Tiga Wajah Buya Hamka ditulis oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dakwah yang produktif menulis; tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Buya Hamka aktif di Muhammadiyah untuk waktu yang sangat lama. Dalam berdakwah, Hamka dikenal lembut. Dalam menghadapi perbedaan pendapat di ranah yang tidak prinsip, Hamka dikenal toleran. Hanya saja, begitu menyentuh wilayah aKidah, Hamka sangat tegas.
Tiga Wajah Buya Hamka, Wajah Pertama
Mari kita ikuti ketiga sisi ‘wajah’ Hamka itu. Pertama, Hamka sebagai ulama yang lembut. Dakwah Hamka lembut dan mendatangkan rasa nyaman. Kisah dua perempuan berikut ini, yang selamat dalam menjalani ‘hijrah’-nya, sekadar sedikit dari banyak contoh.
Terutama setelah menetap di bilangan Jakarta Selatan dan Masjid Al-Azhar ada di dekat rumahnya, banyaklah tamu yang datang. Tamu-tamu yang silih-berganti itu berlatar-belakang sosial dan memiliki pemahaman keagamaan yang beragam. Mereka datang dengan keperluan yang beraneka macam.
Di suatu hari, datang perempuan dengan busana kurang elok. Dia bertamu ke seorang ulama besar dengan kostum siap main tenis dan lengkap dengan raketnya.
“Pak Hamka, saya ingin belajar agama,” aku si perempuan.
“Tapi,” lanjut dia, “Saya ini selalu main tenis.”
Merujuk kepada pernyataannya, si tamu tampaknya merasa bahwa antara belajar agama dan main tenis adalah dua hal—yang bukan saja berbeda tapi juga—berseberangan.
Mungkin, dia berpikir, main tenis yang nyaris identik dengan berpakaian sangat terbuka itu tak akan sejalan dengan spirit kegiatan belajar agama.
“Main tenis saja (dulu), Bu,” respon Hamka.
“(Nanti) kalau ngaj—belajar agama—silakan datang ke sini,” lanjut Hamka dengan lembut.
Di fragmen di atas, tak ada ceramah Hamka tentang kewajiban berbusana Muslimah seperti yang telah diatur oleh Islam. Di pertemuan itu, tiada khotbah terkait larangan membuka aurat bagai laki-laki dan perempuan Muslim.
Boleh jadi, dalam kalkulasi Hamka saat itu, si tamu belum tentu siap jika dikhotbahi secara lengkap perihal aturan dalam berbusana menurut Allah dan Rasul-Nya.
Lalu, bagaimana perkembangan performa tamu perempuan berbaju tenis itu? Berubah-lah dia! Misalnya, dia yang lalu dekat dengan anak-anak Hamka dan mereka menyapanya dengan sebutan “Tante Rafi’ah” rajin mengikuti ceramah Hamka. Dia selalu berjilbab. Bahkan, sampai meninggal, dia istikamah menegakkan tahajud.
“Kalau kita datang ke Masjid Al-Azhar untuk shalat Subuh berjamaah, kita akan mendapatinya tengah menyelesaikan tahajud,” kata Afif—putra Hamka—mengenang sosok perempuan berbusana tenis yang telah hijrah itu. Masyaallah!
Soal Shalat Pakai Kutek
Sekarang, fragmen yang lain. Seorang perempuan datang bertamu dan mengajukan masalah yang mengganjalnya.
“Bapak, saya selalu pakai kutek, tapi saya mau shalat,” demikian pengaduan si perempuan yang tampaknya dari kalangan orang yang berada.
“Silakan pakai kutek. Tapi, (bukankah) kuku itu mesti dibasuh (saat) wudhu. (Sebenarnya) Ibu punya waktu buat pakai kutek (yaitu) di saat menstruasi,” jelas Hamka.
Apa hasil dari dialog ringkas dan ringan itu? Ada catatan, bahwa—untuk selanjutnya—perempuan itu tak hanya rajin shalat, tapi juga tak pernah lepas dari kerudung setiap saat dia ada di luar rumah. Masyaallah!
Jika diperpanjang, banyak kisah yang serupa dengan dua fragmen di atas. Intinya, betapa banyak kalangan terpelajar datang menemui Hamka di Masjid Al-Azhar Jakarta. Mereka datang dengan busana dan dandanan yang kurang sesuai dengan syariat Islam. Tapi, atas kenyataan itu, Hamka tidak menunjukkan sikap berkeberatan untuk mengajar mereka di masjid.
Lembut tapi Menggerakkan
Di saat-saat awal, Hamka tidak langsung kepada materi berupa larangan-larangan dalam agama. Beliau memulai dengan memberikan pemahaman dasar.
Langkah dakwah Hamka di atas, lembut tapi tetap bisa menggerakkan. Ini, sebuah pendekatan dakwah yang berbuah manis. Sementara, di kesempatan lain, sikap lembut itu berpadu dengan sikap adaptif-kreatif tetapi tetap dalam bingkai syariat yang ketat.
Mari rasakan “sikap adaptif-kreatif” itu. Bahwa, berdasar masukan seorang sahabatnya, Hamka setuju jika dakwah kepada remaja bisa lewat jalur seni dan budaya. Masjid Al-Azhar Jakarta tak boleh abai kepada pendekatan dakwah lewat seni dan budaya. Misalnya, rebana dan musik pop, silakan.
Hamka sependapat dengan masukan si sahabat, sebab “Allahu jamilun, yuhibbul jamal. Allah itu indah, senang kepada keindahan”.
Maka, menjadi semaraklah syiar melalui seni dan budaya di Masjid Al-Azhar Jakarta. Pementasan musik diselenggarakan di halaman masjid. Pernah pula, di sebuah peringatan Maulid Nabi SAW, dihadirkan pasukan kavaleri berkuda.
Tentu saja, acara yang disebut terakhir itu berkesan bagi anak-anak. Kesan kuat ini, diharapkan menjadi pemicu hebat agar hati mereka tertambat ke masjid (Yusuf Maulana, 2018: 196-199).
Pendekatan dakwah Hamka yang lembut, memikat banyak kalangan. Tak hanya umat Islam yang terpikat, tapi yang berlainan iman juga banyak yang merasa nyaman.
Wajah Kedua
Kedua, Hamka sebagai pribadi toleran yang menghormati perbedaan pendapat di ranah tak prinsip. Di wilayah furu’iyah Hamka toleran. Mari kita kenang dua fragmen menarik ini.
Suatu ketika Hamka shalat Subuh berjamaah bersama KH Idham Chalid, Ketua Umum PB NU 1956-1984. Hamka yang mengimami. Pada rakaat kedua, Hamka membaca doa qunut. Ini menarik, sebab membaca qunut tak biasa dilakukan Hamka. Artinya, kisah qunut Hamka bisa memberi pelajaran yang dalam bagi kita.
Fragmen berikutnya, di sebuah Jumat, KH Abdullah Syafi’i mengunjungi Hamka di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan. Kita tahu, Hamka memimpin pelaksanaan ibadah sehari-hari dan pengajian di masjid tersebut sejak kali pertama digunakan pada 1958.
Hari itu seharusnya Hamka yang menjadi khatib. Tapi, sebagai penghormatan kepada sahabat dan sekaligus tamunya, Hamka dengan santun meminta KH Abdullah Syafi’i menjadi khatib.
Hal menarik terjadi. Saat itu, adzan Jumat dikumandangkan dua kali. Padahal, di masjid itu adzan Jumat biasanya hanya satu kali. Rupanya, Hamka menghormati KH Abdullah Syafi’i sebab melaksanakan adzan dua kali pada shalat Jumat adalah pendapat yang dipegang oleh sang sahabat.
Masih di soal sikap menghormati perbedaan. Pada 1971, Hamka bersedia mengimami shalat jenazah Soekarno. Padahal, masyarakat tahu, Soekarno saat berkuasa pernah menjembloskan Hamka ke penjara lebih dari dua tahun tanpa kesalahan yang bisa dibuktikan.
“Saya sudah memaafkannya. Di balik segala kesalahannya sebagai manusia, Soekarno itu banyak jasanya,” demikian kata Hamka, lembut.
Wajah Ketiga
Ketiga, Hamka tegas untuk hal-hal yang menyangkut akidah. Pada 1977 Hamka dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi, dia mengundurkan diri pada 1981 karena saat itu penguasa meminta MUI untuk mencabut fatwa haram Natal Bersama.
“Kalau ulama mau dipaksa mencabut fatwanya, lebih baik berhenti menjadi ulama,” kata dia.
Hamka memang tegas dalam akidah. Terkait Pancasila, ‘Yang Maha Esa’ menurut kepercayaan kita, kata Hamka, adalah yang tidak bersekutu dengan yang lain, yang tidak beranak dan diperanakkan.
Tidak satu dalam tiga dan tiga dalam satu. Kita, lanjut Hamka, sudah merasa tenteram dengan aqidah kita itu. Tetapi, rupanya kaum Zending dan misi Kristen dengan belanjaan jutaan dolar dari luar negeri—Belanda, Jerman Barat, Inggris dan Amerika—mereka datang kemari membonceng Pancasila itu. Mereka, kata Hamka, terima Pancasila, tetapi bukan seperti yang kita pikirkan selama ini, bahwa Allah itu Esa adanya (Sabili 21/2/2008).
