Praksis Gerakan Tajdid Muhammadiyah tulisan Taufiqur Rohman, aktivis persyarikatan di Banyuwangi.
PWMU.CO-Kata Muhammadiyah artinya pengikut Nabi Muhammad saw. KH Ahmad Dahlan memilih nama itu untuk organisasinya dengan harapan umat Islam benar-benar menjadi pengikut Nabi.
Sebagai gerakan dakwah Islam, Muhammadiyah menggerakkan seluruh potensi anggota dan kekayaannya untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam di segala lini kehidupan.
Ciri gerakan Muhammadiyah adalah keluar dari kejumudan berpikir yang bercampur baur dengan keyakinan tradisi. Inilah gerakan tajdid yaitu pembaruan cara berpikir dengan mengembalikan dasar rujukan kepada al-Quran dan sunnah. Ar ruju ila al-Quran wa sunnah.
Implikasinya juga mengadakan pembaruan muamalah dengan memenuhi kebutuhan masyarakat kekinian, sesuai perkembangan zaman yang dinamis.
Ide-ide pembaruan Kiai Ahmad Dahlan ketika diterima murid-muridnya dan dipraktikkan menjadi gerakan radikal. Sebab membongkar kemapanan berpikir dan keyakinan. Memang sebuah kelaziman di mana pun sebuah ide baru bakal berbenturan dengan adat, tradisi dan ketetapan yang telah mapan di masyarakat.
Kisah pelurusan kiblat masjid yang disampaikan Kiai Dahlan meskipun dijelaskan dengan ilmu falakh, ilmu bumi, dan peta yang rasional dan jelas masih ditentang ulama yang berprinsip kiblat itu Barat sesuai dengan arah Kakbah secara umum.
Ide kiblat ini baru diterima secara luas di zaman sekarang ini, di abad 21. Butuh waktu satu abad untuk menerimanya. Sekarang banyak masjid membenarkan arah kiblatnya. Akibatnya di beberapa masjid terjadi shafain alias dua shaf. Shaf lama yang kadung terukir permanen di lantai, kemudian ditindih dengan garis shaf baru.
Fatwa Wabah Corona
Ketika wabah corona merebak, Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan fatwa tuntunan ibadah di masa darurat pandemi covid-19. Di antaranya shalat fardhu berjamaah dilaksanakan di rumah, shalat Jumat diganti shalat Duhur di rumah.
Shalat di masjid dibolehkan bagi masyarakat di wilayah zona hijau. Shalat Id yang biasanya di tanah lapang dipindah pelaksanaannya di rumah berjamaah bersama keluarga.
Fatwa Tarjih terbaru adalah pengalihan dana kurban untuk mengatasi masyarakat terdampak wabah covid-19. Atau daging kurban diolah menjadi rendang dan kornet dikemas dalam kaleng yang tahan lama dan praktis distribusinya untuk kebutuhan masyarakat dalam kondisi apa pun.
Fatwa-fatwa tarjih itu juga memantik respon dari umat. Reaksi itu tidak hanya datang dari umat eksternal yang berada di luar, tetapi di internal Muhammadiyah juga.
Misalnya, seruan menutup masjid dan shalat berjamaah di rumah tak semua takmir dan warga Muhamamdiyah patuh. Bahkan menganggap Muhammadiyah sekarang telah berubah karena berani menutup masjid. Berbuat syirik karena lebih takut kepada corona daripada takut kepada Allah.
Pembaruan Metode Hisab
Pembaruan ilmu falakh masih terus didakwahkan agar diterima luas masyarakat yaitu penggunaan hisab untuk penghitungan kalender dan menentukan hari untuk ibadah seperti puasa Ramadhan, Idul Fitri, haji dan Idul Adha.
Muhammadiyah untuk melihat kalender bulan baru dengan metode hisab haqiqi wujudul hilal. Dengan peralatan teleskop yang lebih modern dan perkembangan teori astronomi, hisab menjadi lebih presisi menghitung munculnya hilal tanpa dipengaruhi cuaca.
Rukyatul hilal tidak lagi mutlak meskipun haditsnya menganjurkan saat menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dengan hisab bahkan bisa diprediksi kapan hilal muncul, di mana posisinya, berapa derajat muncul dan lamanya. Bahkan kapan terjadinya gerhana, lamanya gerhana, dan kejadian benda-benda langit lainnya bisa diprediksi jauh hari.
Jika kapan terjadinya gerhana lewat hisab bisa diterima kenapa hisab munculnya hilal baru tiap awal Ramadhan dan Syawal masih ada yang mendebat?
Pemakaian hisab ini menjadikan Muhammadiyah beberapa kali berbeda awal puasa dan Hari Raya dengan warga lain. Sampai-sampai mendapat tuduhan telah membuat bid’ah.
Pembaruan pendidikan Islam oleh Kiai Dahlan yang menggabungkan metode sekolah Belanda dengan madrasah, awalnya juga menjadi fitnah dan cacian. Bahkan dituduh sebagai kiai kafir karena tasabbuh dengan kafir Belanda.
Kini, setelah seratus tahun, semua sekolah Islam mengikuti praktik Kiai Dahlan itu dengan berbagai macam modifikasi kurikulum yang terintegral antara pelajaran agama dan umum.
Generasi sekarang haruslah memahami praksis gerakan tajdid Muhammadiyah ini agar tak kehilangan konteks sosial politik dan akar sejarah dakwah persyarikatan ini. (*)
Editor Sugeng Purwanto