Kiai Kampung Muhammadiyah, kolom oleh Dr Sholikh Al Huda MFilI, Dosen Prodi SAA FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya); Pengiat Majelis Sinau Padhang Wetan.
PWMU.CO – Tulisan ini saya persembahkan untuk guru ngaji saya KH Choirul Huda yang tinggal di Desa Moropelang, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan.
Dari beliau saya belajar mengaji mengenal al-Quran, ilmu hadits, ilmu fikih, bahasa Arab, dan nilai-nilai urip atau kehidupan.
KH Choirul Huda—yang akrab dipanggil Gus Huda atau Kiai Huda—merupakan penggerak dan penjaga Muhammadiyah di Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Moropelang.
Sosok Kiai Choirul Huda
Kiai Huda lulusan Pesantren Persis Bangil Pasuruan. Dia seangkatan dengan Prof Syafiq A Mughni PhD, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pesantren Persis saat itu adalah salah satu rujukan bagi warga Muhammadiyah Moropelang untuk memondokan anaknya—selain ke Pesantren Ar Roudlatul Ilmiyah (YTP) Kertosono, Kabupaten Ngajuk.
Pesantren Persis dikenal dengan tokoh-tokoh yang ahli hukum Islam (fikih) dan terkenal dengan ideologi keagamaan puritannya. Dari sinilah Kiai Huda ketemu dengan ideologi Muhammadiyah yang puritan pula. Klop!
Kiai Huda adalah pribadi yang hangat, sederhana, gigih, semangat, apa adanya, tegas, berani, tawadhu, dan ber-Muhammadiyahnya sangat ‘tus’ (fanatik).
Dia tidak gupuh dengan popularitas dan godaan politik, yang terkadang mengiurkan banyak tokoh agama, termasuk di kalangan Muhammadiyah.
Sepulang dari Pesantren Persis Bangil, Kiai Huda langsung mengabdikan diri dalam dakwah. Dia mengajari ngaji anak-anak dan masyarakat Moropelang, khususnya warga Muhammadiyah.
Berkat perjuangan, kegigihan, kesabaran, ketelatenan, dan keuletannya, Muhammadiyah berkembang pesat di Desa Moropelang yang mayoritas penduduknya berkultur Nahdlatul Ulama (NU).
Hingga PRM Moropelang kini memiliki beberapa amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti Masjid Ihya’ussunnah, Madrasah Ibtidaiyah, TPQ/Madin Ihya’ussunnah, warkop, bengkel cuci mobil, kandang sapi, Hotel Telaga Biru, dan aset tanah lapangan.
Yang juga istimewa, warga Muhammadiyah Moropelang dikenal kompak, gemar belajar (ngaji), semangatnya tinggi, gigih, dan dermawan. Juga kuat memegang ideologi Muhammadiyah dari praktik tahayul, bid’ah, dan churufat (TBC). Merka dikenal fanatik ‘tus’ ber-Muhammadiyah.
Modal sosial seperti itu, ditambah spiritualitas dan kerja keras, menjadikan PRM Moropelang sebagai salah satu ranting terbaik di tingkat Kecamatan Babat dan Kabupaten Lamongan.
Prestasi PRM Moropelang itu, tentu saja, tidak dapat dilepaskan dari keikhlasan, perjuangan, dan doa Kiai Huda.
Dia adalah salah satu dari ribuan sosok kiai kampung Muhammadiyah se-Indonesia yang gigih menjaga ruh ideologi dan keberlangsungan tubuh organisasi Muhammadiyah dengan basis ranting.
Kiai Kampung Muhammadiyah
Kiai Huda adalah salah satu potret kiai kampung Muhammadiyah. Memang, panggilan ‘gus’ atau ‘kiai; dalam tradisi Muhammadiyah perkotaan jarang dipakai. Yang lebih sering digunakan adalah sebuta ‘ustadz’ atau ‘ustadzah’ bagi para guru ngaji.
Namun dalam tradisi Muhammadiyah pedesaan guru ngaji sering dipanggil dengan sebutan gus atau kiai. Sapaan itu dianggap lebih membumi oleh masyarakat pedesaan.
Dalam studi sosiologi agama yang dilakukan oleh Zamaksyhari Dhofier (Tradisi Pesantren, 1994), istilah kiai memiliki tiga makna. Pertama, kiai dalam arti orangtua atau yang dituakan. Biasa disebut ‘yai’.
Kedua, kiai dalam pengertian nama pusaka atau sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan mistik. Seperti nama sapi bule ‘Kiai Selamet’ di Keraton Kasuhunan Surakarta, atau keris “Kiai Kolomunyeng” dan “Kiai Pleret”.
Ketiga, kiai dalam arti orang yang memiliki kemampuan menguasai ilmu agama atau ilmu kanuragan atau ilmu tasawuf.
Dalam tulisan ini istilah kiai didefinisikan sebagai makna yang ketiga, yaitu orang yang memiliki dan menguasai ilmu agama Islam.
Sedangkan yang dimaksud kiai kampung Muhammadiyah adalah seorang pemimpin spiritual dan sosial—yang dengan bekal keilmuan agamanya, kesederhanaan, dan ketawadhuannya—bersedia hidup bersama warga Muhammadiyah di sebuah desa atau kampung. Misalnya mengabdi sebagai guru ngaji, guru TPQ, atau guru madrasah.
Kiai kampung punya peran yang luar biasa sebagai penjaga ruh ideologi dan tubuh organisasi Muhammadiyah.
Di tengah umat mereka memiliki daya ngeramut, asuh, ngemong, dan menjadi pendengar setiap curhatan warga. Mereka juga problemsolver terhadap semua persoalan kehidupan warga Muhammadiyah di di akar urput.
Itulah yang menjadikan kiai kampung memiliki posisi strategis bagi keberlangsungan masa depan persyarikatan Muhammadiyah.
Masa Depan Muhammadiyah
Mengapa demikian? Sebab sentuhan dakwah, pengabdian, perjuangan, keikhlasan, dan keberkahan doa para kiai kampung itu menjadikan pergerakan persyarikatan Muhammadiyah berkembang.
Satu abad lebih Muhammadiyah masih tegak berdiri dan konsisten menyinari bumi Nusantara. Bahkan persyarikatan yang ddirikan KH Ahmad Dahlan ini berkembang pesat menjadi salah satu organisasi sosial keagamaan dengan aset AUM terbesar di dunia Muslim.
Selain itu, berkat kesederhanaan dan kesediaan hidup berdampingan kiai kampung bersama warga di basis ranting menjadikan Muhammadiyah berdiri kokoh dari level cabang, daerah, wilayah, hingga pusat. Bahkan melebar hingga manca negara.
Kekokohan Muhammadiyah di level atas disebabkan posisi dan keberadaan basis ranting Muhammadiyah kuat. Sebab ranting adalah soko guru dari pergerakan Muhammadiyah.
Dari ranting ini wajah Muhammadiyah tampil yang sesungguhnya. Di rantinglah muara dari semua persoalan warga Muhammadiyah. Mulai soal spiritual, tata cara ibadah, sosial, ekonomi, politik, sampai persoalan internal keluarga muncul dan membutuhkan solusi cepat dan tepat.
Maka keberadaan kiai kampung Muhammadiyah sangat dibutuhkan. Peran strategisnya diperlukan untuk menjaga jamaah biar tenang dan nyaman dalam naungan persyarikatan.
Artinya pergerakan Muhammadiyah di level atas sangat tergantung dinamika pergerakan Muhammadiyah di tingkat bawah: ranting.
Dengan kata lain wajah Muhammadiyah sangat tergantung dari wajah para kiai kampung.Oleh karena itu, dengan posisi dan peran strategis seperti itu, maka diperlukan perhatian kepada kiai kampung, baik secara spiritual maupun organisasional.
Maka saya mengajak kepada semua warga untuk memuliakan hidup kiai kampung Muhammadiyah. Nasruminallah wa fathun Qarib. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.