A. Hassan Persis dan Muhammadiyah ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Awal abad ke-20 kita telah menyaksikan suatu arus pemikiran Islam yang pada gilirannya memainkan peran penting dalam perkembangan paham Islam di Indonesia. Yaitu pemikiran baru sebagai usaha penyembuhan umat dari penyakit kejumudan dengan jalan kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam kerangka itu, Ahmad Hassan—populer dengan panggilan A. Hassan—merupakan seorang figur yang sangat penting, karena keberaniannya secara terbuka untuk menantang dan menentang arus pemikiran umum yang menjadi kendala bagi kemajuan umat. Juga ketekunannya untuk menggarap bidang-bidang yang strategis bagi sebuah gerakan pemikiran.
A. Hassan tidak sendirian dalam gerakan reformasi ini. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 untuk melakukan pembaharuan umat melalui pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial atas dasar ajaran Islam yang berkemajuan dan untuk mengajak kembali pada al-Quran dan as-Sunnah.
Ahmad Surkati mendirikan al-Irsyad pada 1916 untuk melakukan reformasi sosial dan paham keagamaan yang telah mapan di kalangan masyarakat Arab di Indonesia. Surkati berjuang untuk menghapuskan diskriminasi oleh kelompok sayyid atas non-sayyid dan mengecam tahayul dan khurafat.
Pada 1926 A. Hassan bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang telah berdiri tiga tahun sebelumnya (1923) dan kemudian menjadi ideolog terpentingnya. Dia sangat produktif menulis, mengajar, berceramah, dan berdebat untuk menyiarkan pandangan-pandangan keagamaannya.
Keunikan A. Hassan
Di antara para pembaharu keagamaan itu, A. Hassan memiliki keunikannya. Yakni terletak pada ketajaman bahasa, posisi yang jelas, pendapat yang uncompromising, dan tulisan-tulisannya diminati—bukan hanya di kalangan warga Persis, tetapi juga oleh hampir semua kalangan yang berorientasi pembaharuan.
Karena itu, A. Hassan adalah tokoh yang besar pengaruhnya dalam gerakan reformasi Islam di Indonesia. A. Hassan hadir dalam sidang-sidang Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Majelis Fatwa al-Irsyad. Buku-bukunya dijadikan referensi dalam praktik ibadah kaum reform-minded khususnya di masa sebelum Majelis Tarjih Muhammadiyah menerbitkan fatwa-fatwanya sendiri.
Pemikiran A. Hassan tidak terjadi secara tiba-tiba. Di Singapura, tempat dia lahir dan menghabiskan masa mudanya, dia telah bersinggungan dengan ide-ide reformis yang di kemudian hari menentukan pemikiran pembaharuannya.
Misalnya, ia mengenal empat tokoh agama yang berasal dari India di kotanya, termasuk ayahnya sendiri, yang telah menganut pemikiran reformis yang dikembangkan oleh Wahhabi.
Juga di Singapura ia mengenal majalah reformis al-Manar yang terbitkan oleh Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha di Kairo, majalah al-Imam yang terbit di Singapura, dan majalah al-Munir yang terbit di Padang.
Pada sekitar 1914/1915, A. Hassan sudah mendapati sebuah buku tentang kafa’ah, yang ditulis oleh Ahmad Surkati, pendiri al-Irsyad, dan orang yang ikut berjasa dalam memperkuat pandangan A. Hassan.
Pindah ke Surabaya
Pada 1920/1921, dia memutuskan untuk pindah ke Surabaya. untuk mengembangkan usaha batik pamannya, Abdul Latif. Di sini ia menyaksikan konflik antara kaum tua (tradisionalis), dan kaum muda (reformis).
Kaum tua dipimpin oleh Abdul Wahhab Hasbullah yang nantinya mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama. Kaum Muda dipimpin oleh dua orang, yakni Mas Manshur yang mendirikan madrasah Hizbul Wathan dan dan Faqih Hasyim, yang menjadikan forum yang disediakan oleh al-Irsyad untuk menyebarkan ide-ide pembaharuannya.
Sesungguhnya, ketika ia akan pindah ke Surabaya, Hassan telah diperingatkan oleh pamannya, Abdul Latif, agar tidak mengikuti kegiatan Faqih Hasyim, yang dalam pandangan Abdul Latif, menjadi pengikut ajaran sesat Wahhabi.
Tetapi, di Surabaya inilah cara berfikir A. Hassan menunjukkan kematangan dan mulai berubah ke arah tajdid yang jelas.
Dalam pertemuan itu, Hasbullah mengajukan pertanyaan kepadanya tentang hukum membaca ushalli. Sesuai dengan pengetahuannya, A. Hassan menjawab sunnah. Ketika ditanya alasan hukumnya itu, dia menyampaikan bahwa soal ini dengan mudah dapat diambil dari kitab manapun juga.
A. Hassan juga tampaknya heran mengapa soal semudah itu ditanyakan kepadanya. Hasbullah pun minta kepadanya untuk memberikan alasan bolehnya ushalli dari al-Quran atau hadits.
Menurut kaum pembaharu, agama hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. A. Hassan tidak bisa memberikannya dan berjanji akan memeriksa hal itu. Tetapi sesuatu mulai timbul dalam hatinya ketika itu, yakni keyakinanya bahwa agama hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Besoknya ia mulai menyelidiki kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta ayat-ayat al-Quran, tetapi alasan ushalli tidak ditemukan. Pendiriannya membenarkan kaum pembaharu bertambah tebal.
A. Hassan dan Warga Muhammadiyah
Pada 1924 A. Hassan berhijrah ke Bandung. Di kota itu, ia tinggal bersama Muhammad Yunus, salah satu pendiri Persis. Karena background agamanya, ia sering kali diminta mengisi pengajian di kalangan Persis.
Jamaahnya semakin menerima ide-idenya. Karena alasan ini, ia didorong untuk tetap tinggal di Bandung. Aktivitas kegamaan Persis menarik minat Hassan dan menyebabkannya ragu-ragu untuk kembali ke Surabaya.
Setelah 17 tahun tinggal di Bandung, pada Februari 1941 Hassan memutuskan untuk pindah ke Bangil dengan membawa semua peralatan percetakannya. Di kota inilah ia meneruskan reformasinya dengan mendirikan Pesantren Persatuan Islam, mengajar, menulis, berceramah dan berdebat sampai dengan wafatnya pada 1958.
Pikiran-pikiran Hassan telah ikut membangun alam pikiran warga Muhammadiyah sekalipun terdapat perbedaan dalam beberapa hal. Pikiran Hassan telah selesai ketika ia wafat, tetapi pikiran Muhammadiyah tetap dinamis karena senantiasa merespon zaman yang terus berkembang. (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Ahmad Hassan dalam buku Manifestasi Islam Mengurai Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat (2017) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.
Editor Mohammad Nurfatoni.