Tanwir Daring Jelang Muktamar Seru kolom dituis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) benar-benar telah mengubah perilaku sehari-hari, termasuk dalam berorganisasi. Semua tatanan organisasi yang sudah mapan meniscayakan untuk ditata ulang supaya tetap berfungsi.
Awal Juli 2020 lalu seharusnya Muhammadiyah menggelar muktamar di Solo untuk agenda suksesi. Tapi ditunda gara-gara Covid-19 yang belum jelas ujungnya hingga kini. Sebagian kalangan mempersoalkan penundaan ini, karena tidak diputuskan dalam Tanwir seperti diatur dalam konstitusi organisasi.
Oleh karena itu Ahad (19/7/2020 digelar Sidang Tanwir, untuk membahas waktu penyelenggaraan muktamar sebagai permusyarwaratan tertinggi. Karena situasinya masih pandemi, Tanwir dilaksanakan secara daring menggunakan Zoom telekonferensi video, bertajuk “Hadapi Covid-19 Beri Solusi untuk Negeri”.
Makna dan Sejarah Muktamar
Muktamar dalam bahara Arab berarti bermusyawarah, berunding, atau bernegosiasi. Istilah ini dipakai sebagai nama permusyawaratan tertinggi dalam ormas Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini.
Muktamar diadakan setiap lima tahun sekali. Di forum ini pelaksanaan hasil muktamar sebelumnya dievaluai. Program periode mendatang akan dirumuskan kembali. Ketua umum dan anggota pimpinan pusat bakal dipilih dengan hati-hati. Berbagai masalah yang sedang berkembang pun tidak luput untuk disikapi.
Menurut sejarah konstitusi ormas Islam bersimbul matahari ini, permusyawaratan ini semula bernama rapat tahunan yang tentu saja dilaksanakan setahun sekali. Kemudian menjadi kongres tahunan yang terlaksana sebanyak dua kali.
Pada 1928 diganti kongres besar tahunan yang berlangsung empat belas kali. Karena situasi politik dalam negeri, pada 1944 disebut muktamar darurat dan pada 1946 dinamai silaturrahmi. Sejak tahun 1950 istilah muktamar dipakai sampai kini.
Muktamar juga bisa bermakna meramaikan atau mengunjungi. Maka tikak heran pada setiap perhelatan akbar ini, senantiasa diikuti ratusan ribu penggembira yang datang dari segala penjuru negeri, dan disediakan beragam kegiatan ekonomi.
Dari kedua makna tersebut dapat dipahami, bagi para pimpinan yang mengikuti muktamar berarti terlibat dalam diskusi serius tentang berbagai masalah organisasi. Sementara bagi para anggota dan simpatisan cukup meramaikan di luar arena dengan suasana gembira bersama keluarga sambil berbelanja sesuai bekal yang dipunyai.
Urgensi Tanwir
Kendati beda nuansa yang dihadapi, namun semangat utamanya adalah membangun kebersamaan dan rasa memiliki gerakan Islam ini. Tapi bagaimana dengan situasi pandemi, yang tidak memungkinkan massa dalam jumlah banyak berkerumun dalam satu lokasi?
Itulah urgensi tanwir kali ini. Selain membahas waktu muktamar juga akan menyikapi situasi kini, terkait kontribusi Muhammadiyah yang sudah dan akan diberikan untuk negeri.
Beredar wacana muktamar tetap harus dilaksanakan tahun ini, mengikuti masa bakti kepemimpinan atau periodesasi. Karena masa pandemi, pelaksanannya secara online dengan dukungan teknologi tinggi.
Tapi banyak yang menolak karena selain tetap berbiaya tinggi, bisa mengurangi kultur hari raya organisasi. Apalagi panitia sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk ditempati.
Dengan demikian tampaknya alternatif online tidak memungkinkan lagi. Problemnya jika harus offline maka ketergantung pada pandemi sangat tinggi. Akankah tahun depan atau depannya lagi? Munawwirin alias peserta tanwir harus mempertimbangkan aspek keselamatan jiwa secara hati-hati.
Mencari Pemimpin
Memilih pemimpin merupakan salah satu agenda utama muktamar nanti. Berbeda dengan muktamar sebelumnya yang cenderung adem-ayem dalam setiap proses suksesi.
Pemilihan pimpinan nanti diprediksi akan berlangsung seru dan penuh trik. Karena ditengarai ada anasir luar yang hendak bersaing memperebutkan pengaruhnya dalam muktamar dan selanjutnya ingin ‘menguasai’ Persyarikatan ini.
Kalau dipetakan, setidaknya ada tiga kelompok yang akan ikut mempengaruhi kompetisi. Pertama, mereka yang kecewa dengan kepemimpinan saat ini, lantaran dinilai terlalu lembek pada pemerintah. Kelompok ini misalnya melakukan kampanye negatif, melalui tulisan-tulisan di media sosial atau pertemuan tidak resmi. Tapi masih malu-malu menawarkan diri.
Kedua, kelompok yang dekat dengan rezim saat ini. Kabarnya mereka mulai rajin menawarkan ‘gizi’. Tujuannya, agar sejumlah nama yang bisa dikendalikan pemerintah bisa masuk 13 calon terpilih. Syukur kalau meraih suara terbanyak sehingga bisa jadi ketua umum.
Ketiga, kelompok yang mengatasnamakan penyelamat organisasi. Dengan isu antiliberal mereka menyerang siapa saja yang tidak disukai. Konon kelompok ini dimotori para aktivis yang frustasi. Harapannya calon yang terpilih nanti lebih bisa dikuasai.
Jadi, muara dari ketiga kelompok ini adalah ‘politik mengusai’. Bukan untuk kebaikan dan kebesaran Persyarikatan itu sendiri. Ketiganya bisa saling bertemu atau bersimpang jalan tergantung situasi. Persoalannya keluguan dan ketulusan muktamirin kerap tidak sensitif terhadap dinamika ini.
Tulisan ini sekadar menunjukkan fenomena agar semua waspada bahwa kemungkinan intervensi itu besar sekali. Sehingga perlu dibendung sejak dini. Meski tidak mudah bagi orang luar untuk melakukan intervensi, mengingat mekanisme pemilihannya sangat rumit dan prosesnya sudah dimulai sejak jauh hari.
Mekanisme Pemilihan
Mekanisme pemilihan pimpinan di lingkungan Muhammadiyah memang unik sekali. Mungkin tidak dimiliki oleh organisasi mana pun di dunia ini. Mekanisme ini telah seabad lamanya diyakini sebagai mampu menjaga gesekan dan benturan politik dalam setiap proses suksesi, karena yang keluar sebagai ‘pemenang’ bukan hanya seorang diri.
Proses pemilihan dimulai dari pencalonan sebanyak 13 orang oleh setiap anggota tanwir jauh sebelum muktamar berlangsung, dan itu sudah selesai. Dari semua calon yang dinyatakan memenuhi syarat, akan ditetapkan sebanyak 39 melalui sidang tanwir jelang muktamar nanti.
Angka 39 merupakan kelipatan ketiga dari jumlah 13 orang yang akan dipilih pada muktamar untuk ditetapkan sebagai anggota pimpinan sesuai urutan tertinggi.
Tiga belas terpilih inilah yang akan bermusyawarah menentukan ketua umumnya, tanpa ada persyaratan ketua umum harus dipilih dari peraih suara tertinggi. Tapi logika demokratisnya peraih suara terbanyak memiliki hak. Selama ia tidak menyatakan menolak, seyogyanya dialah yang otomatis terpilih.
Kini Muhammadiyah memerlukan pemimpin yang bukan hanya memiliki kapasitas ilmu keagamaan yang memadai, tapi juga piawai menata manajemen internal organisasi, sekaligus memiliki relasi eksternal yang aduhai. Agar bisa menggerakkan semua potensi untuk mengijtihadi segala aspek kehidupan yang berubah ini.
Jika ketiga persyaratan itu tidak terpenuhi dalam seorang diri, komposisi tiga belas mestinya mencerminkan kebutuhan tadi. Jika toh ternyata masih tidak terpenuhi, tak ada salahnya memasukkan anggota tambahan asalkan pola kepemimpinan kolektif kolegial benar-benar dijalani. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penulis, tulisan yang kali pertama diterbitkan koran Jawa Pos (Sabtu, 18/7/2020) berjudul Tanwir di Tengah Pandemi ini dimuat ulang oleh PWMU.CO dengan judul Tanwir Daring Jelang Muktamar Seru.