PWMU.CO– Starbuck, warung kopi bergaya Amerika yang komisarisnya pendukung LGBT itu, belakangan ini menjadi sorotan karena melecehkan pelanggannya.
Seperti kejadian di Starbuck Sunter Mall, Tanjung Priok, Jakarta Utara menjadi berita karena dua karyawannya mengintip dada pelanggannya lewat CCTV awal Juli lalu.
Pelecehan pelanggan juga terjadi di Starbuck di pertokoan Midway Target St. Paul di Minneapolis Negara Bagian Minnesota, Amerika Serikat. Pelayan di sini bertindak rasis terhadap pelanggan muslimah yang mengenakan jilbab.
Seorang pelanggan, Aishah (19), menemukan nama ISIS pada gelas minumannya. Dia marah dengan perlakuan rasis karyawan warung kopi itu. ”Saya merasa terhina, saya merasa marah, saya merasa diremehkan,” kata Aishah seperti diberitakan Sahan Journal, Ahad (5/7/2020).
Insiden itu terjadi pada 1 Juli ketika Aishah mampir minum kopi di Starbucks di pertokoan itu dalam perjalanannya bekerja sebagai perawat rumah.
Di warung kopi Starbuck di situ ada aturan pembeli menyebutkan nama lalu barista menuliskan di gelas. Aishah sudah menyebutkan dengan jelas namanya. Lalu barista menulis di gelas plastiknya. Tapi alangkah kagetnya dia saat menerima gelas kopinya. Ternyata namanya ditulis ISIS.
”Ketika saya menerima minuman itu, saya kaget,” cerita Aishah ketika konferensi pers di kantor Council on American-Islamic Relations (CAIR) di Minneapolis.
Aishah sudah komplain kepada barista. Tapi manajer warung Starbuck Target membela karyawan dengan mengatakan, ”Apa masalahnya?”
Permintaan Maaf Setengah Hati
Gagal mendapatkan kepuasan, dia mengajukan pengaduan resmi kepada manajemen Target tapi tak direspon. Setelah kasus itu diberitakan baru pengelola warung kopi itu meminta maaf lewat pernyataan yang dikirimkan kepada Sahan Journal. Mereka meminta maaf atas insiden yang disebutnya sebagai kesalahan yang tidak menguntungkan.
”Kami sangat menyesal atas pengalaman pembeli ini di toko kami dan meminta maaf kepadanya ketika pemimpin toko kami mengetahui situasinya,” kata pernyataan itu. ”Kami telah menyelidiki masalah ini dan percaya bahwa itu bukan tindakan yang disengaja tetapi kesalahan yang disayangkan yang bisa dihindari dengan klarifikasi sederhana. Kami mengambil tindakan yang sesuai dengan anggota tim, termasuk pelatihan tambahan, untuk memastikan ini tidak terjadi lagi.”
Aishah menyesalkan aksi demo atas kematian George Floyd tak meyadarkan warga Amerika menghentikan sikap rasisnya.
Dia menginginkan mereka minta maaf secara benar. Jangan menyebut kesalahan itu sebagai tidak sengaja. Apalagi mengatakan barista belum pernah mendengar tentang ISIS. ”Islamofobia itu nyata. Ini terjadi setiap hari, ” tuturnya.
Pandangan Islamofobia
Menanggapi perkara ini, CAIR menuntut penyelidikan, peningkatan pelatihan karyawan, dan menindak karyawan yang terlibat masalah Islamofobia ini.
Alec Shaw, pengacara hak-hak sipil untuk CAIR mengutip pernyataan CEO Target Brian Cornell yang menyatakan komitmen untuk melawan rasisme. ”Kami menyerukan Cornell untuk membuat komitmen untuk melawan Islamophobia,” ujarnya.
Shaw menambahkan, organisasi ini akan memeriksa semua upaya hukum, dimulai dengan mengajukan pengaduan melalui Departemen Hak Asasi Manusia Minnesota. Tuduhan diskriminasi, diajukan Senin sore, menuduh pelanggaran UU Hak Asasi Manusia Minnesota, yang memberikan hak untuk menikmati akomodasi publik secara setara.
Jaylani Hussein, direktur eksekutif CAIR Minnesota, mengatakan, protes di depan toko akan terjadi jika respon Target tidak berubah. Dia juga menunjukkan, ini bukan laporan pertama Islamophobia di Starbucks. Pada bulan Mei, seorang wanita muslim mengeluh bahwa Starbucks di Edina menolak untuk melayani dia.
Jaylani heran bagaimana kata ISIS distereotipkan kepada muslimah hanya karena jilbabnya. Ini tindakan diskriminasi yang menstigma muslim sebagai teroris.
Dia menambahkan, setelah Aishah keluar dari toko itu, Starbuck memberinya minuman baru dengan gelas baru melalui seorang temannya dengan kartu hadiah 25 dollar.
”Pelayanan seharusnya memperlakukan pelanggan dengan ramah siapa pun mereka bukan melihat identitasnya,” kata Jaylani. Menurut dia, mustahil seorang pelayan tidak bisa membedakan nama seseorang dengan ISIS. (*)
Editor Sugeng Purwanto