Sekilas Perjalanan
Siapa Hamka? Ulama itu bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan disingkat Hamka. Di kemudian hari, Hamka lebih dikenal ketimbang nama aslinya.
Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Ayahnya, Syaikh Abdul Karim Amrullah adalah ulama pelopor gerakan tajdid di Minangkabau.
Hamka mendapat pendidikan dasar pada usia 7 tahun di SD Maninjau, hanya selama dua tahun. Ketika berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padangpanjang. Di situ Hamka belajar Islam dan mendalami bahasa Arab. Kecuali itu, melalui sebuah perpustakaan milik gurunya, Hamka banyak membaca buku-buku.
Pada umur 16 tahun, pada 1924, Hamka merantau ke Yogyakarta. Di sana menimba ilmu ke banyak guru. Dia meraup semangat pergerakan Islam kepada banyak tokoh. Dia belajar, antara lain, kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, KH Fakhruddin, dan RM Soeryopranoto.
Setelah itu Hamka ke Pekalongan, bersilaturrahim sekaligus belajar Islam kepada AR Sutan Mansur, kakak iparnya. Kala itu, AR Sutan Mansur -yang lisan dan tulisannya sama-sama fasih dipakai untuk berdakwah itu- adalah Ketua Cabang Muhammadiyah di Pekalongan.
Pada 1925, Hamka pulang kampung. Di Padangpanjang, dia mendirikan Majelis Tabligh Muhammadiyah. Dari titik inilah, bisa dibilang, Hamka lalu menjadi aktivis Muhammadiyah sampai beliau wafat.
Pada kurun 1930-an, Hamka ke Medan. Di sana, bersama M. Yunan Nasution, memimpin majalah Pedoman Masyarakat yang terbit tiap pekan. Rubrik Tasawuf Modern yang diasuhnya memikat para pembaca, baik yang awam maupun yang terpelajar.
Hal itu juga menjadi media penghubung dirinya dengan intelektual lainnya, seperti dengan M. Natsir, Agus Salim, Muhammad Isa Anshary, dan Hatta.
Hamka sang Inspira
Bahwa, tokoh yang tak tamat SD itu menguasai berbagai bidang ilmu seperti agama, filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Dia memang mahir berbahasa Arab, yang dengan itu dia dapat meneliti berbagai karya intelektual besar dari Timur dan Barat.
Dari situlah, Hamka lalu memiliki banyak predikat seperti ulama, pendidik, pemikir, sastrawan, penulis, dan aktivis politik.
Hamka, sebagai ulama, disebut-sebut sebagai salah satu ulama besar di Asia Tenggara. Kecuali di Indonesia, dia dikenal di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand.
“Hamka bukan hanya milik Indonesia, tapi milik seluruh rumpun Melayu,” demikian kesaksian Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia 1970-1974.
Model dakwah Hamka termasuk lengkap, sebab lisan dan tulisan dia sama-sama kuat. Dakwah Hamka, termasuk lewat tulisan, tak hanya diterima di Indonesia. Terutama di Malaysia, buku-bukunya menghiasi sejumlah perpustakaan universitas terkemuka dan banyak menginspirasi para aktivis.
Hampir semua karya tulisnya, baik tentang keislaman maupun yang nonfiksi, digemari banyak kalangan. Sementara, karyanya yang paling monumental adalah Tafsir Al-Azhar.
Karya Mengabadi
Atas berbagai prestasinya, maka sekalipun pendidikan formalnya tak tinggi, dua universitas terkemuka tak ragu-ragu untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Hamka. Gelar itu diberikan Universitas Al-Azhar Mesir pada 1958 dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974.
Jasa Hamka sangat banyak dan untuk itu layak dihargai. Di internal Muhammadiyah, sebagai bukti penghargaan yang tinggi di bidang keilmuannya, gerakan dakwah yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu mengabadikan nama Hamka pada perguruan tinggi yang dimilikinya yaitu di Yogyakarta dan Jakarta.
Sementara, oleh Pemerintah Indonesia, Hamka dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 8 November 2011.
Hamka meninggal pada 24 uli 1981. Tapi, karena dia adalah pribadi yang patut diteladani, insyaallah ‘usia’ Hamka akan sangat panjang. Terlebih lagi, warisan lebih dari seratus karya tulis bukan tak mungkin akan “mengabadikan” nama Hamka sampai di Hari Akhir. (*)
Tiga Wajah Buya Hamka, Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Tiga Wajah Buya Hamka ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif edisi 45 Tahun ke-XXIV, 10 Juli 2020/18 Dzulqa’dah 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.