaran hingga cetak ulang.
Tulisan resensi novel di halaman Lentera menuduh karya Hamka menjiplak novel Sous les Tilleuls tulisan penulis Perancis Jean Baptiste Alphonse Karr. Resensi pertama itu ditulis oleh Abdullah Said Patmadji diturunkan pada edisi 7 September 1962.
Tulisan edisi berikutnya mulai menyerang Hamka yang diduga Hamka membaca novel itu dari terjemahan Arab oleh Mustafa Luthfi al-Manfaluthi dari Mesir berjudul Majdulin. Terjemahan Indonesia berjudul Magdalena, di Bawah Naungan Pohon Tillia. Kisah itu difilmkan oleh sineas Mesir dengan judul Dumu al-Hub. Dari film inilah asal muasal resensi itu ditulis.
Pendiam ketika PKI Kalah
Hamka dibela oleh penulis Manifes seperti HB Jassin, Goenawan Mohamad, Usmar Ismail, dan Anas Ma’ruf. Hamka sendiri menjawab tudingan itu lewat wawancara di Berita Minggu, 30 September 1962. Tak mau meladeni Pram di Bintang Timur.
Dia mengaku terpengaruh al-Manfaluthi, tapi untuk menilai apakah novelnya itu menjiplak hendaknya dibentuk tim peneliti sastra yang objektif. Menurut dia, tuduhan itu bukan semata sastra namun dipengaruhi politik. Hamka adalah orang Masyumi yang tahun itu berseberangan dengan penguasa dan partainya dibubarkan. Orang Masyumi dibabat habis mulai politik, ekonomi, hingga sastra.
Alasan Hamka terbukti setelah Manifes Kebudayaan dilarang oleh Soekarno pada tahun 1964, Pram lebih brutal lagi. Halaman Lentera memuat nama dan alamat para penanda tangan Manifes di berbagai kota. Tujuannya agar Pemuda Rakyat dengan mudah mendatangi rumah mereka untuk diganyang dan teror.
Pada bulan Desember 1977, Salim Said berkesempatan menemui Pram di Pulau Buru, tempat tahanannya. Waktu diwawancarai, Pram menolak disebut sebagai komunis.
Ganasnya Pramoedya dalam tulisannya di Lentera ditanyakan juga. Dia menjelaskan latar belakang pemakaian bahasa kasar dan brutal kepada lawan-lawan komunis waktu itu karena posisinya sebagai penulis koran.
”Dalam menulis sastra, saya berhadapan dengan diri saya sendiri. Dalam menulis artikel saya berhadapan dengan dunia. Berbeda. Saya mengharapkan yang lebih baik dan lebih cepat kepada dunia ini. Mungkin itu yang menyebabkan bahasanya jadi kasar,” jawabnya.
Setelah PKI ganti dibabat dan diganyang, bahasa Pram dalam tulisannya selama di Pulau Buru langsung berubah jadi sastrawi. Tidak galak, garang, ganas dan kasar seperti di BintangTimur. Kalau ingin menyindir kelompok Islam, dia menggunakan cerita dan kalimat simbolik.
Bahkan sepertinya Pram paham tradisi Muslim dengan detail. Seperti orang yang letak kopiahnya di atas dahi disebutnya berarti habis shalat. Itu bisa dibaca pada novel-novelnya seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Arus Balik, atau Gadis Pantai.
Diremehkan Belanda
Menurut Salim Said, di kalangan sastrawan saat itu beredar cerita ganasnya Pramoedya sebagai pelampiasan kekecewaannya kepada Sticusa, Yayasan Kebudayaan Belanda yang mengundangnya di awal tahun 1950-an sebagai persahabatan kedua negara.
Di negeri Kincir Angin itu Pram merasa kurang diperhatikan oleh tuan rumah. Dia kecewa dan marah. PKI menemukan peluang. Lalu Pramoedya diundang ke Moskow dan Beijing. Di dua negeri komunis itu pengarang novel itu mendapat perlakuan dan perhatian khusus. Pulang dari lawatan itu dia menerima tawaran memimpin Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) underbouw PKI.
Ketika Manifes Kebudayaan dilarang, Pram dan seniman Lekra menghasut sehingga orang-orang Manifes dipecat dari pekerjaan dan karyanya dilarang terbit. HB Jassin, dosen dan kritikus sastra terusir dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Penyair Taufiq Ismail, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), batal kuliah ke Amerika Serikat dilarang rektor beberapa hari sebelum keberangkatan.
”Keputusan penundaan saya terima empat hari sebelum berangkat. Padahal tiket, visa, dan semua dokumen sudah di tangan,” kenang Taufiq Ismail, dokter hewan yang penyair terkenal. Dia penanda tangan Manifes.
Penyair dan penulis esai Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Wiratmo Sukito, harus memakai nama samaran agar tulisannya bisa terbit. Buku-buku seniman yang dituduh PKI sebagai Manikebuis dilarang beredar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Priyono, orang Murba yang pendukung PKI.
Pelukis senior Zaini dan Trisno Sumardjo saat mengadakan pameran lukisan di Balai Budaya dilempari batu sehingga pengunjung enggan masuk.
Tahun 1962 Prof Mochtar Kusumaatmaja disingkirkan dari Universitas Padjadjaran (Unpad). Mochtar dituduh melecehkan Presiden Soekarno dan juru bicara Manipol Usdek Ruslan Abdulgani. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto