PWMU.CO-Kisah Nabi Ibrahim mempersembahkan kurban anaknya kepada Tuhannya adalah ujian pertarungan antara rasionalitas dan ketaatan spiritual. Nabi Ibrahim seorang pejuang radikal, ekstrem, rasional, tapi spiritualnya sangat dekat dengan Allah.
Saat muda dia berani melawan penguasa Babilon, Namrud, yang dholim. Menghancurkan berhala-berhala sesembahannya. Menentang persembahan kurban manusia dalam upacara negara.
Dia pun dituduh teroris, ekstrem, radikal, intoleran. Ditangkap dan divonis hukuman mati dengan dibakar. Tapi Allah menolongnya lolos dari api yang hendak membakarnya.
Sejak itu Nabi Ibrahim hidup dalam pelarian ke Palestina. Menikah dengan perempuan negeri itu bernama Sara. Lama tak mempunyai anak lalu menikah dengan Hajar. Wanita Mesir ini memberinya anak yang diberi nama Ismail. Artinya, Allah telah mendengarkan. Mendengarkan doanya yang berharap anak.
Setelah anak itu beranjak dewasa, Nabi Ibrahim tidak menyangka anak yang diharap-harapkan kelahirannya itu diminta oleh Allah untuk dikurbankan. Semula dia ragu. Sebab perintah itu hadir lewat mimpi. Mungkin hanya kembang tidur. Tetapi mimpi itu berkali-kali datang.
Hatinya gundah. Tegakah dia menyembelih anaknya sendiri? Kenapa Tuhan meminta kurban anak manusia seperti praktik ritual agama pagan yang dilakukan penguasa Namrud? Bukankah selama ini dia menentang perilaku dholim raja Babilonia itu?
Kini Allah justru memintanya memberi persembahan kurban manusia. Dan kurban itu adalah anaknya sendiri. Anak satu-satunya. Anak yang diberi Allah di usia tuanya. Betapa beratnya perintah yang seolah-olah mengusik kebahagiaan.
Memang perintah itu datang ketika dia berada di tanah Mekkah bukan di Babilonia. Jarak dua negeri ini sangat jauh tetapi praktik ritual persembahan kurban terjadi di masyarakat mana pun.
Dialog Ayah dan Anak
Dalam kegundahan itu dia panggil anaknya, Ismail. Anak itu sekarang sudah berumur 14 tahun. Masa-masa kebanggaan seorang ayah kepada anaknya yang menginjak dewasa. Dibawanya Ismail berjalan mendaki ke atas Bukit Mina, di pinggiran Mekkah yang sepi.
”Wahai anakku. Sesungguhnya aku melihat dalam tidurku bahwa aku menyembelih kamu maka perlihatkan pendapatmu,” kata Ibrahim kepada anaknya seperti diceritakan Allah dalam surat Ash Shaffat 102-107.
Tidak disangka anak itu sudah menunjukkan kebijakan. Seperti ada frekuensi religiusitas yang sama antara bapak dan anak ini. Langsung nyambung. Dia menjawab, ”Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Di atas bukit, bapak-anak itu lantas berdoa kepada Allah. Kemudian keduanya berserah diri. Pasrah apa pun yang bakal terjadi. Apa pun risikonya perintah Allah harus dijalankan.
Ketika Ismail telah berbaring, keheningan, kekhidmatan dan gemetaran melingkupi suasana Nabi Ibrahim melakukan ritual persembahan kurban.
Saat pisaunya siap menekan leher anaknya, ada suara yang memanggil. ”Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu.” Ibrahim tersentak. Dia melepaskan pisaunya. Tahulah dia, Allah sedang menguji keimanannya. Ritual terhenti sejenak.
Ternyata Allah benar-benar tidak menginginkan persembahan kurban manusia. Padahal ritual sedang berjalan. Maka Ibrahim mengambil kambing besar sebagai pengganti persembahan kurban manusia. Ritual kurban hari itu berjalan tanpa mengurbankan manusia.
Sejak itu Ibrahim mengumumkan larangan persembahan kurban manusia. Manusia tidak boleh dieksploitasi dan dikurbankan untuk kepentingan yang diatasnamakan Tuhan. Sebab Allah tidak butuh persembahan kurban dan tetesan darah. Itulah Tuhan yang sebenar-benarnya.
Bagi Allah cukup ketaqwaan dan keikhlasan yang sampai kepadanya (22:37). Daging kurban dibagikan kepada masyarakat untuk dimakan. Tidak dibiarkan membusuk seperti sesaji kepada berhala-berhala. Inilah ajaran kurban yang sebenarnya (22:28, 36).
Penulis/Editor Sugeng Purwanto